Juventus dan Tiga Jenis Kecemasan

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Juventus dan Tiga Jenis Kecemasan

Karya Bakri Akhmad

Anxiety atau kecemasan merupakan keadaan psikis yang tegang dan mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Macam-macam tindakan yang diambil: dari tindakan-tindakan spontan yang cenderung kontraproduktif maupun tindakan terukur yang bisa menjadi awal untuk mengatasi kecemasan.

Saya merasa ada kecemasan yang jelas terlihat di tubuh Juventus. Kecemasan itu direspons dengan jor-joran mendatangkan pemain baru di bursa transfer kali ini dibanding musim lalu. Kekalahan di dua laga awal musim ini, sekaligus menjadi start terburuk Juventus  dalam kurun 100 tahun lebih, membuat mereka terlihat mencemaskan kekuatan mereka sendiri.

Meskipun sempat anjlok akibat calciopoli, Nyonya Tua berhasil bangkit dan menginvestasikan semua yang ia punya. Dalam kurun waktu setengah windu terakhir, tidak ada yang bisa menyaingi si Nyonya Tua di Italia. Bahkan untuk musim kemarin Juventus FC (nama asli Si Nyonya Tua) mampu menyabet semua gelar yang diselenggarakan di Italia. Jika tidak dirusak Barcelona, sudah pasti Nyonya Tua bisa sedikit mendongakkan kepalanya di Italia bahkan Eropa sebagai klub kedua Italia yang mampu meraih gelar treble setelah Inter Milan. Bahkan musim ini Nyonya Tua kembali dihadapkan dengan rekor mereka sendiri dengan meraih scudeto 5 kali beruntun seperti yang sudah dilakukannya pada medio 1930/1931 sampai 1934-1935.

Kedigdayaan si Nyonya Tua di semua ajang tersebut tak lepas dari kombinasi serta kontribusi pemain-pemain yang mereka miliki. Buffon yang kokoh di barisan paling belakang dilindungi bek-bek khas Italia macam Bonucci, Chellini, dan juga Barzagli. Di area tengah mereka benar-benar jumawa ketika Pirlo sebagai komposer dilindungi serta didukung oleh Vidal dan Marchisio. Pemain muda ekplosif seperti Pogba pun bisa bermain dengan tenang dan bisa belajar dari senior-seniornya tersebut.

Baca juga: Pahit Manis Pogba di Manchester United

Untuk urusan ujung tombak, siapa yang tak kenal El Apache? Striker asal Argentina ini adalah ujung tombak mematikan yang dipercaya sebagai penuntas rencana-rencana Alegri di lapangan.

Kekuatan si Nyonya Tua sedikit demi sedikit mulai usang dan berkurang tahun ini, dengan Pirlo dan Tevez telah berganti tangan pemilik, juga Vidal yang dijual untuk melengkapi skema Pep di Bayern. Nyonya Tuan mau tak mau harus melakukan pembenahan guna tetap dihormati di Italia maupun Eropa. Kehilangan tiga elemen vital jelas menimbulkan kerugian besar bagi Nyonya Tua pada musim barunya. Kini mereka berupaya keras melakukan perbaikan pada semua lini dengan penambahan 11 wajah baru untuk bisa berlaga di Juventus Stadium musim depan.

Seperti yang telah dikatakan pada paragraf pembuka, Sigmund Freud berujar bahwa kecemasan atau anxiety adalah keadaan tegang yang memotivasi individu untuk berbuat sesuatu. Freud sendiri membagi kecemasan menjadi tiga bagian yaitu: kecemasan realitas, kecemasan neurosis serta kecemasan moral.

Berangkat dari hal di atas, Juventus terlihat benar-benar mengalami apa yang diungkapkan pendiri mazhab psikoanalisis berkebangsaan Austria tersebut.

Pertama, Juve benar-benar merasa terancam di dunia nyata, dalam hal ini adalah persaingan sepakbola. Mereka mencemaskan kekuatan rival-rival musim ini. Roma, Inter, Milan bisa menjadi rival yang lebih solid. Belum lagi kuda hitam macam Lazio, Fiorentina bahkan Udinese yang sudah bisa membuktikan diri mereka bisa mengalahkan si Nyonya Tua. Hal tersebut sesuai dengan definisi kecemasan realitas atau objektif yang dikemukakan Freud.

