Si Bengal Liam Gallagher dan Jack Wilshere yang Tak Akan Pernah Menang

Panditcamp

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Si Bengal Liam Gallagher dan Jack Wilshere yang Tak Akan Pernah Menang

Ditulis oleh Yasmin Durrani

Memasuki hari keempat Pandit Camp, para peserta diberi materi tentang literasi sepakbola yang memanfaatkan budaya populer. Budaya populer adalah budaya yang paling mudah disentuh dan dimasuki. Ia begitu dinamis dan dekat dengan kita. Membicarakan budaya populer sama saja dengan membicarakan kesenangan kita pada film, musik ataupun buku. Lantas, apa jadinya jika literasi sepakbola dengan budaya populer? Ketiga peserta Pandit Camp sudah menjawabnya lewat tulisan-tulisan mereka.

***

“Orang-orang akan memanggil anak mereka dengan sebutan Beady Eye di akhir tahun,” begitulah cara Liam Gallagher menjawab salah pertanyaan pada sesi wawancaranya bersama Q Magazine. Memang terkesan narsis.

Liam Gallagher adalah nama suci pada tahun 1990-an. Bersama kakaknya, Noel (dan teman-teman bandnya yang hidup di bawah bayang-bayang dua saudara itu), Liam merasakan kehidupan identik rocker sesungguhnya—rokok dan alkohol, seperti judul salah satu lagu Oasis (Cigarette and Alcohol) dari album Definitely Maybe. Hampir semua orang mengenal lolongan legendarisnya pada lagu Wonderwall, “…and after all, you’re my wonderwall.”

Berhubung Liam Gallagher terlalu menikmati pola hidup hedonisme yang menjadi kebanggaannya, perlahan-lahan kualitas vokalnya memburuk. Ia tidak bisa mencapai nada-nada tinggi, sehingga butuh bantuan Noel untuk mendukungnya pada lagu-lagu tertentu, seperti Let There Be Love. Puncaknya, Liam menyanyikan lagu Wonderwall dengan suara seperti orang flu berat pada penutupan Olimpiade London 2012 lalu. Dari 1.090 komentar di YouTube, lebih dari dua pertiganya membandingkan kualitas suara Liam tahun 2012 dengan Liam di era 1990-an.

Dan atas segala perilaku dan gaya hidupnya, Liam Gallagher adalah versi musik dari seorang Jack Wilshere.

Jack Wilshere, wonderkid berharga selangit kebanggaan Arsenal, kini meringkuk di RS Arsenal bersama penghuni tetap, Abou Diaby, karena cedera saat berlatih. Cedera ini dikabarkan memaksa Wilshere untuk menepi selama beberapa bulan ke depan. 21 kasus cedera dalam enam tahun ke belakang, bukan termasuk hal yang bisa dibanggakan oleh Wilshere, bukan?

Pada musim 2014-2015 saja Wilshere harus absen selama 126 hari, dan kehilangan kesempatan untuk berlaga pada 26 laga. Belum lagi catatan cederanya yang lain saat cedera semusim penuh pada tahun 2012-2013 lalu.

Kalau Liam Gallagher terlalu menghayati hedonisme yang terlihat dari ketergantungannya pada rokok dan alkohol, Jack Wilshere ternyata terlalu menghayati kesenangannya terhadap rokok dan dunia malam.

Tidak berlebihan kalau Jack Wilshere ditasbihkan sebagai “anak bengal” milik Arsenal. Rasanya Patrick Vieira pun tidak sebengal itu.

Wilshere yang baru berusia 23 tahun terkadang lupa kalau ia seorang atlet sepakbola profesional. Berita mengenai Wilshere yang kepergok merokok, menjadi karib dengan dunia malam dan minum alkohol terlalu banyak, lebih sering menghiasi media daripada berita tentang keberhasilannya mencetak gol, membuat assist atau mendapat penghargaan atas penampilannya.

Perlahan-lahan Wilshere, yang semula dikenal sebagai wonderkid kelas dunia karena performanya saat melawan Barca pada tahun 2011 silam, berubah menjadi seorang playboy kelas dunia. Seperti halnya Liam Gallagher, yang kini lebih sering muncul di koran akibat berita seputar anak di luar nikahnya, Wilshere juga lebih sering muncul akibat gaya hidup sembrononya.

