Lucas Radebe: Kepala Suku dari Soweto

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Lucas Radebe: Kepala Suku dari Soweto

Karya: Teguh Rama

Tepat hari ini, 21 tahun lalu, Lucas Radebe resmi bergabung dengan Leeds United.

Menurut Anda sifat apa yang lekat dengan sosok seorang kepala suku? Jika Anda menjawab dengan kata-kata ini: pemimpin, tangguh, loyal, dan menjadi teladan bagi semua rakyatnya, maka kurang lebih seperti itulah Lucas Radebe.

Radebe adalah salah satu ikon dan role-model Afrika Selatan dengan segala kontribusi dan pencapaiannya di dalam maupun di luar lapangan. Dan jika membicarakan ini, seketika itu pula terlintas kata-kata berikut didalam kepala saya: Apartheid, Afrika Selatan, dan Soweto.

Tiga kata kunci itu langsung membuat saya teringat kepada lagu yang pernah saya bawakan ketika acara pensi di SMA dulu yang berjudul “Gimme Hope  Jo’anna”, sebuah lagu yang saya kenal dibawakan oleh Not Available, band punk rock dari Jerman.

Aslinya lagu ini diciptakan musisi Inggris kelahiran Guyana, Eddy Grant, yang menceritakan politik Apartheid, yaitu politik diskriminasi yang didasarkan perbedaan warna kulit. Lagu tersebut saat itu dilarang beredar dan diputar di seluruh Afrika Selatan saat apartheid masih berlangsung.

Jo’anna di dalam lagu tersebut kabarnya merujuk kepada Johannesburg, kota kedigdayaan kaum kulit putih di negara paling selatan benua Afrika saat itu. Johannesburg dikenal sebagai kota tambang emas terbesar. Pemerintah Afrika Selatan saat itu menyisihkan orang kulit hitam yang mayoritas bekerja sebagai buruh tambang dari Johannesburg ke sebuah daerah bernama Soweto.

I hear she makes all the golden money 
To buy new weapons, any shape of guns
While every mother in black Soweto fears
The killing of another son..

Potongan bait ketiga dari lagu Gimme Hope Jo’anna seperti jelas menggambarkan situasi Soweto, daerah Radebe berasal, pada waktu itu. Sebuah daerah urban yang berbatasan langsung dengan Johannesburg (sekarang Soweto bagian dari Johannesburg) ini  didominasi penduduk berkulit hitam, dan terkenal resisten di masa politik diskriminasi Apartheid oleh otoritas kala itu.

Kekerasan bersenjata yang kerap terjadi membuat setiap orangtua berpikir untuk menghindarkan anaknya dari situasi buruk tersebut. Mereka sepakat mengarahkan anak-anaknya, termasuk Radebe, kepada sepakbola daripada harus terbunuh akibat konflik bersenjata.

Dalam buku biografinya yang berjudul “Lucas: From Street of Soweto to Soccer Superstar” dan ditulis oleh Richard Coomber, dikisahkan bahwa Radebe memulai karir sepakbolanya dengan sulit. Radebe kecil hanya bermain sepakbola dari jalanan ke jalanan lainnya. Ketika di Soweto, Radebe bahkan pernah bermain dengan menggunakan gumpalan-gumpalan kaus kaki yang disusun menjadi bola sepak.

Tak hanya itu, pada suatu ketika, Radebe yang masih muda pernah terkena tembak peluru di sekitar rumahnya ketika pulang berbelanja bersama ibu dan adik-adiknya. Namun polisi tidak mau menolongnya, karena politik Apartheid yang masih ada saat itu membuat mereka enggan menolong warga kulit hitam di Soweto. Pun dengan polisi berkulit hitam yang disebut Radebe sebagai ‘pengkhianat’.

Petualangan Radebe dimulai

Bakat sepakbola Radebe kemudian tercium oleh salah satu legenda sepakbola Afrika Selatan, Patrick Ntsolengoe. Patrick pun berjasa membuatnya bergabung dengan klub tersukses di Afrika Selatan, Kaizer Chief.

Awal karier Radebe di Eropa tak semulus yang dibayangkan. Radebe kesulitan beradaptasi dengan tempat tinggal barunya, di Leeds. Cuaca yang dingin serta makanan yang kurang cocok dengan lidahnya membuat ia rajin pulang ke Johannesburg pada tahun-tahun awal kepindahannya ke Eropa.

