AS Roma dan Saya

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

AS Roma dan Saya

Pembicaraan tentang AS Roma selalu bisa membawa saya kepada masa kecil yang riang, namun penuh "sengketa".

Sejak kecil, sejak usia taman kanak-kanak, saya sudah terbiasa bergaul dengan teman-teman yang jauh lebih tua . Barangkali, di hadapan mereka, saya ini cuma bocah ingusan yang bisa disuruh ini dan itu sesuai kemauan mereka.

Namun dari teman-teman yang lebih tua inilah, saya mulai mengenal sepakbola. Setiap sore saya selalu diajak bermain bola. Tapi sebagai anak termuda, saya hanya bisa pasrah perihal peran yang harus saya mainkan. Teman-teman saya yang lebih tua itu selalu punya otoritas lebih untuk menentukan apa yang harus saya lakukan di atas lapangan .

Waktu itu, saya selalu diplot sebagai seorang bek. Sialnya, dibandingkan dipuji, saya lebih sering dimarahi. "Kalau ada bola tendang aja, ga usah banyak gocek!" Saya ingat apa yang selalu mereka teriakkan kepada saya. Tapi apa boleh buat, anggaplah ini sebagai harga yang harus dibayar agar saya bisa bermain bola setiap sore. Toh, dibandingkan dengan kesenangan yang saya dapatkan, teriakan-teriakan macam itu tak ada artinya.

Untuk bisa bermain sepakbola di lapangan dekat rumah, tidak akan pernah mudah. Bermain sepakbola di sana ibarat perjuangan, karena kami harus berebut lapangan dengan pemuda-pemuda karang taruna yang sering bermain basket. Perebutan lapangan mirip sengketa lahan. Kami tidak sekadar beradu cepat ataupun beradu mulut. Jika harus berkelahi, kami juga tak segan berkelahi. Apapun, asalkan bisa bermain bola di lapangan itu.

Selain perebutan lapangan, teman-teman yang lebih tua dan suka memerintah itu juga memperkenalkan saya dengan kesebelasan-kesebelasan yang "selayaknya" didukung. Untungnya, walaupun mereka gemar memerintah, mereka tidak pernah memerintah saya untuk mendukung satu kesebelasan tertentu. Seingat saya, mereka hanya memberi sugesti seperti: "Hari ini yang bertanding AS Roma" atau "Malam ini Roma bakal melawan Inter Milan nih." 

Namun entah bagaimana caranya, sugesti-sugesti seperti inilah yang memantik rasa penasaran saya terhadap AS Roma.

Saya mengingat suatu malam. Waktu itu bertepatan dengan malam takbiran, kami begadang demi menonton salah satu pertandingan Serie A 1999/2000. Buat anak yang beranjak remaja seperti saya, malam itu jadi malam yang bersejarah. Pasalnya, malam itu adalah kali pertama saya mencicipi kopi dan rokok.

Tak hanya bersejarah buat saya sebagai remaja, malam itu juga bersejarah bagi perkenalan saya dengan AS Roma. Malam itu, pertama kalinya saya menyaksikan Francesco Totti. Saya ingat, waktu itu ia berduel dengan Cristian Vieri. Lucunya, bukan Totti yang membikin saya jatuh cinta kepada Roma. Buat saya, Totti adalah tokoh yang jauh lebih antagonis ketimbang Vieri.

IMG-20150725-WA0002
Saya dan Italo Zanzi

Namun tak peduli seantagonis apapun Totti di mata saya, pertandingan AS Roma pantang untuk dilewatkan. Berita-berita menyoal I Lupi selalu saya lahap pertama kali sebelum membaca berita lainnya.

