Cerita dan Nasib Para Penggemar Sepakbola Layar Kaca

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Cerita dan Nasib Para Penggemar Sepakbola Layar Kaca

Tayangan sepakbola saat ini mulai agak sulit untuk kita dapatkan. Pada akhir pekan lalu, meski Serie A Italia dan La Liga Spanyol telah bergulir, tak ada stasiun televisi  lokal yang menayangkan pertandingan-pertandingan kedua liga tersebut.

Kesulitan kita menyaksikan tayangan sepakbola luar negeri ini mengingatkan saya pada masa di mana saya masih kecil. Saat itu, sepakbola seperti menjadi “makanan pokok” karena mudah didapatkan tak seperti sekarang sehingga hampir bisa terlihat setiap rumah.

Ayah saya adalah seorang penggemar sepakbola, bahkan katanya di hari pernikahannya ia masih sempat menonton perhelatan Piala Dunia  1994. Dan karena alasan ini pula saya tak terlalu aneh bagi saya melihat beliau menonton tayangan sepakbola.

Sebenarnya bukan hanya ayah saya, sanak saudara saya pun demikian. Dimulai dari tante saya yang sangat “mencintai” Alessandro Del Piero dan Juventus, hingga abang sepupu yang seringkali menginap di rumah untuk nonton bola.

Pada masa saya kecil, saya masih ingat bagaimana Serie-A Liga Italia masih menjadi liga terbaik (sampai sekarang bagi saya tetap yang terbaik). Stasiun televisi lokal yang menayangkan liga dari negeri Pizza itu menjadi channel favorit kami (saat itu saya jatuh cinta kepada salah satu klub Italia) setiap minggu. Asalkan kualitas antenna bagus, kami sekeluarga sudah bisa menikmati tayangan yang berkualitas dari para gladiator lapangan hijau di Italia.

Selain di Italia, masih ada TV lokal yang berbaik hati menayangkan Liga Jerman dan Spanyol serta Inggris. Ini belum lagi ditambah suguhan tayangan klub-klub terbaik dari benua Eropa di Liga Champions. Yang jelas, dalam satu minggu kami bisa puas menonton pertandingan sepakbola import.

Selain pertandingan sepakbola, tayangan yang paling menarik bagi penggemar tentunya adalah berita-berita yang memiliki kaitan dengan sepakbola. Semisal cuplikan pertandingan, profil pemain yang tengah naik daun, gol-gol terbaik, isu-isu soal sepakbola sampai berita perihal bursa transfer musim panas dan musim dingin. Semua dikemas dalam sebuah acara yang bagi saya, lebih menghibur daripada acara lainnya.

Pada pagi hari sebelum berangkat sekolah, saya masih sempat mencari berita soal pertandingan yang tidak sempat saya tonton di televise pada malam sebelumnya atau dini hari. Diakhir pekan  dan hari libur pun demikian.

Tapi kenikmatan itu hanya ada di masa lalu, beberapa tahun lalu saat tayangan sepakbola memang menjadi hiburan yang murah meriah. Kita hanya perlu bermodal televisi yang bisa dipakai bertahun-tahun dan biaya antenna serta listrik untuk menikmati tayangan sepakbola di rumah.

Hari ini memang tidak akan sama dengan hari kemarin. Rasanya kok sekarang tayangan sepakbola menjadi mahal. Antenna biasa tak lagi berguna untuk menampilkan tayangan pertandingan sepakbola luar negeri. Karena tak semua penggemar sepakbola memiliki uang lebih di luar kebutuhan pokok untuk merogoh kocek lebih dalam agar bisa menonton pertandingan sepakbola luar negeri lewat televise berbayar.

Tapi untungnya beberapa tahun belakangan, kami di rumah, yang juga karena rezeki dari Tuhan Yang Maha Pemurah, bisa menyewa TV berlangganan untuk dapat menonton tayangan sepakbola liga-liga Eropa. Selain itu, masih ada cara lain yaitu lewat streaming (tak peduli legal/ilegal) dengan bermodalkan PC/Laptop. Hanya saja cara yang satu ini harus didukung kestabilan dan kecepatan internet atau karena jika tidak kita akan menonton tayangan sepakbola seperti menonton CD yang sudah bergores.