Selanjutnya, menurut Freud, kecemasan Neurosis merupakan kecemasan yang mempunyai dasar pada masa kecil, konflik antara pemuasan instingtif dan realitas. Dalam hal ini tergambar jelas bahwa Juventus mencemaskan sesuatu seperti terlempar dari papan atas di ajang liga Italia, berada di papan bawah atau mungkin bahwa mereka takut terdegradasi lagi seperti yang mereka alami di tahun 2006 jika tidak bertindak cepat dalam lantai transfer kali ini.

Realitasnya mereka memang sedang keropos di beberapa lini, dan kecemasan terhadap realitas itu membangkitkan kecemasan instingtif melihat bagaimana rival-rivalnya sangat agresif memperkuat diri dengan belanja pemain. Inilah kecemasan neurosis yang dimaksudkan Freud, jenis kecemasan yang banyak dipicu oleh perasaan adanya marabahaya dari luar dirinya yang membangkitkan insting dan kecemasan.

Yang terakhir, Juventus mencemaskan apa yang mereka lakukan dalam bursa transfer kali ini. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Freud tentang jenis kecemasan ketiga yaitu kecemasan moral. Bagi Freud, kecemasan moral merujuk pada suara hati individu itu sendiri, biasanya dipicu oleh pertentangan antara godaan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan “standar moral” tertentu yang sudah lebih dulu tertanam.

Melepas Vidal, Tevez dan Pirlo, bagi Juventus, adalah standar moral karena -- seperti dikatakan oleh pihak Juventus sendiri, khususnya saat berbicara tentang kepergian Vidal-- melepas pemain yang ingin mengembangkan karirnya atau karena pilihan personal (alasan keluarga seperti Tevez) adalah sebuah keniscayaan. Mereka tak ingin menghambat pilihan-pilihan orang yang pernah berjasa membantu Juventus meraih trofi dalam beberapa musim terakhir.

Namun pilihan moral itu ternyata mendatangkan kecemasan moral. Mereka tidak lagi percaya diri dengan pilihan-pilihannya sendiri. Nyonya Tua terkesan tidak pede dengan pembelian barunya tersebut apakah bisa menggantikan pemain-pemain penting mereka yang pergi. Mereka menutup lubang-lubang yang hilang dengan banyak pemain. Contohnya, mereka membeli tiga orang striker hanya untuk menggantikan dua orang striker. Jelas Juve seperti mencemaskan dan tidak percaya diri atas aktivitas transfer mereka.

Setelah dipermalukan Udinese dirumah mereka sendiri, Juve kembali dibuat malu oleh tim lain seri A, kali ini sang penantang serius dua musim terakhir, AS Roma, yang memukau dengan beberapa wajah barunya. Juve semakin terlihat benar-benar cemas dengan lini per lini mereka khususnya lini tengah.

Inilah yang membuat Juve kembali mendatangkan satu pemain lagi yaitu Hernanes dari Inter Milan. Sebelum membeli Hernanes, Juve sudah terlebih dahulu mendatangkan Sami Khedira. Namun Khedira cedera. Sial. Padahal rekam jejak Khedira dengan cedera seharusnya tidak mengejutkan. Toh Juventus merasa puyeng juga saat pemain yang digadang-gadang sebagai pengganti Vidal itu cedera sangat dini, bahkan sebelum liga dimulai.

Juventus juga sudah berinvestasi dalam diri Dybala, Mandzukic, dan Zaza sebagai penerus bahkan pengganti Tevez. Alex Sandro dan Neto  kian melengkapi penambahan besar-besaran Cuadrado dan Lemina untuk menambah kedalaman skuat si hitam putih di lini tengah.

Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan si Nyonya Tua untuk mengatasi kecemasan-kecemasan tersebut. Freud yang dengan gamblang menjelaskan berbagai tipe kecemasan juga memberikan beberapa cara bertahan dari serangan Anxiety.

Juventus harus berani melakukan “reaksi formasi” yaitu mengubah sesuatu yang tidak dapat diterima diubah menjadi bentuk yang lebih bisa diterima. Juve yang bukan tipe tim yang suka jor-joran dalam lantai transfer harus menunjukkan pada tim lain bahwa sekarang mereka sudah berbeda. Si Nyonya Tua tengah butuh suntikan tenaga-tenaga baru untuk mengarungi musim depan dengan cara apapun termasuk boros dalam bursa transfer edisi ini. Tak usah sungkan, terima kenyataan bahwa diri sendiri sedang keropos.

