Menunaikan Rukun Terakhir Sebagai Seorang Pendukung Juventus

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Menunaikan Rukun Terakhir Sebagai Seorang Pendukung Juventus

Oleh: Bayu Adi Persada

Bagi seorang Muslim, berhaji ke Tanah Suci diyakini sebagai rukun yang terakhir. Haji mesti ditunaikan oleh siapapun yang mampu, baik dari segi fisik, mental, maupun finansial. Tanah Haram, Mekkah, menjadi mimpi bagi setiap Muslim yang ingin benar-benar merasakan atmosfer beribadah yang tiada banding. Mengelilingi Ka’bah tujuh kali menggambarkan sebuah intimasi di level lebih tinggi dengan Sang Pencipta.

Fans klub sepakbola sepertinya tak jauh berbeda. Perumpamaan yang sama juga bisa disematkan pada mereka yang mencintai dan mendukung sebuah kesebelasan dengan sepenuh hati. Bagi sebagian orang, kata-kata Eric Cantona “Sepakbola adalah sebuah agama”, bisa jadi benar adanya. Itulah mengapa perumpamaan rukun terakhir fans klub sepakbola menjadi relevan. Tak pelak, menonton klub kecintaan bertanding secara langsung di stadion kebanggaanlah yang menjadi rukun itu.

Tak dapat dimungkiri memang, fanatisme sepakbola telah menjangkiti sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi mereka yang mendukung klub sepakbola lokal, seperti Jakmania, Bobotoh, ataupun Bonek; menunaikan rukun terakhir itu pun sepertinya tak sulit-sulit amat. Harga tiket dan lokasi stadion yang cukup terjangkau pun membuat menonton klub kecintaan di kandangnya bisa ditunaikan setiap kali klub bertanding. Lalu, bagaimana dengan mereka yang menjadi fans fanatik klub sepakbola internasional?

***

Menjadi Juventini sejak 1997, bayang-bayang menonton Juventus di Stadio Delle Alpi sudah rapi saya simpan di lemari mimpi sejak lama. Karena berbagai keterbatasan, saya bahkan sampai tak berani melihat mimpi itu sering-sering.

Sepertinya saya enggan terlalu kecewa. Besar kemungkinan mimpi itu tak akan jadi nyata mengingat biaya yang mesti dikeluarkan pun tak main-main besarnya. Namun, hidup ini mengajarkan saya banyak hal. Salah satunya adalah mimpi itu mesti diperjuangkan. Apapun mimpi itu dan seberapapun kecilnya usaha, pasti punya arti.

Saya mesti banyak bersyukur termasuk dari mereka yang beruntung dapat menonton klub kesayangan di stadion kebanggaannya. Dimulai dari menuntaskan mimpi yang lain saat mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Inggris, saya mulai berani melihat lagi rak mimpi paling atas itu.

Setiap bulan, saya menyisihkan sedikit demi sedikit uang beasiswa untuk menunaikan mimpi menonton Juventus di stadion kebanggaan sekaligus rukun terakhir sebagai Juventini, sebutan untuk penggemar Juventus. Ketika diri sudah sampai di tanah Britania Raya, akan amat disayangkan jika tak menyebrang ke Eropa daratan. Akhirnya di pertengahan April tahun ini, rukun terakhir itu pun tunai sudah.

Tak terbayang akhirnya saya bisa melihat Juventus Stadium dari dekat. Ketika bis mulai mendekat ke halte depan stadion, kaki sudah tak sabar melangkah dan berlari mendekat ke stadion. Huruf “J” besar berwarna putih dengan latar hitam terpatri di setiap sudut.

Juventus Stadium dilengkapi dengan pusat perbelanjaan kelas satu yang mengelilingi stadion. Pedagang-pedagang souvenir Juve menjamur di luar stadion. Bagi yang ingin membeli souvenir dengan harga lebih murah, di sinilah tempatnya. Maklum, harga barang-barang di Juve Store jauh lebih mahal. Karena tak berniat belanja, saya pun melewatkan godaan itu semua. Membeli souvenir memang tak dianggarkan karena uang yang dibawa pun amat terbatas.

Sebelum ke stadion, saya pun menyempatkan diri masuk ke J-Museum. Tempat ini membukakan mata saya bahwa ternyata saya tak tahu banyak tentang kesebelasan yang sudah hampir 20 tahun saya dukung ini. Setiap sisi museum memberikan pengetahuan baru tentang bagaimana Juventus didirikan, tahun-tahun bersejarah, dan penghargaan pada setiap insan Juventus dengan berbagai pencapaian emasnya. Nama-nama besar seperti Boniperti, Sivori, Charles, Trapattoni, Platini, Baggio, Lippi, Nedved, Del Piero, hingga Buffon terukir rapi dalam etalase museum ini.

nedved
Salah satu penjuru J-Museum

Meski mengingatnya terasa amat pahit, cara Juventus yang tak mengutip satu kata pun tentang calciopoli di museum ini sangat membanggakan. Juventus punya segala hak untuk menggugat dan menuliskan pledoi di museum milik mereka sendiri. Tapi mereka memilih untuk tidak melakukan ini. Ungkapan, whining is for the losers, sepertinya benar-benar terpatri dalam filosofi klub. Satu lagi alasan yang membuat saya makin mencintai kub ini.

Kembali ke stadion, saya kehabisan kata-kata untuk menjelaskan atmosfer di dalam stadion. Sudah berada di dalam stadion satu jam sebelum pertandingan Juventus melawan Empoli, saya tak sabar ikut meneriakkan nama-nama pemain dan chants dukungan.

