Nasib-Nasib Para Pemain Terbaik Piala Dunia U-17

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Nasib-Nasib Para Pemain Terbaik Piala Dunia U-17

Perhelatan Piala Dunia U-17 2015 telah bergulir sejak 17 Oktober. Talenta-talenta terpilih dari 24 negara di seluruh dunia saling unjuk kebolehan pada turnamen yang digelar per dua tahun tersebut. Selain untuk prestasi pribadi dan negara, bukan tak mungkin nasib para pemain menjadi lebih baik pasca turnamen ini usai.

Para pemandu bakat dari kesebelasan-kesebelasan top Eropa tentu saja tak akan melewatkan turnamen ini. Para pemain berbakat itu punya kesempatan besar untuk direkrut akademi kesebelasan Eropa dengan harapan bisa menjadi pemain bintang di masa depan.

Pemain terbaik (Golden Ball) dan pencetak gol terbanyak (Golden Shoe) biasanya akan menjadi pemain yang menjadi incaran banyak kesebelasan. Namun meski memilki kemampuan yang menjanjikan, tak semua pemain terbaik itu memiliki karier terbaik pula di kemudian hari.

Hal itu terbukti dari gelaran Piala Dunia U-17 yang mulai bergulir tahun 1985 ini. Memang turnamen ini juga yang mengorbitkan Cesc Fabregas, Toni Kroos, dan Landon Donovan. Tapi hasil penelusuran kami, cukup banyak pemain terbaik atau pencetak gol terbanyak pada ajang ini justru gagal bersinar di kemudian hari. Siapa saja mereka?

(1985) William Cesar de Oliviera dan Marcel Witeczek

Brasil menempati peringkat ketiga setelah mengalahkan Guinea dengan skor 4-1. William dinobatkan menjadi pemain terbaik turnamen (mengalahkan Fernando Redondo) karena menjadi andalan Tim Samba dalam membobol gawang lawan. Namun jumlah golnya masih kalah oleh Marcel Witeczek yang mengantarkan Jerman Barat ke babak final yang dikalahkan Nigeria.

Namun William tak pernah mencapai level tertinggi dan hanya berkutat di Vasco da Gama sebelum akhirnya pensiun pada 2002 di kesebelasan asal Peru, Alianza Lima. Sementara Witeczek lebih baik, di mana ia sempat bermain untuk empat kesebelasan Bundesliga: Kaiserlautern, Bayer Leverkusen, Bayern Munchen, dan Borussia Moencengladbach. Namun kariernya di timnas tak begitu mengilap apalagi setelah Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi negara kesatuan.

(1987) Philip Osundu dan Moussa Traore

Osundu dinobatkan sebagai pemain terbaik karea berhasil membawa Nigeria menjuarai Piala Dunia U-17 untuk pertama kalinya. Meski keberhasilannya ini membuat kesebelasan asal Belgia, Anderlecht, menggaetnya, namun potensinya gagal dimaksimalkan sehingga namanya kurang familiar dibandingkan Gianluca Pessotto (Italia), Mark Bosnich (Australia), atau Emmanuel Petit (Prancis) yang juga ikut serta pada turnamen ini.

Setali tiga uang dengan karier Traore. Penyerang yang mencetak lima gol bagi Pantai Gading ini pun meredup setelah gelaran Piala Dunia U-17. Sempat direkrut kesebelasan Ligue 1, Rennes, ia kemudian hanya bermain di divisi bawah Liga Prancis.

(1989) James Will dan Fode Camara

Kita tentunya tidak asing dengan nama Fode Camara. Top skorer PD U-17 tahun 1989 ini sempat menjadi bomber andalan kesebelasan Indonesia, PKT Bontang, pada 2003 hingga 2007. Bermuaranya Camara di Indonesia tentunya menjadi sebuah kemunduran bagi kariernya yang sebelumya hanya malang melintang di kesebelasan Belgia, apalagi kemudian dihukum dilarang terlibat  sepakbola selama seumur hidup oleh PSSI karena terlibat pengaturan skor pada 2013 lalu.

Sementara James Will merupakan kiper asal Skotlandia yang meraih penghargaan pemain terbaik setelah hanya kebobolan tiga gol sepanjang turnamen dan mengantarkan Skotlandia ke final. Ia kala itu merupakan pemain akademi Arsenal, namun tak pernah bisa menembus skuat utama. Setelah membela kesebelasan divisi bawah Liga Skotlandia, ia pensiun pada 2008 dan kini menjadi anggota polisi di Skotlandia.

(1991) Nii Lamptey dan Adriano Gerlin

Piala Dunia U-17 1991 yang digelar di Italia dihiasi nama-nama seperti Alessandro Del Piero, Alessandro Birindelli, Luigi Sartor, Juan Sebastian Veron, Marcelo Gallardo, dan Samuele Kuffour. Namun pemuda yang mencuri perhatian adalah  gelandang asal Ghana, Nii Lamptey (pemain terbaik), dan Adriano Gerlin (top skorer).

