Menanti Hasil Reformasi Sepakbola Rusia Jilid Dua

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Menanti Hasil Reformasi Sepakbola Rusia Jilid Dua

Karya Aditya Nugroho 

Di luar liga-liga mainstream Eropa yang penggemarnya bejibun dan rutin menyambangi penggemarnya di layar kaca, ada beberapa liga lain yang tidak sebenarnya tidak kalah menarik. Salah satunya adalah Liga Primer Rusia.

Liga yang turut melahirkan legenda-legenda sepakbola dunia seperti Lev Yashin, Eduard Streltsov, hingga Rinat Dasayev saat masih berada di bawah bendera Uni Soviet ini telah berjalan selama hampir sebulan dalam kesunyian perhatian pecinta sepakbola di Indonesia. Mereka sudah menyelesaikan empat atau lima laga sejauh ini. Mungkin hanya publik negeri mereka sendiri yang menyambut musim kompetisi baru dengan meriah.

Peta Kekuatan Liga Primer Rusia

Sejak penyelenggaraan liga sepakbola era Uni Soviet, Spartak Moskow masih menggengam predikat sebagai kesebelasan tersukses dengan torehan 21 gelar juara. Dominasi kesebelasan berjuluk The People’s Team berlanjut hingga pasca keruntuhan Soviet di mana mereka memenangi sembilan titel juara dalam sepuluh musim kompetisi Russian Top League.

Namun dalam lima tahun ke belakang, dominasi beralih ke tangan dua kesebelasan yaitu Zenit St. Petersburg dan CSKA Moskow. Keduanya begitu dominan dalam perolehan gelar juara. Zenit mengumpulkan tiga dan CSKA mengoleksi dua. Kedua kesebelasan juga tidak pernah finis di luar posisi tiga besar dalam kurun waktu itu.

Meski sedang mengerem aktivitas belanja pemain, namun Zenit masih bisa menikmati ‘kerajaan’ yang telah mereka bangun dalam satu dekade terakhir. Kualitas dan kedalaman skuat mereka masih yang terbaik di liga. Sementara CSKA sedikit berbeda. Mengandalkan tangan dingin pelatih Leonid Slutsky dan kejelian pemandu bakat dalam melihat potensi pemain, mereka mampu menciptakan skuat kompetitif setiap musimnya, dan selalu mengganggu kemapanan Zenit.

Dalam lima pertama musim ini, CSKA dan Zenit beriringan menempati puncak klasemen. Keduanya hanya berselisih tiga poin (15 dan 12 poin). Jika CSKA memenangi semua laga, Zenit hanya menang empat laga. Zenit sempat mencicipi kekalahan 0-2 dari Krasnodar.

Kekalahan Zenit itu lumayan mengejutkan. Selain terjadi di kandang sendiri, skornya pun cukup meyakinkan, 0-2. Sejak 2011, kala Krasnodar untuk kali pertama naik ke level teratas sepakbola Rusia, mereka tidak pernah bisa mengalahkan Zenit.  

Kendati Zenit secara mengejutkan kalah dari Krasnodar, bukan berarti dengan gampangnya Zenit divonis akan keteteran di sepanjang musim. Dominasi CSKA dan Zenit amat mungkin masih akan terjadi lagi musim ini, mengingat kekuatan mereka yang masih sulit ditandingi.

Persepakbolaan Rusia memang begitu bergairah dalam satu dekade terakhir. Pengusaha-pengusaha yang menikmati kekayaan pasca jatuhnya Soviet mulai melirik sepakbola untuk dijadikan sebagai kendaraan mencapai tujuan mereka yang lain. Selain itu, para petinggi sepakbola telah menggulirkan ide unifikasi Liga Rusia dan Ukraina, meski kemudian mentah seiring krisis Crimea pada 2014.

Klub-klub jagoan baru seperti Anzhi Makhachkala, Terek Grozny, Rubin Kazan hingga FC Krasnodar pun muncul meramaikan liga. Bintang-bintang dunia datang dengan senang hati berkat bayaran besar dan pajak yang rendah.

Terek Grozhny bisa dijadikan contoh bagaimana ambisi para pemilik kesebelasan sangat mempengaruhi sepakbola Rusia. Ambisi itu kadang tidak ada kaitannya dengan sepakbola. Terek Grozhny tak bisa dipisahkan dari sejarah kelam peperangan yang terjadi antara Chechnya dengan Sovyet di masa silam. Simak kisah lengkapnya:

Obsesi Politik yang Merasuki Sepakbola Chechnya.


Di kancah kompetisi antarklub Eropa, Zenit juga mencuri perhatian dengan menjuarai Europa League dan European Super Cup tahun 2008, yang dibarengi performa sensasional timnas Rusia yang melaju hingga babak semifinal Piala Eropa 2008. Harapan untuk menyejajarkan Liga Primer Rusia dengan liga-liga besar Eropa dan harapan untuk membentuk timnas yang tangguh pun membuncah.

