Claudio Ranieri, Tinkerman yang Kini Menjadi Thinkerman

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Claudio Ranieri, Tinkerman yang Kini Menjadi Thinkerman

Leicester City musim ini menjadi salah satu kesebelasan yang cukup fenomenal di Liga Primer Inggris. Selain mampu bersaing di papan atas, salah satu pemainnya, Jamie Vardy, menjadi pencetak gol terbanyak liga dengan mencetak 12 gol dari 12 laga.

Keberhasilan The Foxes, julukan Leicester, musim ini tentunya tak bisa dilepaskan dari kehebatan sang manajer, Claudio Ranieri. Karena manajer yang menggantikan Nigel Pearson inilah Leicester mulai menuai hasil-hasil positif pada musim ini (7 kemenangan, 4 seri dan satu kekalahan dari 12 laga).

Ranieri memang memiliki kemampuan untuk membangun fondasi sebuah kesebelasan. Namun manajer asal Italia ini disebut-sebut memiliki kelemahan dari aspek penentuan starting line-up. Media Britania Raya pun menjulukinya, atau lebih tepatnya mengkritiknya, sebagai The Tinkerman karena hal ini.

Ranieri, yang saat itu masih menukangi Chelsea, dianggap terlalu sering mengganti-ganti susunan pemainnya. Manajer yang kini berusia 64 tahun tersebut dianggap kesulitan menentukan pemain sehingga kerap melakukan rotasi secara berlebihan. Dan kegagalannya meraih trofi membuatnya dianggap memiliki pemikiran yang gerumit (‘tinker’ dalam bahasa Inggris) atau lambat.

Namun saat ini, tampaknya Ranieri sudah menyadari kelemahannya tersebut. Karena sepanjang 12 pertandingan yang sudah dijalani Leicester City pada musim ini, ia terbilang jarang mengganti-ganti susunan pemainnya. Bisa dibilang, kini ia penganut paham 'Don’t change the winning team'. Simak saja data di bawah ini:

Jumlah rotasi pemain di Liga Primer Inggris (via: NBC Sports)
Jumlah rotasi pemain di Liga Primer Inggris (via: NBC Sports)

Sejauh ini, manajer kelahiran kota Roma ini baru memainkan 20 pemain saja. Sementara untuk susunan pemain, hanya 16 pemain yang pernah diturunkan sejak menit pertama (lebih tepatnya enam pemain selalu bermain di tiap pertandingan dan 10 pemain lainnya bergantian menghuni starting line up). Jumlah ini merupakan yang tersedikit kedua di Liga Primer Inggris, hanya kalah dari Swansea City.

Susunan pemain yang tak terlalu sering berubah memang bisa membuat chemistry antar pemain lebih mudah terjalin. Selain itu, kekuatan tim pun bisa selalu terjaga pada setiap pertandingannya tanpa perlu khawatir melemah di satu sisi seperti ketika melakukan rotasi dengan banyak pemain.

Hanya saja yang perlu diwaspadai, tak banyak melakukan perubahan susunan pemain pun akan bisa memunculkan kemungkinan bahwa permainan Leicester City lebih mudah terbaca. Pola permainan yang sudah terbentuk dengan matang tentunya akan terlihat dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya.

Selain itu, tanpa rotasi yang tepat pun akan membuat para pemainnya lebih mudah kelelahan yang pastinya akan berpengaruh pada kebugaran pemain. Dan jika kebugaran pemain bermasalah atau terganggu saat menjalani pertandingan, hal ini akan memperbesar kemungkinan pemain tersebut mengalami cedera.

Jika pemain sudah cedera, apalagi pemain andalan, akan menjadi ujian bagi bagi kesebelasan manapun, termasuk Ranieri dan Leicester City, untuk menjaga kualitas skuatnya. Di sinilah tantangan sebagai seorang manajer benar-benar diuji.

Tapi Ranieri sebenarnya sudah mulai berhati-hati dalam menurunkan pemain andalannya. Riyad Mahrez yang juga menjadi andalan Leicester City pada musim ini, sempat pada satu pertandingan tak dimainkan meski pemain timnas Aljazair ini tak mengalami cedera. Satu pertandingan lainnya ia hanya masuk sebagai pemain pengganti.

Hal tersebut mungkin dilakukan Ranieri untuk menjaga kebugaran anak asuhnya ini. Mahrez sendiri sejauh ini sudah mencetak tujuh gol dan lima assist dari 11 pertandingan yang sudah ia jalani. Leicester City pun sejauh ini hampir selalu tampil dengan kekuatan terbaiknya.

Dari 12 laga yang sudah dijalani Liga Primer musim ini, julukan ‘Tinkerman’ mungkin sudah mulai menjauhi Ranieri. Bahkan berkat keberhasilan Leicester bisa bersaing di papan atas dengan memaksimalkan pemain-pemain yang tak bertabur bintang, Ranieri mungkin bisa dipertimbangkan untuk mendapatkan julukan baru, yaitu ‘Thinkerman’ atau sang pemikir, di mana saat ini ia mungkin memiliki banyak variasi taktik.

Bahkan lebih jauh, menurut Ranieri, saat ini sudah mulai banyak manajer yang melakukan rotasi ekstrem seperti yang pernah ia lakukan beberapa musim lalu. Hal itu ia ungkapkan saat pertama kali ditunjuk sebagai manajer Leicester pada Juli lalu.

“Saya pikir semua manajer kini mulai melakukan banyak rotasi,” ujar Ranieri pada Independent di awal wawancaranya sebagai manajer Leicester, “Dulu ‘Tinkerman’ mungkin hanya seorang. Tapi sekarang, sudah mulai banyak ‘Tinkerman!”

Dan jika melihat statistik di atas, apa yang dikatakan Ranieri mungkin benar adanya, terdapat manajer yang lebih layak untuk mendapatkan julukan ‘Tinkerman’ musim ini dibanding dirinya. Siapa dia? Ia bukan manajer Sunderland, yang telah memasang 21 pemain berbeda (terbanyak) pada susunan pemain, karena tongkat kepelatihan telah berpindah dari Dick Advocaat ke Sam Allardyce, melainkan manajer yang dikenal sebagai seorang ‘Filsafat’, Louis van Gaal. Apakah Anda setuju?

foto: mirror.co.uk

Komentar