Selain itu, Radebe pun sempat bersitegang dengan gaffer Leeds saat itu, Howard Wilkinson yang membuat dirinya lebih banyak dicadangkan. Peruntungan Radebe berubah saat Wilkinson digantikan George Graham. Graham yang melihat potensi besar dari Radebe mempercayainya menjadi pemain inti.

Uniknya, pada awal kariernya sebagai pesepakbola, Radebe memulai sebagi seorang penjaga gawang. Tapi kemudian ia pindah menjadi seorang gelandang tengah sebelum akhirnya menempati posisi bek tengah.

Berbeda cerita dengan debutnya bersama Leeds United. Manajer Howard Wilkinson saat itu memainkannya sebagai sayap kanan. Pun begitu dengan aksinya sebagai kiper yang tidak bisa dianggap remeh (Anda bisa membuktikannya sendiri dengan menonton laga Leeds versus Man Utd tahun 1996).

Di dalam ruang ganti pemain, tidak ada sosok yang melampaui respek yang diberikan kepada Radebe yang dijuluki The Chief. Julukan yang diberikan oleh pendukung Leeds  dari tempat dirinya bermain sebelum Leeds, Kaizer Chiefs, namun pada akhirnya tersemat karena ia memiliki aura kepemimpinan yang luar biasa didalam maupun diluar lapangan.

Kehebatan dan kelincahannya di lapangan seketika melambungkan namanya sebagai bek tangguh kelas dunia. Sosoknya pun tak tergantikan sebagai kapten Leeds United sejak 1998 hingga ia memutuskan gantung sepatu pada tahun 2005.

Di bawah kepemimpinannya, Leeds finis di urutan ketiga klasemen Premier League pada musim 1999-2000, dan musim berikutnya membawa Leeds hingga ke semi-final Liga Champions, serta meraih gelar FIFA Fair Play Award di musim berikutnya.

Mantan bosnya di Leeds, Howard Wilkinson, mengakui kehebatan dan kepemimpinan Radebe di lapangan. Ia mengakui bahwa keinginannya untuk bermain dengan gaya direct dirasa tidak cocok untuk Radebe. Rhoo – julukan lainnya- meski tidak sepaham dengan Wilkinson, namun tetap memuji mantan bosnya tersebut karena ia anggap perekrutan dirinya sebagai perjudian besar.

Perjudian besar? Kebesaran pengaruh Radebe di Leeds United sebenarnya ironi dengan awal kedatangannya di Leeds. Radebe datang ke Leeds sebagai pemain paketan. Radebe menjadi bagian dari pembelian Philemon Masinga agar Phil merasa senang. Ia dihargai sebesar 250 ribu Poundsterling saja  dari Kaizer Chief saat itu.

Aksi Lucas Radebe yang menghentikan pergerakan Gianfranco Zola saat masih berseragam Leeds United (via: lucasradebe.com)
Aksi Lucas Radebe yang menghentikan pergerakan Gianfranco Zola saat masih berseragam Leeds United (via: lucasradebe.com)

Selain untuk level klub, di level internasional pun karirnya terbilang cukup sukses. Ia membuat 61 caps bagi tim Bafana Bafana serta membawa Afrika Selatan mejuarai Piala Afrika 1996. Salah satu momennya yang paling diingat publik adalah ketika ia memimpin pasukan timnas Afrika Selatan di Piala Dunia 2002 Korea-Jepang.

Pada turnamen itu, Radebe mencetak gol bicycle-kick ketika melawan Spanyol. Walaupun harus mengakui keunggulan Spanyol 3-2, namun aksinya di turnamen itu tidak mudah dilupakan khalayak.

Gimme Hope Jo’anna, sebuah kritik tentang politik Apartheid, sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan sepak terjang Lucas Radebe. Namun bagi saya, lagu itu seakan memberi kesan ironi didalamnya.

Afrika Selatan, sebuah daratan yang pernah dikuasai Ratu Elizabeth II, yang juga berperan akan politik diskriminasinya di negara tersebut, akhirnya mengakui kebesaran ‘pemimpin’ berkulit hitam dari Afrika Selatan di tanah Loegria, meskipun hanya di dalam ranah sepakbola.

