Komedian, Presiden FIFA, dan Sepakbola Indonesia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Komedian, Presiden FIFA, dan Sepakbola Indonesia

Dikirim oleh: R.M. Agung Putranto Wibowo*

Sepakbola merupakan penarik perhatian bagi siapapun. Balada sepakbola sanggup mengundang cucuran air mata bahkan ringkikan gelak tawa. Kali ini medan magnet dunia sepakbola kembali diaktifkan dan berkolaborasi dengan unsur komedi yang seketika itu pula menarik perhatian. Wah bagaimana bisa?

Saat terlintas soal komedi, tentu impuls saraf otak Anda secara langsung menerkam hal-hal serta tingkah jenaka yang (diharapkan) akan mengocok perut. Komedian adalah seseorang yang (diharapkan) mengocok perut kita dengan perjuangan mereka dalam mencari bahan tertawaan yang kemungkinan lebih gila dari perjuangan Ahok untuk melenyapkan bencana macet yang menimpa jalanan-jalanan Jakarta.

Pada 20 Juli 2015, di Zurich, FIFA dan seorang komedian asal Inggris bertemu dalam momen konferensi pers. Presiden FIFA, Sepp Blatter, diinterupsi oleh Simon Brodkin. Tidak seperti interupsi kebanyakan, kali ini melibatkan ratusan kertas yang seolah-olah menyerupai uang.

Sosok antagonis dalam drama ini tak lain adalah Brodkin. Ia memberanikan diri melangkah ke arah Blatter sembari mengawurkan kertas—yang mirip dengan menyawer—lalu berkata, “Korea Utara untuk Piala Dunia 2026!”.

Lelucon Brodkin tersebut sukses mengocok raut wajah Blatter yang seperti ketakutan setengah mati. Tentu pesan tersebut merupakan lelucon. Jadi, tolong abaikan saja soal propaganda Korea Utara tersebut.

Identik dengan Uang 

“Love needs money, love needs money...” penggalan lirik lagu yang dinyanyikan Cinta Laura tersebut agaknya bisa dijadikan untuk bahan duet. Andai Blatter satu manajemen artis dengan Cinta, barangkali ia akan dengan senang hati berduet dengan Cinta dengan satu syarat: kata “love” diganti dengan “FIFA”! Bagaimana dengan Brodkin? Ia barangkali akan me-remix lagu Can’t Buy Me Love yang dibawakan The Beatles.

Bagi penulis, insiden yang terjadi pada konferensi pers di Zurich menyiratkan bahwa Blatter atau FIFA adalah sosok mata duitan, tukang korupsi, hanya berorientasi pada keuntungan, senang berfoya-foya, dan segala hal yang identik dengan uang.

Power tends to corrupt. Pesan yang ingin disampaikan oleh Brodkin adalah power FIFA yang luar biasa besar dalam dunia sepakbola amat rentan disalahgunakan. Nalar komedi-sarkastik Brodkin tersulut dengan cara melemparkan puluhan lembar “uang” ke arah Blatter. Pesan sarkastik yang terkandung di dalamnya berupa, “takes the money, because i would buy your power”. Ini sejalan dengan sejumlah indikasi tentang penunjukkan tuan rumah Piala Dunia 2018 dan Piala Dunia 2022 yang dilakukan dengan cara yang tercela.

...And absolute power corrupts absolutely. Sudah belasan pejabat FIFA diciduk Biro Investigasi Federal Amerika Serikat, FBI, dalam dugaan kasus korupsi. Kembali pada premis awal paragraf ini dimulai, apakah benar FIFA memiliki kekuasaan yang absolut? Jawabannya sudah pasti ya.

Apabila penulis ditunjuk sebagai pengacara yang menangani kasus tersebut, penulis bisa mempersiapkan eksepsi yang mempertanyakan yurisdiksi FBI. Memangnya FBI siapa? Koboi?

Jika sepakbola adalah agama, maka FIFA adalah Tuhannya. Jika FBI “mengadili” Tuhan, lantas FBI itu siapa? Hanya FIFA yang punya kuasa absolut untuk mengadili, setidak-tidaknya pada ruang lingkup sepakbola. Buku pedoman FIFA adalah kitab suci, para pejabat FIFA adalah rasul. Rasul adalah suri tauladan yang baik bagi umat, tidak mungkin para rasul melakukan tindakan korupsi. Bilapun ada para rasul (pejabat FIFA) yang diduga melakukan perbuatan tercela, biarkanlah hukum Tuhan (FIFA) selaku pengadilnya. Eksepsi sampah, namun begitulah realitanya.

Simon Brodkin Indonesia

Carut marutnya kondisi sepakbola dunia sebelas-duabelas dengan kondisi sepakbola tanah air. Tengoklah betapa iseng persepakbolaan tanah air dengan mendaftarkan perkaranya pada pengadilan, mempercayakan suksesnya turnamen sepakbola tanah air kepada sebuah event organizer yang minim pengalaman, bocornya rekaman pengaturan skor pertandingan dan masih banyak lagi fenomena-fenomena teraneh yang mungkin jikalau jumlahnya ada tujuh buah bisa langsung masuk tayangan “On The Spot” di Trans 7.

Peristiwa 20 Juli di Zurich sontak membuat penulis merefleksikannya ke dalam suatu wadah keruh yang bernaung jentik-jentik nakal sepakbola Indonesia. Tidak butuh waktu lama bagi penulis membayangkan terdapat seorang aktor Indonesia pemeran antagonis seperti yang ditingkahkan Simon Brodkin kepada Sepp Blatter.

Apa yang dilakukan Simon Brodkin memang nyeleneh dan tidak patut untuk ditiru. Akan tetapi, penampilan konyol Brodkin di Zurich bagi sebagian orang luar biasa, minimal mereka akan memuja keberanian komedian asal Inggris itu kendati tingkahnya harus berakhir di sel tahanan Kepolisian Swiss. Sebagian lain berpendapat menjadi Brodkin berarti menjadi bodoh. Sementara, jangan tanyakan peran Brodkin bagi para jurnalis, penulis tiada heran bila beberapa minggu ke depan koran-koran dan majalah-majalah olahraga akan memajang pose komedian tersebut sebagai headline dengan hamburan uang dibelakangnya dan tak kelewatan pria tua berpose wajah takut yang teramat natural.

Apa yang terjadi di atas panggung konferensi pers itu pada 20 Juli lalu tentu adalah sebuah reaksi atas aksi FIFA yang kebetulan mengundang resah seluruh pecinta sepakbola. Brodkin adalah salah satu dari sekian banyak pecinta olahraga ini. Lihatlah bagaimana ia menulis “Official twitter account of the England striker” di sebuah kolom bio akun twitter @Jason9Bent yang sebenarnya adalah miliknya sendiri. What a jokes!

Upaya paksa berupa penangkapan sekaligus penahanan segelintir nama para pejabat FIFA hanyalah puncak dari akumulasi kegagalan-kegagalan FIFA dalam mengelola industri mega-dahsyat sepakbola. Lalu muncul beberapa kelumit pertanyaan seperti; kapan puncak daripada akumulasi kegagalan-kegagalan sepakbola Indonesia? Apakah perlu sampai FBI turun tangan? Apakah harus muncul Simon Brodkin Indonesia? Atau mungkin pertanyaannya yang diubah; kapan dan bagaimana sepakbola Indonesia akan berbenah?

Foto: bbc.co.uk

Penulis merupakan mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia. Aktif di twitter dengan akun @agungbowo26

Komentar