Filosofi Obat Jamur, Meneer van Gaal?

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Filosofi Obat Jamur, Meneer van Gaal?

Karya Novandiet Eersta Angginanda

Manchester United resmi melepas Jonny Evans dan Andres Lindegaard ke West Bromwich Albion, menyusul Darren Fletcher yang hijrah ke kesebelasan yang sama enam bulan yang lalu. Selain itu, Adnan Januzaj juga dipinjamkan ke Borussia Dortmund dan Javier ‘Chicharito’ Hernandez dipersilakan menandatangani kontrak tiga tahun dengan Bayer Leverkusen dengan biaya transger sebesar £7,3 Juta. Robin van Persie, yang berjasa dalam perburuan gelar Premier League musim 2012/2013, juga sudah dijual lebih dulu ke Fenerbahce.

Hal ini seakan menegaskan langkah perombakan (nyaris) total yang hendak dilakukan Louis van Gaal. Pada musim pertamanya, berbekal berbagai pujian publik berkat impresifnya performa tim nasional Belanda asuhannya di gelaran Piala Dunia 2014, meneer Belanda itu mengejutkan banyak pihak dengan menerapkan skema permainan yang sangat berbeda dari yang biasa ditampilkan Manchester United.

Formasi 3-5-2 sempat menjadi pilihan van Gaal sebagai formasi utama Manchester United pada awal musim. Hasilnya tidak maksimal dan ia kembali ke formasi familiar 4-4-1-1 dengan menempatkan Rooney sebagai second striker.

Pergerakan transfer United musim lalu juga tergolong ambisius dengan mendatangkan Ander Herrera, Daley Blind, hingga Angel di Maria yang langsung dilepas ke Paris Saint-Germain di musim berikutnya. Itu saja tak cukup, musim ini van Gaal memutuskan mendatangkan nama-nama tenar di persepakbolaan Eropa seperti Memphis Depay, Morgan Schneiderlin, Matteo Darmian, Bastian Schweinsteiger, hingga Sergio Romero.

Hengkangnya Jonny Evans, Andres Lindegaard, dan Chicharito sebetulnya tidak terlalu mengejutkan mengingat mereka memang bukan pemain yang dipercaya LVG untuk menjadi pilihan utama skuad Setan Merah musim lalu. Akan tetapi, agaknya hal ini mengisyaratkan Louis van Gaal benar-benar serius mengubah United menjadi kesebelasan yang ia inginkan.

Perubahan-perubahan yang diusung sang meneer tergolong radikal. Jonny Evans, Darren Fletcher, Nani, Chicharito, hingga van Persie merupakan pemain-pemain kepercayaan Sir Alex Ferguson selama melatih Manchester United. Bahkan, Fletcher merupakan satu dari dua orang yang menerima kehormatan setelah namanya disebutkan Sir Alex dalam pidato perpisahannya bersama dengan Paul Scholes pada akhir musim 2013/2014.

Perubahan yang dibawa oleh van Gaal terasa lebih ekstrim dibanding dengan apa yang dilakukan pendahulunya, David Moyes, yang tidak melakukan perombakan besar-besaran terhadap skuad United dan memilih mempertahankan sebagian besar pemain dan skema permainan yang diwariskan Sir Alex Ferguson.

Saat menderita kekalahan dari Swansea City di pekan ke-4 di gelaran Liga Primer Inggris pun, praktis hanya Chris ‘Mike’ Smalling dan Wayne Rooney, pemain warisan Fergie, yang diturunkan LVG sebagai pemain inti. Sisanya, seperti Antonio Valencia, Ashley Young, dan Michael Carrick, kerap dijadikan pilihan kedua. Untuk Phil Jones, ia masih dibekap cedera sehingga belum bisa turun di awal musim ini. Jika ditinjau secara keseleruhan, hanya 10 pemain tim utama United era David Moyes yang masih dipertahankan van Gaal dalam tim utama pilihannya.

