Geliat Transfer Serie A, Sinyal Positif atau Bunuh Diri?

Berita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Geliat Transfer Serie A, Sinyal Positif atau Bunuh Diri?

Aktivitas transfer pemain di Eropa pada musim panas ini begitu menggeliat. Masing-masing kesebelasan dari segala penjuru Benua Biru ini begitu sibuk melakukan jual beli pemain untuk mengarungi musim yang baru. Tak  memandang itu kesebelasan besar ataupun kesebelasan kecil.

Dan ternyata sejauh ini, kegiatan pembelian pemain di Serie A saat ini meningkat sebanyak dua kali lipat dari bursa transfer musim lalu. Jika musim lalu nilai transfer yang dikeluarkan 20 kesebelasan Serie A hanya mencapai 126,4 juta euro, pada musim ini sudah melebihi 266 juta euro.

Hebatnya lagi, data yang dikumpulkan oleh ESPNFC itu baru dirilis pada awal Juli 2015. Ini artinya, nilai tersebut masih akan terus bertambah bahkan tak menutup kemungkinan akan mengalami penambahan yang cukup signifikan.

Menurut kolumnis ESPNFC, James Horncastle, hal ini terjadi karena adanya inflasi pada bursa transfer pemain di dunia. Inflasi ini semakin terlihat sejak nilai transfer David Luiz ke Paris Saint-Germain, James Rodriguez ke Real Madrid, dan beberapa transfer pada musim lalu. Para pemain, khususnya pemain muda, yang dihargai mahal ini tentunya mempengaruhi harga pemain lainnya.

Jika melihat agresifitas AC Milan, Inter Milan dan Juventus, memang tak mengherankan pembelanjaan pemain pada musim ini begitu meningkat drastis. Ketiga kesebelasan ini, masing-masing menciptakan rekor tersendiri saat merekrut salah satu pemain barunya.

Juventus mendatangkan Paulo Dybala yang masih berusia 21 tahun dengan biaya transfer sekitar 32 juta euro. Nilai transfer ini membuatnya menjadi pemain Juve termahal ke-4 sepanjang sejarah di bawah Gianluigi Buffon, Pavel Nedved, dan Lilian Thuram.

Tak lama berselang, Inter Milan berhasil menggaet gelandang berusia 22 tahun asal Prancis, Geoffrey Kondogbia, dengan nilai transfer sekitar 35 juta euro. Nilai transfer ini merupakan ketiga termahal dalam sejarah transfer Inter, hanya kalah dari Christian Vieri dan Hernan Crespo.

Milan pun tak mau kalah. Nilai transfer Carlos Bacca yang bernilai 30 juta euro dari Sevilla, hanya kalah dari Manuel Rui Costa, Filippo Inzaghi, dan Alessandro Nesta sebagai pemain termahal Milan. Belum lagi dengan harga Andrea Bertolacci yang menjadi pemain Italia termahal dalam 15 tahun terakhir dengan nilai transfer 20 juta euro.

Musim lalu, nilai transfer termahal di Serie A sendiri hanya mencapai 22 juta euro. Transfer ini terjadi saat AS Roma merekrut winger asal Argentina, Juan Iturbe, dari Hellas Verona. Dan pada musim ini, tiga pemain berhasil ditransfer mengalahkan harga Iturbe.

Sebenarnya cukup wajar bagi Juventus untuk membeli pemain dengan harga yang cukup mahal. Musim lalu, mereka berhasil meraih double winners dan mencapai babak final Liga Champions. Belum lagi dengan keuangan mereka yang semakin stabil dan menjadikannya sebagai kesebelasan terkaya di Italia.

Namun hal mengejutkan ketika Milan dan Inter melakukan transfer yang gila-gilaan. Milan dan Inter melakukan kegiatan transfer yang agresif karena tampil buruk pada musim lalu sehingga gagal tampil di kompetisi Eropa pada musim depan, yang membuat presiden baru mereka menyuntikkan dana berlimpah.

Belum lagi mereka masih mencari pemain-pemain baru untuk menyempurnakan skuat baru mereka. Inter, dikabarkan selangkah lagi mendapatkan Stevan Jovetic untuk menyempurnakan skema baru Roberto Mancini. Sementara Milan, masih mengincar pemain untuk posisi bek tengah atau mendapatkan Zlatan Ibrahimovic.

Jika keduanya berhasil mendapatkan target mereka, tampaknya akan menjadi efek domino bagi kesebelasan Italia lainnya. Kesebelasan Italia lain macam Roma, Napoli, Fiorentina, bahkan Lazio, akan semakin berupaya mendatangkan pemain anyar berkualitas untuk mengimbangi kekuatan Milan dan Inter yang secara di atas kertas cukup kuat untuk bersaing di papan atas.

Sisi baiknya, hal ini bisa mengangkat kembali pamor Serie A yang kini tertinggal oleh Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, dan Bundesliga Jerman. Tapi di sisi lain, boros anggaran belanja pun menjadi ajang bunuh diri missal bagi kesebelasan yang tak cukup memiliki fondasi yang kuat dari segi finansial.

Parma pada musim ini menjadi bukti bahwa kerugian yang besar dan hutang yang menumpuk menjerumuskan mereka ke jurang kebangkrutan. Kesebelasan yang bermarkas di Ennio Tardini ini harus memulai kompetisi dari Serie D, sama halnya dengan yang dialami Messina pada 2006.

Kesebelasan-kesebelasan besar yang berbelanja besar tentunya harus mengingat juga tentang adanya aturan Financial Fair Play. Musim lalu, Inter dan Roma berulang kali mendapatkan peringatan dari UEFA terkait kerugian mereka untuk tiga musim terakhir. Inilah yang bisa membuat kesebelasan besar di Italia tersebut membuka pintu krisis finansial.

“Habis-habisan untuk berbelanja pemain tanpa memperhatikan infrastruktur, stadion, servis klub, dan merchandise adalah bunuh diri,” ujar seorang kolumnis Il Giornale, Giuseppe de Bellis.

Kesebelasan-kesebelasan Italia terlambat menyadari pembangunan untuk jangka panjang. Harusnya kesebelasan-kesebelasan Italia meniru apa yang dilakukan Juventus, Sassuolo dan Udinese di mana memiliki stadion pribadi akan menyehatkan sisi finansial mereka.

Jika merunut ke belakang, Juventus saat kembali ke Serie A setelah promosi dari Serie B harus berkutat di papan tengah untuk beberapa musim. Tak ada pemain bintang yang direkrut, manajemen Juve memfokuskan diri pada pembangunan stadion baru. Setelah Juventus Stadium berdiri, kemudian Juve menjuarai Serie A empat musim beruntun, bahkan mencapai final Liga Champions pada musim lalu.

Roma saat ini tengah memimpikan stadion baru, Stadio della Roma. Pun begitu dengan AC Milan. Sementara Inter, berencana membeli kepemilikan San Siro. Sedangkan Atalanta akan merenovasi Atleti Azzurri d’Italia. Ini merupakan sinyal bagus bagi masa depan Serie A.

Geliat transfer Serie A saat ini memang akan membuat Serie A musim depan akan lebih kompetitif. Hanya saja kita perlu melihat tindak lanjut kesebelasan-kesebelasan yang telah berbelanja besar-besaran seperti Milan dan Inter, dalam menghadapi regulasi Financial Fair Play. Ya, jangan sampai pembelian pemain-pemain yang luar biasa ini menjadi bumerang bagi kesebelasan Italia itu sendiri.

Komentar