Sepakbola Inggris Bermasalah dengan Fasilitas?

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sepakbola Inggris Bermasalah dengan Fasilitas?

Tidak ada yang menyangkal soal kualitas lapangan di stadion Liga Primer Inggris. Saat melihatnya dari televisi, Anda seolah menyaksikan para pemain berlarian di atas permadani hijau dengan motif garis-garis yang begitu indah. Saat kamera menyorot lebih dekat, rumput tersebut terlihat begitu rata dan empuk, sebuah lingkungan yang begitu diidamkan pesepakbola.

Sejak beberapa musim lalu, ada aturan kalau rumput lapangan di stadion kesebelasan Liga Primer Inggris tidak boleh botak. Hal ini tentu memalukan buat liga itu sendiri, seperti yang diungkapkan FC Barcelona kala menghadapi Chelsea pada Liga Champions musim 2005/2006. Saat itu Stadion Stamford Bridge terlihat begitu kering dan berlumpur saat hujan.

Kondisi tersebut diprotes Barcelona yang bertandang ke London pada 22 Februari 2006. Kapten Barcelona kala itu, Carles Puyol, bahkan menuduh Chelsea membiarkan rumput lapangannya buruk untuk menghambat permainan umpan-umpan pendek Barca. Mundo Deportivo pun menyebutnya sebagai “Stamford Beach” karena lebih banyak pasir ketimbang rumput.

Saat ini apa yang terjadi pada Stadion Stamford Bridge tersebut tak terulang, bahkan saat musim dingin sekalipun di mana rumput mesti berjuang keras untuk tumbuh. Hampir semua stadion di Inggris telah memiliki pemanas ultraviolet yang bisa menunjang pertumbuhan rumput.

Perawatan yang intens, dan juga mahal, seringkali membuat tidak semua orang bisa menginjak rumput stadion. Bahkan seringkali ditemui papan larangan untuk tidak menginjak rumput di stadion. Dari fakta di atas kita bisa mengambil kesimpulan kalau stadion yang dimiliki kesebelasan Premier League tidak sembarangan bisa dipakai. Bahkan, mungkin saja cuma dipakai hanya saat pertandingan yang melibatkan kesebelasan pemilik.

Dengan pemasukan dari televisi yang mencapai 5 miliar poundsterling sepanjang musim 2013/2014 hingga 2015/2016, menjadi hal yang aneh saat FA tidak bekerja sama dengan Premier League untuk meningkatkan kualitas infrastruktur akar rumput (grassroots atau pembinaan). Meskipun Etihad Campus memiliki 18 lapangan sepakbola standar internasional, tapi di akar rumput, masyarakat Inggris masih harus berjuang untuk bermain bola di lapangan yang seadanya.

Penurunan Partisipasi Olahraga

Sejak awal 2014 silam, The Guardian mengangkat isu penurunan partisipasi olahraga di masyarakat Inggris. Jumlah orang dewasa yang bermain sepakbola pun menurun dari 2,02 juta menjadi 1,84 juta sejak 2005. Penurunan ini diperparah dengan pemotongan anggaran yang dilakukan badan di bawah Departemen Budaya, Media, dan Olahraga Inggris, Sport England.

Berdasarkan survei dari Sport and Recreation Alliance (SRA), sebanyak 55 pertandingan dari enam liga di Inggris mesti dibatalkan karena cuaca buruk yang membuat lapangan tak bisa dipakai. Ini tak lain karena perawatan lapangan yang bisa lebih sulit saat hujan turun tapi lapangan masih dipakai.

“Kami memahami banyak dewan kota tengah dalam tekanan terkait pemangkasan anggaran. Namun, investasi di fasilitas olahraga harus dilihat sebagai pengeluaran yang memungkinkan orang-orang memiliki waktu yang baik dan lebih tentang membuat investasi jangka panjang di kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,” tutur Andy Reed.

Fasilitas Tidak Memadai

Ketua Southern Sunday Football League, Graham Rodber, dilanda kebingungan karena menghadari sejumlah pertandingan yang ditunda dan naiknya biaya yang mesti dibayarkan. Ia sudah membayar uang muka untuk sewa lapangan, tapi sejumlah kesebelasan justru tak bisa bermain sejak Desember karena cuaca buruk. Dalam satu pertandingan, Rodber mesti membayar 99 pounds per satu tim, belum lagi biaya untuk 35 pounds untuk membayar wasit.

Saat biaya hidup meningkat, masyarakat pun mulai melupakan kebutuhan yang bukan hal yang utama. “Liga kami bukanlah yang terkaya di dunia. Kami mesti menggunakan uang tabungan 1.000 pounds agar semuanya bisa berjalan tahun ini,” tutur Rodber dikutip dari The Guardian, “Kami membayar di muka tapi apa yang terjadi adalah sejumlah kesebelasan tidak dibayar karena mereka tidak bermain. Jujur, kami tidak yakin hingga kapan kami bisa bermain seperti ini.”

Menurut Owen Gibson dari The Guardian, hal ini tak lepas dari buruknya perawatan lapangan yang dimiliki oleh pemerintah kota. Buruknya perawatan membuat sejumlah pertandingan mesti ditunda.

“Ada banyak orang yang menjadi konsumen dan begitu terobsesi pada sepakbola profesional tapi jauh lebih sedikit yang memainkannya. Sepakbola cuma menjadi yang populer keempat di belakang renang, atletik, dan sepeda,” tulis Gibson.

Dalam pandangan pemerintah Inggris, penurunan partisipasi olahraga berarti menurunkan potensi hadirnya atlet-atlet baru yang berprestasi. Di sepakbola, buruknya fasilitas justru menjadi salah satu alasan mengapa orang dewasa sudah malas bermain bola. Banyak dari mereka yang lebih memilih menonton pertandingan ketimbang ikut memainkannya.

Meskipun terdengar tidak signifikan, tapi penurunan jumlah partisipasi olahraga, khususnya sepakbola, bisa menghabisi Wayne Rooney baru, Steven Gerrard baru, atau Frank Lampard baru. Karena di tingkat industri, sejumlah kesebelasan lebih memilih mendatangkan pemain asing yang memang sudah terukur kemampuannya. Kalau sudah begini, prestasi olahraga Inggris, khususnya sepakbola akan kian terpinggirkan.

Komentar