 




































































































NoNama PemainNoNama Pemain
40Ben Amos31Marouane Fellaini
1De Gea24Darren Fletcher
13Anders Lindegaard11Ryan Giggs
28Alexander Büttner44Adnan Januzaj
6Jonny Evans26Shinji Kagawa
3Patrice Evra8Juan Mata
5Rio Ferdinand17Nani
4Phil Jones25Antonio Valencia
38Michael Keane18Ashley Young
2Rafael14Javier Hernández
12Chris Smalling34Tom Lawrence
30Guillermo Varela10Wayne Rooney
15Nemanja Vidi?20Robin van Persie
16Michael Carrick19Danny Welbeck
23Tom Cleverley47James Wilson

Skuat United era David Moyes musim 2013/2014. Nama pemain berhuruf merah masih ada di musim United 2015/2016 (sumber: Wikipedia)

Beberapa poin penting dapat diambil terkait keputusan-keputusan ‘jenius’ LVG dalam melakukan revolusi tim yang terkesan tanpa tedeng aling-aling.

Sir Alex Ferguson bukanlah pelatih biasa. Fergie adalah United, United adalah Fergie. Fergie merupakan simbol abadi Manchester United di era Premier League yang sudah berlangsung selama 21 tahun sampai ia pensiun. Dalam kurun waktu tersebut, Fergie berhasil menuntun anak asuhnya menjadi penguasa Inggris sebanyak 13 kali. Tak hanya urusan terkait dengan lapangan hijau, pertimbangannya juga seringkali digunakan pihak manajemen dan direktur untuk menentukan ke mana arah klub berjalan ke depannya.

Singkatnya, Fergie lebih dari sekadar pelatih atau manajer. Ia sudah menjadi institusi tersendiri, telah menjadi akar yang menancap demikian dalam di Old Trafford maupun Carrington (markas latihan United). Penunjukkan David Moyes sebagai suksesornya menjadi salah satu bukti kuatnya pengaruh Fergie.

Van Gaal sebenarnya beruntung karena ada Moyes yang terlebih dulu menjabat sebagai pelatih United pasca pensiunnya Alex Ferguson. Moyes mendapat “kehormatan” (sekaligus kutukan) untuk menggantikan peran SAF dan harus berhadapan dengan tantangan (atau beban) yang luar biasa. Apalagi, kondisi skuat yang ditinggalkan Fergie kala itu tak bagus-bagus amat. Boleh dibilang, hanya magis Fergie yang mampu menyulap skuat ala kadarnya menjadi tim penguasa Inggris pada musim 2012/2013, yang toh permainannya tak bisa dibilang yang terbaik kala itu.

Alhasil, Moyes pun tak mampu bertahan menghadapi tekanan. Moyes pun harus rela dilengserkan setelah timnya terlempat dari persaingan juara dan dipastikan tidak dapat ikut serta dalam gelaran Liga Champions. Dengan skuat yang sedikit lebih buruk, sebab Moyes bahkan masih mendapatkan suntikan tenaga Fellaini dan Mata, toh Fergie sanggup menghadirkan gelar.

Van Gaal, yang telah mempelajari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Moyes, berusaha keras untuk mengubah citra United dengan membuang jauh-jauh embel-embel (baca: pemain) Fergie dari klub. Dapat dimaklumi jika ia merasa perlu mendatangkan pemain-pemain pilihannya untuk membuat Manchester United a la Louis Van Gaal, jauh dari citra United milik Sir Alex Ferguson.

Bagi van Gaal, sejarah adalah sejarah. United era Fergie sudah berlalu. Tentu ia tak menyangkal kehebatan dan warisan Fergie, hanya saja memang mustahil melanjutkan skema dan skuat yang diwariskan Fergie karena alasan yang jelas dan faktual: memang sudah tidak ada lagi Fergie di kamar ganti United. Masa kini dan masa depan mesti dihadapi bukan dengan terus menerus menengok masa lalu.

