Taji Klub Belanda yang Semakin Tergerus di Eropa

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Taji Klub Belanda yang Semakin Tergerus di Eropa


Oleh: Eki Nurdiansyah


Ajax terbenam di antara dua raksasa Eropa, Barcelona dan AC Milan. Tertinggal satu poin dari runner-up AC Milan di grup “neraka”, Ajax harus memupus asa mereka untuk terus tampil di Liga Champions musim ini. Mereka terpaksa meneruskan perjuangan dengan berlaga di Liga Eropa.

Satu-satunya klub perwakilan Belanda di kompetisi kasta tertinggi Eropa ini pun gugur. Hasil inilah yang didapatkan dari babak grup Liga Champions 2013-2014. Turnamen itu kini hanya jadi ajang untuk empat klub Jerman, empat klub Inggris, tiga klub Spanyol, dan satu perwakilan dari Italia, Perancis, Turki, Rusia, dan Yunani.

Para Juara Eropa dari Belanda

Terakhir kalinya klub asal Belanda menjuarai Liga Champions Eropa adalah pada tahun 1994/1995. Kala itu Ajax Amsterdam, yang dilatih Louis Van Gaal, berhasil mengalahkan AC Milan dengan skor 1-0. Gol tunggal yang diciptakan Patrick Kluivert pada menit ke-85 berhasil menghantarkan trofi ke-4 bagi Ajax, sekaligus trofi ke-6 bagi klub Belanda dalam soal-menyoal menjuarai Liga Champions.

Tetapi, sejak saat itu, kekuatan klub-klub Belanda semakin tergerus oleh kekuatan klub-klub dari Spanyol, Jerman, Italia dan Inggris. Bahkan, semakin lama kekuatan klub-klub Belanda juga mulai disusul oleh klub-klub dari Portugal, Rusia bahkan Ukraina.



Mari mundur sejenak. Sebenarnya Ajax Amsterdam pernah mengalami masa keemasan di Eropa. Kala itu mereka menjuarai tiga edisi Liga Champions berturut-turut yakni tahun 1970-1971, 1971-1972 serta 1972-1973, dengan mengadopsi filosofi populer yang diperkenalkan Rinus Michels, yakni Total Football.

Dengan filosofi ini, tidak hanya Ajax yang disegani, tetapi Belanda-pun jadi sangat diperhitungkan.

Meskipun Ajax adalah klub Belanda yang sangat tampil impresif di Eropa sekaligus pengoleksi gelar terbanyak gelar juara Liga Champions dari Belanda. Klub pertama yang memenangi Liga Champions dari Belanda adalah Feyenoord, yang memenanginya pada tahun 1969-1970.

Kala itu mereka berhasil mengalahkan Celtic di partai puncak dengan skor 2-1. Setelah Ajax dan Feyenoord, kemudian ada PSV Eindhoven yang berhasil memenangkan Liga Champions pada tahun 1987/1988. Piala ini diraih setelah berhasil menang atas Benfica lewat drama adu penalti dengan skor 6-5 setelah sebelumnya bermain imbang 0-0.

Catatan Miris Klub Belanda di Eropa

Sejak Ajax Amsterdam menjuarai Liga Champions 1994-1995 dan menjadi runner-up ditahun berikutnya, serta menjadi semifinalis di tahun 1996/1997, memang bisa dibilang klub-klub Belanda mengalami penurunan performa di kancah Eropa. Klub-klub Belanda tidak bisa berbuat banyak.

Jangankan untuk melaju ke partai puncak, mereka bahkan sering kesulitan hanya untuk bertarung pada babak grup. Sejak medio 2000-an, catatan gemilang hanya ditorehkan ketika PSV Eindhoven berhasil melaju hingga partai semifinal di musim 2004/2005. Itu pun berujung kekalahan dari AC Milan.



Dalam catatan lima tahun terakhir penyelenggaraan Liga Champions, kiprah klub-klub Belanda memang terkesan ‘miris’. Tidak pernah ada satupun klub Belanda yang berhasil lolos dari fase grup.

