Saat Amerika Mengguncang Kewibawaan FIFA

Berita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Saat Amerika Mengguncang Kewibawaan FIFA

Amerika Serikat memang tak berkawan dengan sepakbola. Ini pula yang membuat Negeri Paman Sam tak punya perasaan bersalah saat Biro Investigasi Federal, FBI, mencokok sejumlah petinggi FIFA.

Sebagai wajah dari organisasi, Sepp Blatter nyatanya masih memimpin setidaknya hingga pertengahan tahun depan. Padahal, para pejabat yang terlibat kasus korupsi adalah bawahan Blatter itu sendiri.

Amerika Serikat, dengan cara yang berbeda, menyampaikan protesnya dan mengirim urgensi agar Blatter segera turun. Empat sponsor utama FIFA yang berbasis di Amerika Serikat, Coca-Cola, McDonald’s, Visa, dan Budweiser, kompak meminta Blatter turun dari singgasananya.

Dikutip dari The Guardian, Coca-Cola adalah satu dari lima sponsor utama FIFA yang berkontribusi senilai 1,62 miliar dollar setiap empat tahun. Coca-Cola sendiri beralasan kalau dengan masih menjabatnya Blatter di FIFA bisa memperlambat proses reformasi FIFA itu sendiri. Buruknya nama FIFA akan berpengaruh pula pada citra yang melekat pada sponsor.

“Semakin hari, citra dan reputasi FIFA terus ternoda. FIFA membutuhkan reformasi yang komprehensif dan mendesak yang bisa dicapai lewat pendekatan yang benar-benar merdeka,” tutur sumber resmi salah satu sponsor tertua FIFA ini.

Hal serupa diutarakan McDonald’s yang menganggap bahwa turunnya Blatter akan membantu proses reformasi di tubuh FIFA secara kredibel. Di sisi lain, pemilik Budweiser, Anheuser-Busch InBev, menyatakan bahwa kehadiran Blatter hanya akan menjadi batu sandungan dalam proses reformasi.

Mei lalu, saat kasus korupsi di dalam tubuh FIFA mulai terbongkar, Sekretaris Jenderal FIFA, Jerome Valcke, yang meyakinkan para sponsor untuk tak hengkang. Valcke meyakinkan kalau FIFA amat serius soal reformasi di tubuh mereka.

Di sisi lain, Coca-Cola merasa berjasa menaikkan nama Blatter. Dikutip dari The Guardian, pada 1975, Coca-Cola mendanai program pengembangan global FIFA yang dipimpin oleh Blatter. Program tersebut bernama “Dubbed Project One” yang tujuannya menyebarkan sepakbola ke seluruh penjuru sembari membawa Coca-Cola sebagai brand global.

Menurut pebisnis Inggris yang juga merancang program tersebut, Patrick Nally, semua bangunan FIFa dan Blatter saat ini dibangun dari kemampuan pemasaran perusahaan Coca-Cola. “No coke, no Blatter,” ucap Nally dikutip The Guardian.

Juli lalu, Coca-Cola yang gerah dengan FIFA, menjadi sponsor pertama yang menyuarakan keinginannya akan reformasi di tubuh FIFA. Perusahaan minuman bersoda tersebut ingin agar reformasi dilakukan secepatnya, secara independen, dan dipimpin oleh orang-orang di luar FIFA.

Kampanye tersebut didukung sepenuhnya oleh Konfederasi Buruh Internasional, ITUC. Sekretaris Jenderal ITUC, Sharan Burrow, menyatakan bahwa Coca-Cola menjadi patokan dan meminta sponsor lain untuk mengikuti apa yang dilakukan mereka. “Ini adalah waktunya buat sponsor lain seperti Visa, Adidas, dan McDonald’s untuk berdiri melawan korupsi dan mengembalikan sepakbola ke jalur yang benar,” tutur Burrow.

McDonald’s sendiri menganggap apa yang terjadi di tubuh FIFA ini sebagai isu penting, karena banyak pelanggan mereka yang begitu mencintai sepakbola. “Kami tak puas dengan pengelolaan FIFA sekarang ini, terlebih dengan insiden-insiden lalu yang melawan budaya dan nilai-nilai yang diterapkan McDonald’s. FIFA mesti mengimplementasikan perubahan yang berarti untuk mengembalikan kepercayaan dan kredibilitas kepada penggemar dan sponsor,” tutur juru bicara McDonald pada Juli silam.

MCD

Menurunnya Kepercayaan

Reaksi negatif tercatat saat FIFA memutuskan memindahkan Piala Dunia 2022 ke musim dingin atau sekitar bulan November dan Desember. Ini dilakukan agar suhu panas di Qatar tak mengganggu jalannya kompetisi.

Pemindahan ini selain mengubah tradisi waktu pelaksanaan Piala Dunia, juga mengganggu kalender kompetisi. Sejumlah operator liga mesti menyesuaikan jadwal Piala Dunia karena pada masa tersebut hampir semua liga top Eropa masih menjalani kompetisi.

Penurunan kepercayaan juga terlihat saat FIFA mengumumkan daftar 59 calon peraih Ballon d’Or atau pemain terbaik dunia tahun ini. Sejumlah pengamat berkerut karena tidak adanya sejumlah nama yang sejatinya cocok untuk menjadi yang terbaik seperti Gianluigi Buffon yang mengantarkan Juventus ke final Liga Champions musim lalu. Anehnya, sejumlah nama yang tidak begitu terperhatikan sepak terjangnya, justru hadir dalam daftar tersebut, macam Christian Atsu.

Media Italia, La Gazzetta dello Sport, pun menuliskan headline bertuliskan “Buffonery” atau yang berarti “lelucon”. Mereka menganggap rilis daftar tersebut adalah bagian dari lelucon yang dilakukan FIFA.

Kian turunnya kepercayaan publik, membuat FIFA seperti tak lagi memiliki kewibawaan di mata dunia. Masih bertenggernya Sepp Blatter di kursi presiden membuat reformasi dalam tubuh FIFA kian menyulitkan. Belum lagi, saat ia turun, posisinya akan digantikan oleh sang wakil, Issa Hayatou, yang juga diduga terlibat dalam permainan kotor.

Satu-satunya kepercayaan publik pada FIFA barangkali hanya di permainan video game buatan EA Sports, karena Pro Evolution Soccer 2016 masih mengecewakan.

Komentar