Pada awalnya masalah seperti selesai dengan berlangganan televisi berbayar. Tapi ternyata tidak. Ketika tayangan sepakbola yang “sesekali” dapat ditonton melalui antenna hendak kami tonton melalui channel yang sama lewat parabola, tayangannya malah tidak bisa diakses (diacak). Akhirnya, jika hendak menonton tayangan yang (sialnya) hanya bisa ditonton melalui antenna, saya harus menukar-nukar mode televisi dari AV ke Antenna.

Tapi berhubung antenna di rumah sudah jarang pakai, maka kualitas sinyal pun menjadi tidak terawat dan semut pun bertebaran di layar TV. Bahkan kadang-kadang, tayangan tersebut hanya berupa gambar tanpa suara! Ah.

Sewaktu gelaran Piala Dunia 2014 lalu, saya dan keluarga bersusah payah memasang kabel antenna ke televisi di ruang tengah agar bisa menyaksikan tayangan setiap pertandingan yang kami sangat yakin tidak akan kami dapati di TV berbayar yang kami pakai.

Walau sekilas tampak ribet, tapi kami penganut “asal ada kemauan pasti ada jalan”. Hasilnya saat ini, karena TV berbayar ini masih menayangkan tayangan sepakbola berkualitas di akhir pekan (liga-liga Eropa), kami pun sudah tidak terlalu berharap setiap musim baru ada televise terrestial yang menayangkan. Lebih baik saya bersyukur saja karena Tuhan memberi kesempatan kepada saya dan keluarga menikmati tayangan sepakbola di akhir pekan setelah satu minggu yang kadang-kadang membosankan dan melelahkan.

Okelah, saya yang fakir akan ilmu ekonomi ini gagal paham soal biaya-biaya hak siar. Saya pun mafhum bahwa tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan hak siar dari liga-liga Eropa itu yang katanya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan miliar itu.

Berhubung tayangan sepakbola mulai sulit didapatkan di televise terrestial, barangkali tayangan olahraga lain semisal bulutangkis yang pernah jadi kebanggaan Indonesia, bisa menjadi tontonan alternatif. Karena seperti idealnya sebuah pertandingan, bulutangkis pun ada pemain, skor serta wasit. Hal itu yang harusnya bisa membuat menarik.

Apalagi ketika gelaran olahraga macam Pekan Olahraga Nasional, Sea Games, Asian Games dan Olimpiade, pasti banyak stasiun TV yang akan menayangkannya. Ya walau PON dan Sea Games yang terakhir agak kesulitan mencari siaran lokal yang menayangkan pertandingan dari beberapa cabor.

Tapi yang cukup menyedihkan bagi saya, tayangan sepakbola dan olahraga-olahraga lainnya ini berkurang  tapi acara lainnya yang, setidaknya menurut saya, tidak lebih menarik dan tidak lebih penting justru semakin bertebaran. Sekarang kita seolah dipaksa untuk menonton sinetron-sinteron, acara musik yang dua pertiga isinya adalah lawakan-lawakan, serta gosip-gosip seputar  pemain sepak akting (baca: artis) yang memperlihatkan kelihaian menggocek bentuk tubuh kepada seluruh khalayak.

Karenanya saran saya, untuk para penggemar sepakbola (dan penggemar olahraga) yang memiliki uang lebih, akan lebih baik untuk berlangganan TV berbayar agar tetap mendapatkan hiburan pada akhir pekan. Atau anggap saja dengan melakukan hal tersebut kita mencoba gigih dan menjunjung sportifitas (tidak menonton streaming yang illegal) seperti yang dilakukan para pelaku olahraga.

Penulis adalah seorang mahasiswa yang berdomisili di Pekanbaru. Penyuka psikologi, film, buku, sepakbola, dan lagu. Dapat dihubungi di akun Twitter @soniindrayana.

Komentar