Setelah bubar akibat pertengkaran belakang panggung saat menggelar konser di Paris tahun 2009 lalu, Noel dan Liam sama-sama membangun proyek baru. Liam bersama teman-temannya di Oasis (Gem Archer, Andy Bell, dan Chris Sharrock) membentuk Beady Eye.

Noel sendiri memilih jalan solo, memperkenalkan alter egonya, Noel Gallagher’s High Flying Bird. Noel, yang suaranya sebetulnya tidak kalah dengan Liam, mulai menyanyikan sendiri lagu-lagu ciptaannya. Hasilnya? Sama sekali tidak buruk. Malah bisa dibilang membanggakan.

Lagu-lagu Noel jauh lebih digandrungi daripada lagu-lagu Liam. Kini, Beady Eye sudah ditelan bumi. Liam sendiri yang mengumumkannya lewat akun twitter pribadinya.

Sedangkan Noel sukses bersolo karir di Inggris. Walaupun tidak semeledak Oasis dan Knebworth, ternyata tiket konser Noel Gallagher’s High Flying Bird masih diserbu orang. Hampir semua lagu NGHFB yang diunggah ke YouTube mendapatkan respon positif.

Noel Gallagher adalah cerminan dari seorang Aaron Ramsey, pemain yang diam-diam juga menjadi model itu.

Seperti halnya Noel dan Liam yang menjadi simbol rock n roll, Ramsey dan Wilshere adalah simbol pemain tengah Arsenal—keduanya sama-sama masih muda, bertalenta dan diproyeksikan menjadi pengganti Fabregas.

Saat Liam memilih menyepelekan Beady Eye dan Wilshere melupakan karir atletnya dengan merokok dan minum alkohol, Noel dan Ramsey menjalani kehidupan yang berbeda. Ramsey dikenal dengan sikap pria baik-baik yang menjadi ciri khasnya—ia manis, pemalu dan berprestasi walaupun tetap terlihat rendah hati, persis Jesse pada trilogi Before Sunset.

Saat Wilshere perlahan kehilangan predikat wonderkid-nya, Ramsey masih tetap menggenggam istilah itu. Bedanya, kini Ramsey bukan sekedar wonderkid. Ia adalah mesias untuk Arsenal. Masih ingat gol penentu kemenangan Arsenal pada FA Cup 2014 yang dicetak Ramsey? Nah, itulah alasan valid mengapa Ramsey kini menjelma menjadi mesias untuk Arsenal. Saat Liam kehilangan pesonanya sebagai frontman terbaik, kini Noel menggantikan sang adik, walaupun NGHFB belum sehebat Oasis.

Dan saat itu pula saya sadar kalau “si bengal” tidak akan pernah menang.

Sylvia Plath, penulis The Bell Jar, adalah seorang feminis yang jatuh cinta pada seorang pria bengal bernama Ted Hughes. Erica Jong dalam buku Fear of Fifty menuliskan: “dan siapakah Sylvia Plath jika ia bukan seorang perempuan yang jatuh cinta pada pria yang kebengalannya menjadi arketipe?”

Untuk beberapa alasan yang sama, saya juga seorang penggila karakter pria yang cenderung bengal. Liam Gallagher, Chuck Bass (pada serial Gossip Girl), Barney Stinson (pada How I Met Your Mother), Jude Law dan Adam Levine adalah beberapa bad boy yang menjadi fantasi-fantasi semasa remaja. Kini, nama-nama di atas (kecuali Liam Gallagher), digantikan dengan George Clooney, Ted Mosby (karakter How I Met Your Mother), dan aktor kawakan Howard Hawks. Saya juga sempat lebih mengidolakan Jack Wilshere daripada Aaron Ramsey. Kini, semua berubah.

Selera saya semakin menua seiring perkembangan usia. Pepatah mengatakan a lady prefers a gentleman, while a good girl finds bad boy hot. Melihat referensi saya sekarang, ternyata saya sudah dewasa!

Penulis adalah peserta Pandit Camp, bisa dihubungi lewat akun Twitter @yasjamilah

Komentar