Ancaman Son Heung-min kepada Harry Kane dan Arsenal

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Ancaman Son Heung-min kepada Harry Kane dan Arsenal

Kepindahan Son Heung-min menjadi keuntungan sepihak bagi Totenham Hotspurs setelah merekrutnya dari Bayer Leverkusen dengan harga 21 juta poundsterling pada bursa transfer musim panas 2015.

Atas bakat dan kerja kerasnya, ada banyak pihak yang sebenarnya menyayangkan keputusannya untuk bergabung dengan kesebelasan papan tengah Premier League ketimbang membela Leverkusen di ajang Liga Champions 2015/2016. Apalagi jika mengingat Son merupakan transfer alternatif Tottenham akibat kegagalan merekrut Saido Berahino dari West Bromwich Albion.

Namun ia juga memiliki keuntungan sendiri perihal eksistensinya sebagai pesepakbola dari Benua Asia. Harga 21 juta poundsterling itu menjadikannya sebagai pemain termahal ketiga sepanjang sejarah The Lily Whites, julukan Tottenham, setelah Erik Lamela dengan 30 juta poundsterling dan 26 juta poundsterling untuk Roberto Soldado.

Kisaran tersebut juga melabeli Son sebagai pesepakbola termahal dari Korsel, jauh mengalahkan Park Ji Sung ketika dibeli Manchester United dari PSV Eindhoven sebesar 5 juta poundsterling. Musim 2005-2008, Lee Young Pyo merupakan pemain asal Korsel yang berseragam Tottenham. Namun ekspektasi publik tak sebesar ekspektasi mereka terhadap Son. Kendati demikian, Pyo pernah mempersembahkan gelar Piala Liga bagi The Lily Whites.

Namun demikian, tidak sedikit pendukung Tottenham yang pesimis perihal kedatangan Son, padahal The Lily Whites sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuknya. Sebagian suporter tampaknya terbawa kembali akan kenangan buruk tentang kedatangan Erik Lamela pada awal musim 2013.

Pada debutnya di Liga Primer Inggris melawan Sunderland, kemampuannya masih belum teruji. Dari lima umpan silang yang dibuatnya, hanya satu yang tepat sasaran. Dua tendangan percobaannya pun melenceng. Saat itu ia berperan sebagai gelandang serang sayap kanan dalam formasi 4-2-3-1.

Ketika Tottenham amat berharap besar kepada Hary Kane untuk mencetak gol, harapan itu tidak bisa diemban Kane dengan baik. Begitu juga saat melawan FK Qarabag di Stadion White Hart Lane pada laga Grup J Europa League 2015/2016, Jumat (18/9). Justru Son yang memborong dua gol setelah kesebelasannya tertinggal 1-0 pada pertandingan Grup J Europa League. Ia juga berhasil menyarangkan gol semata wayangnya di jala gawang Crystal Palace pada pertandingan lanjutan Liga Primer Inggris 2015/2016 di White Hart Lane, Sabtu (20/9).

Berhasil memecah kebuntuan ketika melawan Palace membuatnya disambut bak pahlawan baru. Ketika digantikan oleh Clinton N'Jie pada menit ke-79, ia mendapatkan tepuk tangan meriah dari para pendukung Tottenham di White Hart Line. Namanya pun diteriakkan suporter di akhir laga.

Suasana ruang ganti Tottenham usai laga melawan Palace pun dipenuhi kegembiraan, terutama bagi Son yang mentraktir makanan khas negaranya seperti barbeque, seafood pancake dan semacamnya dari restoran Korsel ternama di London kepada rekan-rekannya sebagai ucapan terima kasihnya.

"Penampilannya yang fantastis, energi yang ia tunjukkan luar biasa dan untuk itu saya pikir para pendukung sangat senang dengannya. "Saya senang karena dia mencetak tiga gol saat di dua kemenangan. Saya sangat senang dengan dia;" ujar Mauricio Pochettino, Manajer Tottenham.

Jadi Kane atau Lamela yang tersingkir?

Gol kemenangan melawan Palace ditutup dengan usaha keras dan ide-idenya. Di tengah-tengah upaya Kane untuk mengembalikan ketajamannya, Tottenham justru memiliki pahlawan baru.

Terus terang, sulit untuk memikirkan aktivitas transfer yang telah dilakukan kesebelasan arahan Pochettino ini selama beberapa musim terakhir. Vlad Chiriches, Paulinho, Nacer Chadli, dan pemain lain, terkecuali Lamela merupakan bagian revolusi Tottenham dari penjualan Bale ke Real Madrid.

Sejauh ini, Tottenham masih belum bisa disebut sebagai kesebelasan yang efektif di bursa transfer. Tapi berkat Son, setidaknya kali ini mereka tampak lebih baik. Pesepakbola asal Korea Selatan ini bisa saja menjadi salah satu pemain kunci untuk membantu kesebelasan dalam meraih target-target yang tentunya sudah mereka atur, terutama sejak kepergian Bale ke Madrid.

Mari pikirkan tentang kemegahan Park Ji Sung di United. Ada sifat tak kenal lelah yang mengalir dari Guus Hiddink sejak membesut Korsel pada Piala Dunia 2002, yang membawa Ji Sung dkk ke semifinal.

Sekarang kita melihat bahwa sifat kerja keras yang sama bisa dimanfaatkan Tottenham. Bahkan tanda-tanda awal menunjukkan bahwa Son akan terus diandalkan kesebelasan barunya.