Dan mengubah sesuatu yang sudah mengakar jelas tidak mudah dilakukan, dan tidak dengan serta merta transisi berjalan dengan mulus. Dengan pemain-pemain mahal yang didatangkan van Gaal, toh United tak kunjung meyakinkan. Bahwa United bisa dikembalikan ke Liga Champions memang sebuah pencapaian yang tidak boleh juga diremehkan.

Sebagai salah satu tim terbesar di dunia, berkubang dalam mediokritas akan membawa kehancuran yang sistemik bagi Manchester United, seperti turunnya nilai jual mereka dan atmosfir gelap di ruang ganti yang disebabkan oleh terbebaninya pemain dengan tuntutan-tuntutan dari luar sehingga mengancam stabilitas tim. Kembali ke Eropa, setidaknya, bisa sedikit membantu memulihkan kepercayaan diri.

Selain itu, United juga mendapatkan keuntungan finansial dengan berpartisipasi di Liga Champions. Melalui kualifikasi tahap ketiga saja, Setan Merah mampu bisa mengeruk hadiah uang dari UEFA sebesar €2 juta berkat kemenangan mereka atas Club Brugge. Belum lagi hadiah partisipasi di babak grup yang mencapai €12 juta, ditambah €1,5 juta tiap kali menang dan €500 ribu tiap hasil imbang.

Namun melihat bagaimana reputasi van Gaal sebelumnya, cara-cara van Gaal mengelola tekanan di United (terutama dengan pembelian pemain-pemain mahal) tampak memperlihatkan betapa ia pun tak kebal dari tekanan.

Beberapa orang menganggap apa yang dilakukan van Gaal ini tidak mencerminkan sosoknya di masa lalu, sebutlah saat ia menukangi Barcelona atau Bayern Muenchen. Benar, di musim lalu ia sempat mengorbitkan Tyler Blackett McNair, namun itu hanya di awal-awal musim. Selebihnya nama-nama muda itu tak banyak lagi muncul sebagai starter. Bandingkan dengan bagaimana ia mengorbitkan nama-nama muda dan mematenkan posisi pemain-pemain muda itu di Barcelona dan Bayern, dari Xavi, Puyol dan Valdes di Barca hingga Schweinsteiger dan Thomas Mueller.

Akhirnya, harus diakui, pelatih sekelas dan seberpengalaman van Gaal pun tak bisa menghindar dari beban bayang-bayang Fergie. Dengan jam terbang yang jauh lebih berpengalaman dibandingkan Mourinho, misalnya, yang notabene juga pernah diasuh van Gaal, meneer Belanda ini sulit untuk dikatakan tidak tertekan sama sekali dengan posisinya di United.

Memang tidak mudah menggantikan Fergie. Kalau saja Fergie hanya sekadar pelatih atau manajer, mungkin tak akan sesulit ini mengisi “ruang psikologis” yang ditinggalkannya. Namun, seperti yang sudah disinggung di paragraf sebelumnya, Fergie lebih dari sekadar itu. Ia adalah institusi tersendiri, ia adalah akar yang sudah telanjur menancap begitu dalam di jantung United.

Kedepannya, sepertinya kita akan sering dihibur dengan melihat skema-skema permainan unik a la Louis van Gaal dengan filosofi misterius yang seringkali disinggungnya di beberapa konferensi pers. Dengan melihat banyaknya pemain yang diboyong van Gaal menggantikan pemain-pemain lama dan loyal era Sir Alex Ferguson macam Jonny Evans, mungkin salah satu keyakinan filosofis van Gaal ini mirip dengan slogan salah satu obat jamur yang populer di Indonesia: “Cabut jamur sampai ke akarnya!”

Betul begitu, meneer?

Penulis adalah peserta #PanditCamp gelombang keempat. Akun twitter: @novandiet

Komentar