Mandeknya Reformasi

Kini, optimisme-optimisme tersebut memudar karena satu demi satu proyek menemui kendala. Pembiayaan berbasis subsidi dari pemilik adalah hal yang diharamkan UEFA melalui Financial Fair Play. Sayangnya tidaklah mudah bagi klub-klub Rusia untuk mematuhi regulasi ini. Pendapatan asli klub seperti gate receipt, commercial maupun media tidak sebanding dengan biaya operasional. Berbeda dengan mereka yang berada di Eropa Barat.

Krisis mata uang rubel terhadap mata uang asing turut berpengaruh pada kemampuan pembiayaan klub-klub sepakbola, terlebih bagi yang membayar pemain asing dengan mata uang asing. Krisis rubel juga berdampak besar pada klub-klub yang masih mengandalkan sokongan dana dari pemerintah. Demi menanggulangi krisis, pemerintah tentu saja akan mengurangi anggaran untuk klub sepakbola.

Buntutnya, klub seperti Anzhi terpaksa mengubah strategi dari mengumpulkan pemain bintang dunia ke pembinaan pemain akademi. Kebijakan penghentian pembelian pemain juga akhirnya diikuti oleh klub-klub lain. Musim ini, Zenit tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli pemain, padahal musim lalu mereka masih bisa membeli Javi Garcia seharga 12 juta euro dari Manchester City. Belum termasuk persoalan rasisme dan kekerasan di stadion.

Yang paling memprihatinkan adalah hasil buruk timnas Rusia di Piala Dunia 2014 dan Kualifikasi Piala Eropa 2016, yang membuat diputusnya kontrak Fabio Capello. Berbagai kendala ini menandai mandeknya reformasi sepakbola Rusia, tentunya bukan hal yang baik untuk negara yang tahun 2018 nanti menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Harapan Pada Reformasi Kedua

Namun di balik segala kemunduran, terdapat hal-hal positif. Ada tiga hal yang dikedepankan yaitu kebijakan pengelola liga terkait pembatasan pemain asing, kemandirian finansial klub dan juga kepelatihan timnas. Tiga hal inilah yang dijadikan sebagai pilar reformasi kedua sepakbola Rusia.

Terkait pembatasan pemain asing, Menteri Olahraga Vitaly Mutko pada bulan April lalu telah mengeluarkan pernyataan: “Saya senang melihat kesebelasan yang menurunkan pemain yang mereka hasilkan (dari akademi).”  

Sejauh ini, kesebelasan-kesebelasan Rusia boleh menurunkan maksimal tujuh pemain asing dalam satu pertandingan liga. RFU, federasi sepakbola Rusia melalui presidennya Nikita Simonyan telah merespon hal ini dengan mengurangi kuota pemain asing menjadi enam yang dimulai musim 2015-16 ini.

Kebijakan ini memang mengundang kritik, terutama dari tim-tim papan atas. “Sistem baru ini adalah keputusan yang buruk. This is the end of football,” ujar Andre Villas-Boas, pelatih Zenit seperti dilaporkan Reuters. Namun di lain sisi, kebijakan ini diharapkan membantu mengembangkan talenta-talenta muda.

Dari sisi kemandirian finansial klub, langkah FC Krasnodar dan Anzhi patut dicontoh. Krasnodar, yang dimiliki miliuner Sergey Galitsky memang baru berdiri sejak tujuh tahun lalu, namun dalam kurun waktu singkat tersebut mereka telah menjelma sebagai kesebelasan papan atas Liga Primer Rusia. Musim lalu, poin mereka bahkan menyamai CSKA sebagai runner-up, namun sayangnya kalah dalam selisih gol.

Krasnodar tidak menggunakan cara instan pembelian pemain bintang sekalipun dimiliki oleh salah satu orang terkaya Rusia. Klub dengan warna khas hitam dan hijau ini dijalankan dengan pengelolaan keuangan yang rasional dan kepercayaan pada talenta akademi. Mereka bahkan tengah membangun stadion mereka sendiri demi ketahanan finansial yang lebih terjamin.

Di lain pihak, Anzhi mulai memperoleh manfaat dari perubahan strategi mereka. Menurut Inside World Football, Anzhi sudah memperoleh profit sebesar 4,4 milia rubel, atau sekitar 66 juta euro pada tahun 2014 setelah tahun-tahun sebelumnya selalu mengalami kerugian. Suleyman Kerimov yang hingga kini masih menjabat sebagai presiden klub juga sedang mencari investor baru guna memperkuat sisi finansial kesebelasan asal Dagestan ini.

Sementara dari sisi timnas, Federasi Sepakbola Rusia kini telah menunjuk Leonid Slutsky yang juga merangkap sebagai pelatih CSKA. Di CSKA ia mengoleksi enam trofi sejak 2009. Di tangan pelatih kalem ini, CSKA tampil sebagai kesebelasan yang menyerang dengan atraktif dan amat produktif mencetak gol. 

 Penulis bisa dihubungi melalui Twitter @aditchenko

Komentar