Announcer mulai membacakan susunan pemain. Bersama puluhan ribu Juventini lain, berkali-kali saya ikut meneriakkan “Allegri”, “Buffon”, “Vidal”, “Tevez”, sampai akhirnya “Evra”. Kemudian lagu kebangsaan, “Storia di un Grande Amore” pun berkumandang. Suasana magis merasuk langsung ke dada.

Suasana di dalam stadion
Suasana di dalam stadion

Tribun tempat saya duduk tepat berada di sebelah kiri tribun tamu yang cukup penuh terisi pendukung Empoli. Sejujurnya, saya tak menyangka tribun tamu bisa sepenuh ini. Situasi tribun tamu yang sangat ribut membuat saya tertarik untuk sesekali menoleh. Tiba-tiba jari tengah dari salah seorang pendukung diarahkan ke saya. Yang tidak mengherankan, usianya masih teramat muda, mungkin di bawah sepuluh tahun dan tengah bersama ayahnya! Ayahnya tertawa saja melihat kelakuan anak laki-lakinya ini.

Saya pun hanya menganggap angin lalu dan ikut tertawa saja. Begitulah gambaran fanatisme sepakbola di Italia. Sejak kecil, kebanggaan akan klub sudah ditanamkan hingga terkadang kelewat batas.

Stadion bergemuruh hebat saat Tevez mencetak gol pertama Juventus menjelang babak pertama usai. Memanfaatkan operan pendek dari Vidal melalui tendangan bebas tidak langsung, Tevez dengan cerdik menendang keras ke sudut atas gawang Empoli, 1-0. Carloooos … “TEVEZ!”, Carloooos …. “TEVEZ!”, Carlooos …. “TEVEEEEZ!”.

Tevez pada laga melawan Empoli
Tevez pada laga melawan Empoli

Juventus sedikit mengendurkan serangan di babak kedua. Ternyata menonton langsung di stadion jauh lebih menegangkan. Empoli cukup bisa memanfaatkan kelengahan pertahanan Juve yang dikawal Angelo Ogbonna, Leonardo Bonucci, dan Andrea Barzagli. Untung saja Gianluigi Buffon tetap menampilkan performa kelas satu.

Di akhir pertandingan, Roberto Pereyra melengkapi kemenangan Juve dengan sontekan ke sisi kanan gawang setelah memanfaatkan umpan Tevez. Seisi stadion pun kembali menggema: Maaaax … “PEREYRA!”, Maaaaax …. “PEREYRA!”, Maaaax ….. “PEREYRAAA!”. Teriakan seisi stadion yang meredupkan hiruknya tribun tamu.

Pertandingan berakhir dengan skor 2-0. Para pemain yang dipimpin Buffon menyaluti penonton dengan berlari ke tribun utara dan selatan lalu melompat dan melambai tangan. Kemenangan yang semakin memantapkan Juve di puncak klasemen dan juga memberikan kepuasan luar biasa pada para Juventini, termasuk saya.

Saya masih tak ingin cepat-cepat keluar stadion. Setia menunggu sampai para pemain masuk kembali ke ruang ganti. Tribun tamu justru masih setia bergemuruh hingga sebagian besar penonton meninggalkan bangku stadion.

Malam itu pun berakhir. Di perjalanan menuju halte bis bersama ribuan Juventini lain, masih ada rasa tak percaya dalam hati telah membuat mimpi masa kecil jadi nyata. Dalam bis, semua Juventini — tua muda, perempuan laki-laki — tetap setia bernyanyi dan bersorak sorai merayakan kemenangan.

Saya yakin, pasti menjadi impian semua Juventini untuk menonton di sini. Tapi saya juga yakin kesempatan ini tak menjadikan saya fans yang lebih baik dari Juventini lain. Kesempatan ini sudah sepantasnya banyak disyukuri dan dijadikan momen untuk menjadi Juventini yang jauh lebih loyal.

***

Sama seperti haji yang tak serta merta menggambarkan kualitas keislaman seseorang, menonton klub bertanding di stadion pun tak bisa mengukur fanatisme seseorang. Bukan berarti mereka yang beruntung bisa menonton klub kebanggaan bertanding di San Siro, Emirates, Old Trafford, atau Santiago Bernabeu pantas meninggikan status ‘fans’ dari mereka yang nonbar di kafe-kafe atau hanya bisa menonton pertandingan dalam televisi 14 inci di kantor kelurahan.

Sama seperti tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang yang bukan urusan kita untuk menilai, fanatisme mendukung klub seyogyanya juga tak menjadi ranah penilaian kita. Biarlah kita sama-sama mendukung klub yang dibanggakan dengan cara masing-masing.

Tak perlu mencibir dan merendahkan. Istilah “glory hunter” atau “pendukung karbitan” tak usah ada dalam kamus sepakbola kita. Bagi mereka yang beruntung telah tunai rukun terakhirnya, tularkan semangat dan mimpi itu pada mereka yang belum merasakan. Bagi yang belum tunai rukun terakhirnya, percayalah stadion kebanggaan klub kita akan setia menunggu setiap fans terbaiknya.


Penulis seorang penggemar bubur ayam dan teh tawar yang sedang melanjutkan studi pascasarjana di University of Manchester, Inggris. Hatinya tertambat untuk La Vecchia Signora. Akun twitter: @adipersada.

Foto-foto hasil jepretan penulis sendiri.

Komentar