Menyesali Kegagalan Menjadi Pesepakbola

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Menyesali Kegagalan Menjadi Pesepakbola

Hampir semua yang menyukai sepakbola, sempat bercita-cita menjadi pesepakbola profesional. Tak semuanya memang. Tapi anda yang rajin membaca tulisan-tulisan bertemakan sepakbola, rasanya memang sempat terobsesi berprofesi sebagai pesepakbola. Benar begitu, bukan?

Hal seperti ini sebenarnya tak mengherankan terjadi di Indonesia. Di Indonesia, sepakbola menjadi olahraga yang paling populer dan paling banyak disaksikan, sebagaimana seluruh dunia memandang ‘kebesaran’ sepakbola. Indonesia bisa dibilang sebagai salah satu negara sepakbola, meski prestasinya tak terlalu membanggakan.

Saat masih kanak-kanak, dengan lantangnya kita mengikrarkan diri untuk menjadi pemain bola di masa depan. Namun ucap janji saat kita masih bocah ingusan itu lambat laun sirna seiring kita beranjak dewasa. Langkah kaki kita pun perlahan semakin jauh dari impian tersebut.

Saya merupakan salah satu di antara bocah-bocah yang gagal menggapai mimpinya itu. Meski sempat mengikuti Sekolah Sepak Bola, meski pernah mendapatkan tawaran trial untuk Pelita U-21 dan Saint Prima U-21 saat SMA, pada akhirnya menjadi pemain sepakbola beneran gagal saya raih.

Walaupun saat ini pekerjaan saya tidak jauh-jauh dari sepakbola, tetap saja ada rasa penyesalan karena gagal mewujudkan impian tersebut. Apalagi jika melihat bagaimana para pesepakbola profesional saat ini menjalani kariernya, begitu menggiurkan.

Yang paling menggiurkan adalah bagaimana industri sepakbola memperlakukan para pemain sepakbolanya. Industri sepakbola menjadikan para pemain sepakbola sebagai ‘komoditas’ yang begitu diagungkan.

Bukan hal yang aneh bagi kita menyaksikan pemain-pemain bertalenta hebat mendapatkan gaji yang besarannya terbilang fantastis. Tak perlu jauh-jauh melihat gaji Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi, gaji para pemain berlabel timnas saja Indonesia bisa berada di atas Rp 500 juta per tahun atau mendekati RP 1 miliar, bahkan lebih.

Perjalanan yang cukup berat memang untuk menjadi pemain yang ‘bernilai’ mahal. Perlu kemampuan dan catatan yang bagus untuk mencapai level tersebut. Menjadi pemain berlabel timnas tentu saja bukan perkara mudah.

Tapi untuk pemain yang tak berlabel timnas nasional pun memiliki gaji yang cukup besar. Per tahun, bisa mendapatkan gaji minimal berpuluh-puluh juta. Tak hanya bagi pemain yang berada di level tertinggi, bermain level kedua kompetisi pun demikian.

Lebih dari itu, industri sepakbola begitu menghargai prestasi. Jika tampil memuaskan, seperti mencetak gol, mencetak assist, meraih kemenangan, para pemain sepakbola tak jarang mendapatkan bonus berlebih. Jika berhasil membawa kesebelasannya menjadi juara, sudah barangtentu bonus yang didapatkan semakin berlipat ganda.

Bermain bagus di sebuah kesebelasan pun akan membuat semakin bernilai. Kesebelasan lain bisa tertarik dan dengan iming-iming gaji yang lebih besar. Apalagi jika bermain di Eropa, mata-mata para pemandu bakat bisa mengubah nasib seorang pemain muda bertalenta besar dalam sekejap mata (tanya saja Maartin Odegard).

Bagaimana jika bermain tak bermain bagus dan tak sesuai harapan pelatih? Jangan khawatir, jika memiliki ‘etos kerja’ yang bagus dan memiliki kemampuan sepakbola yang cukup, akan ada kesebelasan lain yang siap menampung talenta pemain tersebut. Yah, walaupun mungkin akan turun level, setidaknya pemain tersebut bisa melanjutkan karier (dan melanjutkan hidup) dengan lebih mudah.

Bahkan berprilaku buruk pun masih bisa melanjutkan karier di dunia sepakbola. Kisah Mario Balotelli atau Joey Barton merupakan sedikit contoh bahwa pemain sepakbola menjadi 'komoditas' yang diagungkan meski tak memiliki etos kerja yang baik.