Jika kemampuan seperti itu mampu dimanfaatkannya, maka ia bisa menetap lebih baik daripada (Ralat) waktu berseragam Leverkusen. Gelontoran 11 gol di Bundesliga musim lalu memang lahir dari insting yang baik. Memanfaatkan peluang dengan ketenangan luar biasa memang jadi ciri Son. Kerja keras, gerakan cerdik dan mata yang jeli untuk mencetak gol, menjadi ciri khas pemain kelahiran 8 Juli 1992 tersebut. Sungguh sesuai dengan cara permainan yang diterapkan Pochettino: mendominasi lebih dari 60 persen penguasan bola dan pressing ketat.

Gol dan kepercayan dirinya sedikit-banyak juga mengancam pemain depan The Lily Whites lain, misalnya, Cristian Eriksen yang rentan mendapat cedera. Tapi kekhawatiran terbesar justru ada pada Kane yang masih berupaya untuk mencetak gol. Son adalah pemain yang bisa bermain pada posisi nomor tujuh, sembilan, 10 maupun 11 pada semua posisi menyerang yang berbeda.

"Dia adalah pemain kami ikuti dalam waktu lama. Saya ingin merekrutnya karena profilnya. Dia memiliki energi dan dapat menekan tinggi dengan tempo tinggi," ungkap Pochettino.

Tapi setelah Eriksen kembali pada kebugaran seutuhnya dan Kane mulai bermain seperti musim lalu, Son tidak dapat terus berharap untuk mengambil bagian lebih dalam skuat penyerang Tottenham. Son juga mengaku bahwa ia belum benar-benar merasa nyaman dengan sepakbola Inggris.

"Saya belum beradaptasi dengan Liga Primer Inggris. Saya ingin melakukan yang lebih baik dan mempersiapkan diri sampai saya bisa," katanya. "Saya mengerti apa yang diinvestasikan klub. Saya mendapatkan banyak bantuan dari rekan-rekan dan pelatih dan itulah mengapa saya ingin melakukan yang lebih baik," tegas pemain 23 tahun itu lebih lanjut.

Derby London dan Kemungkinan Menyamai Alexis Sanchez

Dalam waktu dekat, tepatnya Kamis (24/9) dini hari, ia harus melakoni partai derby London Utara, yang mempertemukan Tottenham dan Arsenal.

Sebagai penggemar sepak bola Liga Primer Inggris sejak kecil, ia mengetahui segala cerita tentang permusuhan kedua kesebelasan tersebut. "Saya mendengar tentang derby London Utara ketika saya masih di Bundesliga. Saya ingin mempersiapkan diri dan melakukannya dengan baik pada hari Kamis," ujar Son.

Kecepatan dan ketajamannya dalam beberapa partai terakhir, yang seharusnya bisa menjadi dasar tentang perkiraan kualitasnya sebagai pesepakbola di liga Inggris, mengingatkan kita dengan pilar Arsenal yang datang sejak musim lalu, Alexis Sanchez. Walau dijuluki Cristiano Ronaldo dari Asia, namun Son dianggap memiliki kemampuan yang menakjubkan soal kecepatan, fisik dan etos kerja yang cenderung penyerang sayap The Gunners tersebut.

Tapi bukan berarti keduanya dalam tingkat yang sama dalam segi permainan. Alexis telah berkompetisi di beberapa liga top dunia. Ia pun telah berhasil memenangkan La Liga, Copa Del Ray dan satu Piala FA dari dua musim (Ralat) bersama Arsenal.

Tottenham jelas berharap kontribusi Son bakal sebanding dengan uang yang telah mereka keluarkan di bursa transfer.  Ada beberapa aspek dalam diri Alexis dan Son yang menguntungkan masing-masing kesebelasan. Keduanya membahayakan lawan lewat umpan silang, operan dan tendangan akuratnya.

Seperti yang terlihat pada final FA tahun lalu, Sanchez mencetak gol setelah mendapatkan ruang untuk melepaskan tendangan. Sementara Son mencetak empat gol dari luar kotak penalti untuk Leverkusen musim lalu. Ia pun terkenal sebagai pesepakbola dengan kemampuan kaki kanan dan kiri yang sama hebatnya.

Tingkatannya memang belum mencapai level Bale. Tapi berkaca dari penampilannya ketika bersama Leverkusen, ia terbukti bisa menjadi pemain bintang bagi bangsanya, termasuk lewat hattrick ke gawang Laos pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018. Son mencetak 21 gol untuk Leverkusen selama dua musim di Bundesliga. Sementara Sanchez menggebrak kariernya di Arsenal sejak 2014 dari 16 gol yang telah dicetaknya.

Namun demikian, Son masih memiliki waktu yang panjang. Ia punya kewajiban buat membayar kepercayaan kesebelasan dan pendukungnya pada laga melawan Arsenal nanti. Memang, tak ada yang bisa menjamin bahwa ia juga bisa menjadi Lamela selanjutnya. Namun, siapa tahu, di tengah-tengah segala ketidakpastian kompetisi sepakbola Inggris, ia justru berhasil aset paling berharga buat Tottenham.

Sumber : Daily Mail, ESPN, NDTV Sports, Mirror, SB Nation, Squawka, Telegraph

Komentar