Hal ini sebenarnya akan sangat berimbas pada koefisien bagi klub-klub Belanda yang akan semakin berkurang dan terus tergusur. Semakin tahun, posisi Belanda pun semakin merosot dengan jatah klub-klub Belanda untuk tampil di kancah Eropa semakin sedikit.

Terakhir kali Belanda mengirimkan tiga wakilnya di Liga Champions adalah pada musim 2002/2003. Kala itu, Ajax, PSV serta Feyenoord berhasil menembus babak grup, meskipun hasilnya hanya Ajax saja yang berhasil lolos ke fase 16 besar.

Mengandalkan Akademi, Cari untung dan Dikalahkan uang

Di era sepakbola modern seperti ini, uang memang mengalahkan segalanya. Baik loyalitas, kesetiaan, ataupun pengabdian, kini semuanya bisa dibeli dengan uang. Lihat saja bagaimana klub-klub mulai berani menggelontorkan dana yang cukup banyak demi membeli pemain yang diinginkan, dan mendapatkan prestasi secara instan.

Di Inggris ada Chelsea dan Manchester City. Sementara Spanyol memiliki Real Madrid yang cukup terkenal dengan ‘keborosan’-nya terhadap uang. Demikian juga Barcelona. Terbaru, ada dua klub dari Prancis yang gemar menghabiskan berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus juta euro untuk mendapatkan pemain bintang yang dinginkan.

Namun hal ini tidak berlaku bagi klub-klub dari Belanda. Ketiga penguasa sepakbola Belanda saat ini, yaitu Ajax Amsterdam, Feyenoord dan PSV Eindhoven, tidak tertarik sama sekali untuk melakukan pembelian yang terkesan jor-joran.

Mereka cukup berkomitmen dengan filosofi atau pegangan mereka tentang memaksimalkan para pemain akademi. Atau mereka menggunakan cara alamiah para professor sepakbola dalam mencari untung di industri sepakbola, yakni memantau pemain muda berbakat di seluruh penjuru dunia, dibeli dengan harga murah, lalu dibina di akademi mereka untuk kemudian dijual dengan harga yang cukup fantastis.

Dalam hal memaksimalkan potensi pemain muda, Ajax Amsterdam ada di garda terdepan. Akademi mereka sangat terkenal, dan bahkan sering disandingkan sebagai akademi terbaik di dunia bersama akademi La Masia milik Barcelona. Banyak pemain kelas dunia yang dilahirkan dari akademi ini, macam duo kembar De Boer, Marco Van Basten, Wesley Sneijder, Arjen Robben , Rafael Van der Vaart, dll.

Tetapi pencapaian Ajax dalam menghasilkan pemain-pemain akademi mulai tersaingi oleh rival abadi mereka, Feyenoord Rotterdam. Klub ini mulai dapat menghasilkan pemain-pemain berbakat. Ada nama Georginio Wijnaldum, Jonathan de Guzman, Leroy Fer, Tonny Vilhena serta tak lupa, pemain yang dijuluki sebagai “New Xavi” dari Belanda, Jordy Clasie, yang dilahirkan dari Feyenoord.



Prihal mencari keuntungan dengan cara menjual pemain muda, klub-klub Belanda memang harus memilih jalan ini. Keuangan yang pas-pasan dari para kontestan di Liga Eredivisie, membuat semua klub harus memutar otak untuk dapat menjalankan klub. Belum lagi jika berbicara mengikuti kompetisi dengan skuad yang cukup mumpuni.

Hal ini terlihat dari empat musim kebelakang. Klub-klub Belanda selalu mendapatkan keuntungan yang sangat signifikan dari praktek ini. Klub-klub Belanda tidak pernah merugi secara keseluruhan karena mereka tidak pernah melakukan pembelanjaan yang jor-joran.

