Kota Paling Mematikan di Dunia, San Pedro Sula

Berita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Kota Paling Mematikan di Dunia, San Pedro Sula

Honduras saat ini dikenal sebagai negara yang memiliki banyak geng-geng yang sering melakukan kekerasan. Lebih jauh, Honduras pun merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kasus pembunuhan paling tinggi di dunia. Kali ini, mantan kapten timnas Honduras U-20, Arnold Peralta, tewas pada Kamis (10/12) setelah ditembak oleh orang tak dikenal di tempat parkir pusat perbelanjaan di kampung halamannya, La Cueba.

Polisi mengatakan belum ada yang ditangkap dari kejadian ini dan motif penembakan tersebut masih belum diketahui. Meskipun begitu, polisi menduga bahwa insiden ini terjadi karena motif perampokan yang hendak dilakukan di Uniplaza.

Sang ayah, Carlos Peralta, mengonfirmasi kematian anaknya tersebut lewat sebuah konferensi pers, seperti yang dikutip Associated Press: “Ini sungguh mengerikan. Mereka membunuh anak panutan kami. Saya tidak bisa mengatakan lebih banyak karena kepedihan yang saya rasakan.”

Osman Madrid, Direktur Timnas Honduras, ikut bersuara atas kejadian ini, “Ini adalah kematian yang sangat tragis. Olahraga nasional ikut berduka.”

Meski kurang begitu dikenal, Peralta sebenarnya merupakan pemain Honduras yang berprospek cerah. Selain sudah membela timnas senior Honduras sebanyak 26 kali, ia pun pernah membela kesebelasan asal Skotlandia, Glasgow Rangers.

Kota Paling Mematikan di Dunia Ada di Honduras

Berdasarkan data dari seguridadjusticiaypaz.org.mx, kota kedua terbesar di Honduras, San Pedro Sula, merupakan kota dengan tingkat pembunuhan tertinggi di dunia. Tahun lalu, dengan populasi yang hanya 769 ribu, pembunuhan di kota ini mencapai 1.319. Bahkan menurut Telegraph, kota ini sudah menjadi kota dengan tingkat pembunuhan tertinggi di dunia sejak 2011. Berdasarkan data terbaru, persentase kematian karena pembunuhan di kota ini mencapai 169 orang dari 100 ribu jiwa.

Di kota ini dikabarkan terdapat sebuah kelompok yang merupakan pusat dari peperangan antar geng di Amerika Tengah. Pembunuhan-pembunuhan itu pun terjadi karena kota ini merupakan pusat beredarnya narkoba, pemerasan, dan tingginya tingkat korupsi. Menurut Dr. Vladimir Nunez, penjaga di salah satu rumah duka di kota ini, setiap harinya terdapat lima sampai enam korban pembunuhan yang datang ke rumah dukanya tersebut.

Pusat-pusat perbelanjaan di kota ini mulai dijaga oleh pihak keamanan dengan senjata mereka. Sementara di La Cueba, kota keempat terbesar di Honduras dan tempat Peralta ditembak, pusat perbelanjaan di kota ini belum seketat di San Pedro Sula.

Telegraph juga menyebutkan bahwa tak jarang di kota ini jalanan kota akan sepi dari kemacetan dan tak ada bunyi klakson selama beberapa jam. Biasanya ini terjadi karena terdapat orang pemerintahan yang  tewas terbunuh sehingga orang-orang akan menghadiri pemakamannya.

Saking banyaknya korban pembunuhan di kota San Pedro Sula, membuat banyak kasus pembunuhan yang belum diusut. Menurut Nunez, yang ia juga merupakan seorang dokter forensik, setidaknya terdapat 100 mayat yang masih disimpan di ruangan pendingin untuk 'mengantre' sebagai bahan penyelidikan. Sementara itu, kamar operasi dan kamar mayat di kota ini pun ditingkatkan.

Nunez sudah terbiasa melihat mayat-mayat korban pembunuhan setiap harinya. Ia pun seringkali harus bekerja sendirian untuk melakukan penyelidikan terhadap mayat tersebut karena kurangnya tenaga ahli di Honduras.

“Tidak ada sumber daya yang cukup,” ujar Nunez seperti yang dikutip Telegraph, “Kami tidak memiliki kapasitas untuk melakukan segala yang ingin kami lakukan. Padahal ini bisa membantu untuk menemukan bukti yang bisa digunakan dalam sidang.”

Dr. Nunez sebenarnya berada di kota San Pedro Sula baru selama delapan bulan. Ia sebelumnya bertugas di ibukota Honduras, Tegucigalpa. Menurutnya, ia sudah menangani 1.200 lebih mayat sepanjang 2015. Mayoritas korban-korban adalah anak muda dan itu yang paling membuatnya sedih.

“Mayoritas korbannya adalah anak-anak muda. Mereka belum mengetahui seperti apa masa depan mereka. Ini sangat menyedihkan,” ungkap dokter berusia 40 tahun tersebut.

foto: Reuters

Komentar