Si Nyonya Tua juga dapat melakukan sublimasi yaitu mengubah energi yang tadinya tampak sebagai kecemasan menjadi energi untuk lebih berkembang dan lebih kreatif serta kaya akan strategi. Dengan datangnya 11 pemain baru, jelas Alegri bisa lebih leluasa dan memiliki kedalaman skuat yang sangat bagus. Juga mempunyai banyak opsi untuk strategi-strategi alternatif di musim depan.

Baca juga: Schadenfreude, Perasaan Senang Saat Melihat Kesengsaraan

Ketika kemarin hanya mengandalkan Teves dan Morata, kali ini Juve bisa berpenampilan lebih segar dan menarik dengan adanya Dybala, Zaza juga Mandzukic. Begitupun dengan lini tengah mereka yang semakin kaya akan hadirnya pemain-pemain bertipe baru.

Pendeknya, jika memang Pirlo dan Vidal tidak bisa digantikan, maka jangan memaksakan strategi yang sama seakan-akan Pirlo dan Vidal masih ada. Strategi dan gaya bermain mesti disesuaikan dengan materi pemain sesuai karakteristiknya yang tersedia.

Pencarian Alex Ferguson terhadap pengganti Roy Keane pada pertengahan 2000an lalu bisa jadi contoh. Fergie membeli beberapa pemain untuk menggantikan Keane, tapi gagal. Termasuk mengubah Alan Smith dari penyerang menjadi gelandang bertahan karena dianggap sama-sama agresifnya dengan Keane. Fergie justru menemukan pengganti Keane di posisi gelandang bertahan pada diri Michael Carrick, yang jauh dari agresif dan brutal layaknya Keane, namun justru berwatak lebih kalem dan cenderung menjadi playmaker dari kedalaman.

Selain reaksi formasi dan sublimasi, masih merujuk Freud, si Nyonya Tua juga bisa melakukan tindakan “rasionalisasi”. Ini merupakan sebentuk mekanisme pertahanan yang melibatkan pemahaman ulang terhadap perilaku kita agar bisa lebih diterima dan dirasionalkan. Dalam hal ini jika nantinya Juve gagal bersaing dengan rival-rival yang mencoba menjungkalkan dominasinya, mereka bisa beralasan karena belum bisa menemukan tiga sosok elemen penting yang pergi beberapa waktu lalu.

Jika itu yang terjadi, dan reaksi rasionalisasi yang diambil, maka dengan sendirinya Juventus perlu bersabar dengan proses membangun kembali skuat. Jika rasionalisasi ala Freud ini yang diambil, namun pada saat yang sama mereka malah memecat Allegri, misalnya, maka ini berarti kecemasan belum benar-benar pergi. Jika konsisten dengan reaksi rasionalisasi, dengan sendirinya mereka juga mesti lebih sabar dengan proses dan tak gampang menyalahkan, misalnya, Allegri seorang saja.

Seperti yang telah dikatakan di atas, untuk tetap menjaga eksistensi, wajar jika sebuah kesebelasan besar yang bergelimang gelar dan ditinggalkan tiga pemain kuncinya  mencoba memperbaiki keadaan dengan mendatangkan sebelas pemain baru. Hal tersebut bukanlah panic buying, namun mungkin lebih tepat jika tindakan tersebut merupakan mekanisme pertahanan diri Juventus melawan kecemasan-kecemasan yang muncul. Mereka kini bersiap menulis kembali daftar kompetisi apa saja yang akan mereka targetkan serta berharap bisa tetap bediri tegak bahkan lebih berkembang dalam percaturan persepakbolaan Italia dan Eropa.

Dengan mengutip kembali satu kalimat dalam lirik anthem Juventus, Ogni pagina nuova sai, sarà ancora la storia di tutti noi. Artinya setiap lembaran baru yang kamu buat, akan menjadi cerita bagi kita semua.

storia di un grande amore.
fino alla fine forza Juve.

foto: cnn.com

Penulis adalah peserta #PanditCamp gelombang keempat. Akun twitter:

Komentar