Lamptey kemudian menjadi andalan timnas Ghana hingga mencatatkan 38 caps, namun hanya PSV Eindhoven dan Anderlecht sebagai kesebelasan top yang dibelanya. Sementara Adriano, hanya berkutat di liga lokal kecuali pada tahun 2001 membela Urawa Reds (Jepang) selama semusim.

(1993) Daniel Addo dan Wilson Oruma

Saat itu Italia boleh saja diperkuat Gianluigi Buffon dan Francesco Totti, atau ada juga pemain-pemain seperti Marek Jankulovski (Cekoslovakia), Hidetoshi Nakata (Jepang), Nwanko Kanu dan Celestine Babayaro (Nigeria). Tapi finalis turnamen Ghana dan Nigeria, menyumbang Daniel Addo sebagai pemain terbaik dan Wilson Oruma sebagai pencetak gol terbanyak.

Addo sebenarnya sudah dianggap memiliki potensi mumpuni di mana pada saat berusia 14 tahun, ia sudah berlaga di PD U-17 1991. Namun kariernya berjalan tak baik ketika direkrut Bayer Leverkusen tanpa sekalipun bermain di sana. Karier lebih baik dialami Oruma di mana ia sempat menjadi andalan kesebelasan asal Prancis, Lens dan Marseille.

(1995) Mohamed Kathiri dan Daniel Allsop

Oman menjadi salah satu kesebelasan kejutan dengan berhasil masuk ke babak semi-final, walau akhirnya hanya puas menempati peringkat empat. Kathiri, gelandang Oman, dianggap sebagai pemain terbaik turnamen ini mengalahkan nama-nama seperti Esteban Cambiasso, Pablo Aimar, Julio Cesar, Fabio Aurelio, Harry Kewell, Brett Emerton, Stephen Appiah, Tim Howard atau duo legenda timnas Jepang, Shinji Ono dan Junichi Inamoto.

Namun Kathiri lebih memilih untuk membela kesebelasan Oman, Al-Nasr, sepanjang kariernya. Sementara top skorer saat itu, Allsop, meski sempat membela Manchester City tiga tahun setelahnya, kariernya hanya berkutat di divisi bawah Liga Inggris dan hanya beberapa musim menjadi andalan Melbourne Victory.

(1997) Sergio Santamaria dan David Rodriguez

Spanyol meraih peringkat ketiga pada Piala Dunia U-17 tahun 1997. Meski terdapat nama Xavi Hernandez dan Iker Casillas, pemain yang paling berpengaruh dalam skuat Matador muda adalah Santamaria (Barcelona) dan David (Real Madrid).

Namun ternyata keduanya gagal menembus skuat utama masing-masing kesebelasan. Yang bersinar pada era ini justru gelandang asal Brasil, Ronaldinho, yang berhasil membawa Brasil juara untuk pertama kalinya.

(1999) Landon Donovoan dan Ishmael Addo

Landon Donovan merupakan salah satu pemain terbaik di Piala Dunia U-17, dan kemudian menjadi pemain terbaik di negaranya hingga saat ini. Karena bukan rahasia lagi jika pemain yang dinobatkan sebagai pemain terbaik pada PD U-17 1999 ini kini menjadi legenda di Amerika Serikat. Saat itu, ia mengalahkan pemain-pemain potensial seperti Michael Essien, Pepe Reina, atau Mikel Arteta.

Namun Addo, top skorer turnamen dengan tujuh gol, tak bernasib sama. Hearts of Oak, kesebelasan yang ia bela saat itu, berupaya meingkatkan kualitasnya dengan meminjamkannya ke-6 kesebelasan selama tujuh musim. Hanya saja potensinya tetap gagal bersinar meski pada turnamen ini Addo lebih tajam dari penyerang asal Brasil, Adriano Leite atau penyerang asal Thailand, Teeratep Winothai.

(2001) Florent Sinama Pongolle

Pada turnamen ini, penyerang asal Prancis, Florent Sinama Pongolle, menjadi sosok antagonis bagi lini pertahanan lawan dengan mengantarkan Prancis U-17 menjadi juara dunia. Sembilan gol yang ia ciptakan merupakan yang terbanyak sepanjang sejarah PD U-17.

Saat itu, ia mengalahkan ketajaman Fernando Torres dan Carlos Tevez. Keberhasilan Prancis menjuarai turnamen itu pun membuatnya dinobatkan sebagai pemain terbaik mengalahkan Diego Ribas, Andres Iniesta, dan Javier Mascherano. Ia pun lantas direkrut Liverpool dari akademi Le Havre. Tapi hasilnya? Nama-nama lain yang justru mencatakan sejarah di kemudian hari.

Cesc Fabregas mengalahkan siapa saja saat menjadi pemain terbaik Piala Dunia U-17 pada 2003? Baca halaman berikutnya di sini.

Komentar