Bahkan, rekor transfer Liga Belanda pun hanya sebesar 14 juta Euro. Ini terjadi ketika Ajax mendapatkan Miralem Sulejmani dari SC Heerenveen, lima tahun yang lalu! Khusus untuk musim ini, Eredivisie menjadi liga dengan jumlah pemasukan terbesar di Eropa, dengan keuntungan mencapai 98 juta Euro.

Ajax Tetap Memimpin

Sejak dulu, klub-klub Belanda memang terkenal sebagai pengekspor para pemain-pemain berbakat ke klub-klub yang lebih memiliki uang. Dan Ajax tetap menjadi klub nomor wahid di Belanda dalam melakukan bisnis ini.

Klass Jan Hunteelar, dibeli dengan harga delapan juta euro, kemudian dijual dengan harga 23 juta euro ke Real Madrid. Selain itu, ada juga nama Luis Suarez. Pemain ini dibeli dengan harga 6,6 juta euro dari FC Groningen, kemudian dijual dengan harga 23 juta Euro.

Tapi, rekor transfer di Liga Belanda sendiri masih dipegang oleh Ruud van Nistelrooy. ketika dibeli dengan harga enam juta Euro oleh PSV Eindhoven, ia bisa dijual dengan mahar hampir 25 juta euro ke Manchester United.

Praktek ekspor pemain liga Belanda ke liga-liga eropa lainnya ini mungkin berdampak besar bagi liga Belanda sendiri. Terutama bagi klub yang ditinggalkan pemain terbaiknya. Meskipun mendapatkan keuntungan secara finansial, klub-klub Belanda seperti seret prestasi di kompetisi Eropa. Ini karena perombakan pemain tiap tahun pastilah berpengaruh besar terhadap kekuatan tim. Mungkin ini yang jadi alasan kenapa klub-klub Belanda sangat sulit bersaing di Eropa.

Fenomena ini berbeda dengan klub-klub liga Spanyol, Jerman, Inggris, Italia maupun Prancis, yang terus melakukan perombakan tim guna menyiapkan tim yang solid. Mereka tidak hanya ingin bersaing dikompetisi lokal, tetapi di kompetisi Eropa.

Hal itu seperti tidak berlaku di Belanda. Ketika ada pemain berbakat yang mulai bersinar di sebuah klub, dengan cepat pemain tersebut menjadi incaran klub-klub Eropa yang lebih kuat secara finansial. Dengan cepat pula pemain itu berpindah ke klub lain, membuat kekuatan klub di  Belanda tersebut berkurang.

Tetapi sebenarnya tidak ada salahnya ketika klub-klub Belanda terus berpegang pada pemikiran tentang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari penjualan pemain muda. Hal ini sudah menjadi lumrah dalam menjalankan roda klub sepakbola yang tidak memiliki kekuatan finansial kuat.

Sudah hampir dua puluh tahun, sejak terakhir kali sebuah klub Belanda mengangkat piala yang sangat diidam-idamkan di Eropa. Untuk musim ini sudah tertutup kemungkinan untuk mengulang momen-momen ketika Ajax Amsterdam membawa the Big Ear ke kota Amsterdam.

Mungkin harus menunggu satu musim, dua musim, lima musim, atau bahkan sepuluh musim lagi untuk membawa kembali Piala tersebut ke sebuah kota di Belanda.

Dikirim oleh:

Nama                          :           Eki Nurdiansyah

Email                           :           ekinurdiansyah8@yahoo.com

Status                          :           Mahasiswa ( Semester 7 )

Akun Twitter                :          

( @ekidiansyah )

Menyukai sepakbola sejak kecil karena dibawa-bawa oleh Ayah untuk menonton sepakbola dan mulai aktif menulis tentang sepakbola sejak tidak bisa menjawab tentang perbedaan full-back dan wing-back dari seorang Guru. Artikel tentang sepakbola yang saya tulis ada di https://soccermonsterid.wordpress.com/ …

Komentar