Musim 2000/2001, Roma berhasil merebut gelar scudetto dan di musim itu saya semakin menggemari Vicenzo Montella. Dampaknya tentu saja kepada permainan sepakbola di "lapangan sengketa" dekat rumah setiap sore. Walaupun pada pertandingan-pertandingan debut saya kerap diplot sebagai bek, lama-kelamaan saya justru dipercaya sebagai pemain depan. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, saya mengupayakan sedapat-dapatnya untuk bisa mencetak gol. Dan setiap berhasil menceploskan gol ke sela-sela tumpukan sandal dan batu tersebut, saya selalu berselebrasi mengikuti gaya Montella.

Saya berlari-lari mengelilingi lapangan sambil membentangkan tangan laiknya pesawat, persis seperti seorang Montella. Saya meneriakkan namanya; "Montella, Montella, Montella!" Dan gaya rambut saya waktu itu juga menirunya, belah tengah seperti rambut para personil Backstreet Boys dan Westlife yang masyhur di zaman itu.

Sewaktu Montella pensiun dari Roma,  saya sempat berpikir apakah saya harus berhenti atau tetap mendukung Roma. Dan sejak saat itu, saya mulai menggemari beberapa kesebelasan sekaligus. Seingat saya, di setiap liga mayor Eropa, saya memiliki kesebelasan yang saya gemari. Namun di Italia, saya tetap menggemari AS Roma.

Lama-kelamaan, saya mulai paham kalau tidak ada pesepakbola yang lebih besar daripada kesebelasan. Tanpa Montella, Roma adalah Roma. Dan pada akhirnya toh saya juga bisa menaruh hormat pada Totti, pangeran Roma yang begitu dipuja-puja itu, yang awalnya  saya anggap sebagai tokoh antagonis.

Saya pikir, bukan hanya Totti yang layak untuk dicintai -generasi penerus beberapa dekade seperti Daniele De Rossi, Alessandro Florenzi atau pemain lainnya juga layak untuk dicintai.

Bagi saya 25 Juli selalu memiliki arti penting. Pada 2011 saya sebagai saksi hidup di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Indonesia, menyaksikan Bad Religion, salah satu band punk favorit saya. Entah kebetulan atau memang harus seperti itu,  ada banyak hal personal yang saya anggap sebagai hal penting yang terjadi pada tanggal 25 Juli setiap tahunnya. Begitu pula dengan 25 Juli tahun ini.

Tepat tengah malam, saya bertemu dengan Italo Zanzi, CEO AS Roma di Hotel Shangrila Jakarta, tempat skuat I Lupi menginap. Laiknya seorang penggemar, tentu saya meminta tanda tangan dan foto bersama. Lantas, dengan bahasa Inggris semampunya, saya memberanikan diri untuk memulai percakapan dengannya.

Saya   : Bagaimana dengan transfer Edin Dzeko?

Zanzi : (Sambil tertawa) Saya serahkan kepada transfer. Tapi yang jelas itu urusan untuk sepakbola Roma yang lebih baik

Saya  : Tolong pertahankan Romagnoli sebisa mungkin. Jangan sampai dia pindah ke AC Milan, dia adalah aset bagi masa depan Roma.

Zanzi: Kita serahkan saja kepadanya. (Sambil tertawa lagi). Sepertinya kamu tahu banyak tentang Roma?

Saya: Ya, saya memang datang ke sini sebagai media tapi saya adalah fans Roma sejak kecil!

Zanzi: Terima kasih telah mengikuti dan mendukung Roma sampai saat ini karena dengan itulah Roma masih ada sampai sekarang.

Kemudian Zanzi berinisiatif menjabat tangan saya. Tanpa tendeng aling-aling, saya sambut dengan jabatan tangan dengan keras karena ternyata tangan Zanzi dua kali lebih besar daripada milk saya. Percakapan sederhana, terkesan seadanya. Tapi rasanya, ini salah satu percakapan terbaik yang pernah saya alami seumur hidup. Percakapan yang akan saya ceritakan terus-menerus sampai teman-teman saya bosan, sampai orang-orang malas mendengarnya.

Saya berandai apalagi jika percakapan itu terjadi dengan Totti, ya?

Komentar