Hal-hal yang disebutkan di atas mengenai karier seorang pemain sepakbola itu tak dialami oleh mereka yang bukan pelaku sepakbola. Untuk mendapatkan gaji yang fantastis, melakukan tugas pekerjaan dengan baik saja tidak cukup.

Memiliki etos kerja yang baik kadang memang tak cukup membuat nasib seorang pekerja berubah menjadi lebih baik. Datang tepat waktu, semua tugas selesai tepat waktu, perusahaan semakin berkembang atas sedikit banyak usaha kita, tak lantas membuat seorang pekerja itu diagungkan layaknya para pesepakbola.

Saya sempat bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang farmasi, merasakan dan melihat sendiri para karyawan di sana kesulitan untuk berkembang sebagai pribadi. Padahal perusahaan tersebut terus melebarkan sayapnya dengan mulai membangun perusahaan-perusahaan lainnya.

Seorang teman atau senior saya sudah mengabdi di sana mencapai tujuh tahun. Tapi selama tujuh tahun tersebut, pekerjaan yang dilakukannya tetap sama. Padahal menurut saya, kinerjanya cukup baik dan patut menjadi teladan bagi yang lain. Akan tetapi gaji yang didapatkannya hanya mengalami kenaikan jika pemerintah menetapkan upah minimum secara nasional.

Bayangkan jika teman saya yang telah tujuh tahun ini berprofesi sebagai pesepakbola, mungkin ia akan berkali-kali mendapatkan pembaruan dan peningkatan gaji. Jabatan kapten akan membuatnya semakin bangga membela kesebelasan tersebut.

Bertahan selama itu setidaknya menunjukkan bahwa ia berguna. Saya sendiri bertahan selama tiga tahun sebelum menyadari bahwa saya harus semakin berkembang secara pribadi untuk menjadi lebih baik.

Meskipun itu hanya satu contoh, tapi rasanya tak sedikit pula perusahaan-perusahaan lain yang melakukan hal yang sama. Banyak perusahaan-perusahaan yang kadang tak menghargai lebih kerja keras para pegawainya.

Jika setiap perusahaan memperlakukan para pegawainya seperti para pesepakbola, rasanya para pegawai akan lebih termotivasi untuk bekerja dengan lebih baik. Perusahaan pun akan merasakan dampaknya. Apa ruginya memiliki pegawai yang setiap harinya bekerja dengan motivasi dan semangat tinggi? Bukankah justru itu bagus bagi perusahaan itu sendiri?

Karena itulah saya pernah merasa menyesal karena gagal menjadi pemain sepakbola. Meskipun kemampuan mengolah si kulat bundar saya pas-pasan, tapi jika memiliki etos kerja yang baik dengan misalnya terus rajin berlatih, bukan mustahil untuk memiliki karier sepakbola yang lebih baik.

Beberapa hari lalu saat di Surabaya, saya mendengar kabar jika pemain PSMS Medan tetap mendapatkan gaji meski PSSI dibekukan. Dan gaji terendah di PSMS, yang merupakan kesebelasan Divisi Utama, berkisar Rp 3,5 juta rupiah.

Saya langsung bertanya pada diri sendiri, berapa gaji yang mereka dapatkan jika liga masih bergulir? Berapa gaji yang didapatkan pemain dengan status pemain inti? Dengan angka yang tampaknya cukup menggiurkan tersebut, hal tersebut cukup menunjukkan bahwa industri sepakbola memang mengagungkan para ‘pekerja’-nya, bahkan hingga pemain yang berlaga di divisi bawah Indonesia.

Kesampingkan sejenak memiliki karier yang mapan dengan segala kebintangannya, memiliki profesi sebagai pesepakbola saja sudah sesuai dengan obsesi dan passion kita. Mengutip ungkapan Joko Anwar, there’s nothing happier than getting paid for what you love to do the best, isn’t?

Beruntung, saya saat ini bekerja masih bersinggungan dengan sepakbola. Tapi meskipun begitu, rasa penyesalan karena gagal menjadi pemain sepakbola itu tetap ada. Dan saya yakin, banyak juga yang merasakan hal serupa.

foto: istockphoto.com

Komentar