Radebe menjadi pemain asal Afrika Selatan pertama yang menjadi kapten sebuah kesebelasan di Premier League. Lebih dari itu, The Chief menjadi pemain asal Afrika Selatan pertama setelah penghapusan Apartheid yang memperoleh work permit di daratan Inggris.

Radebe yang Dicintai

Suatu hari, ada empat pemuda yang hendak membuat sebuah band mendatangi tempat latihan Leeds United, Thorp Arch. Mereka sangat mengagumi sosok Radebe dan ingin bertemu dengannya untuk meminta ijin dalam penggunaan nama klub tempat Radebe bermain sebelumnya. Radebe menyetujuinya. Sekarang band tersebut menjadi salah satu band rock papan atas Inggris bernama Kaiser Chief.

Kecintaan penduduk kota Leeds pun tak hanya itu. Sebuah perusahaan pembuat  bir di Leeds bahkan sampai membuat produk yang dinamakan Radebeer sebagai bentuk penghormatan kepada sang legenda.

Pencapaian luar biasa dari Lucas Radebe di dalam dan luar lapangan pun membuat dirinya meraih gelar FIFA Fair Play Award di tahun 2000. Meskipun gagal meraih gelar bersama Leeds, namun usahanya dalam menyuarakan anti-rasisme, perhatiannya terhadap anak-anak di Afrika, hingga kegiatan amal menjadi alasan kuat ia pantas menerima penghargaan tersebut. Ia juga menerima gelar Master dan Doktor honoris causadari Leeds Metropolitan University dan University of Cape Town di negera asalnya, Afsel.

Sementara itu, Nelson Mandela, sosok yang menjadi simbol Afrika Selatan pun tanpa ragu menyebut sosok Lucas Radebe sebagai ‘My hero’ (pahlawanku) dalam lawatannya ke Inggris.

Kepala Suku Sejati

Kepala suku adalah seorang pemimpin tradisional. Dalam beberapa kepercayaan, ia dipercaya sebagai titisan dewa. Orang yang diutus dewa untuk suatu kaum. Kepala suku layaknya seorang pemimpin yang akan selalu bertahan dan dan setia membela rakyatnya, apapun yang terjadi.

Pengakuannya kepada publik tentang penolakannya atas tawaran Sir Alex Ferguson untuk memperkuat rival abadi, Manchester United.  Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi Afrika Selatan, SuperSport pada, Mei 2015 silam, Radebe mengungkapkan: “Only white rose, not red rose. I wouldn’t wear red.”

Radebe tetap setia dengan Leeds United hingga memutuskan pensiun di tahun 2005. Ia juga yang bersikeras untuk bertahan ketika Leeds terdegradasi dari Premier League musim 2003/04 yang mengakibatkan eksodus pemain-pemain bintangnya. Hanya tiga musim setelah Leeds berhasil mencapai semi-final Liga Champions.

Radebe menyadari  sudah saatnya ada yang meneruskan kepemimpinannya di lapangan. Bukan karena ia enggan, namun ia tahu tugasnya telah selesai. Harus ada ‘kepala suku’ lainnya yang lahir. Cedera lutut dan engkel yang terus bergelut dengan dirinya, serta faktor usia yang tak lagi muda, membuat ia menyerah dan memutuskan berhenti di lapangan hijau dan melanjutkan perjuangannya di luar lapangan dengan aktif didalam berbagai kampanye anti-rasisme dan kegiatan amal.

Pengakuan pelaku sepakbola Inggris akan kebesaran sosok Lucas Radebe diberikan saat penganugerahan gelar PFA Special Merit Award 2010. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kesuksesan karir sepakbola profesionalnya baik bagi klub dan negara, serta berpartisipasi mewujudkan mimpi Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Seperti bagian reffrain dari lagu Eddy Grant, Gimme Hope Joanna, Gimme hope Jo’anna, gimme hope Jo’anna, hope before the morning come. Radebe, sang Kepala Suku, layaknya Jo’anna dalam lagu tersebut, setelah memberi harapan kepada pemuda di Soweto dan juga seluruh pemuda Afrika Selatan untuk berjuang. Demi impian-impian mereka dan menjadi seorang legenda, tepat sebelum matahari terbit esok hari.

Penulis adalah peserta Pandit Camp dengan akun Twitter @Teguhrama

Komentar