Akhir Cerita Si Penyihir Bernama Pablo Aimar

Berita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Akhir Cerita Si Penyihir Bernama Pablo Aimar

Untuk menjadi pesepakbola dengan karir yang mentereng, memiliki kemampuan mengolah bola yang hebat saja tidak cukup. Karena dalam sepakbola, apapun bisa saja terjadi. Sebuah kejadian bisa menjadi titik balik bagi karier seorang pemain, entah itu menjadi menanjak, ataupun sebaliknya. Jika tidak percaya, mari kita tengok apa yang dialami oleh Pablo Aimar.

Pada awal karirnya, Pablo Aimar yang bersinar bersama River Plate dan Valencia disebut-sebut sebagai titisan legenda Argentina, Diego Maradona. Jauh sebelum Lionel Messi disejajarkan dengan Maradona, Aimar lebih dulu dilabeli the next Maradona oleh publik Argentina.

Sama seperti Maradona, Aimar lahir di Argentina. Posisi terbaik untuk mengeluarkan kemampuannya adalah sebagai gelandang serang. Pergerakannya yang cepat, memiliki visi yang baik, handal dalam melewati pemain, umpan-umpannya terukur, tubuhnya yang mungil serta rambutnya yang gimbal membuat publik Argentina seolah kembali melihat sosok Maradona dalam versi baru.

Karirnya di Eropa pun cukup mentereng, setidaknya dibanding rivalnya di timnas Argentina, Juan Roman Riquelme. Setelah hijrah dari kesebelasan yang membesarkan namanya, River Plate, Aimar mengantarkan Valencia meraih gelar juara La Liga sebanyak dua kali. Padahal sebelumnya, Valencia sempat tak meraih juara La Liga selama 30 tahun.

Kehebatan Aimar sendiri diakui langsung oleh Maradona. Sejak Aimar memutuskan untuk hijrah ke Eropa untuk membela Valencia, Maradona sudah memprediksi bahwa Aimar akan menjadi pemain hebat.

“Aimar adalah pesepakbola saat ini yang saya rela membayar untuk menyaksikan permainannya,” ungkap Maradona seperti yang ditulis worldsoccer pada 2003. “Ia telah menjadi pemain paling bertalenta dalam beberapa tahun terakhir dan untuk beberapa tahun ke depan. Valencia akan mengidolakan Aimar dengan segera.”

Ternyata apa yang diucapkan Maradona itu benar adanya. Aimar kemudian menjadi sosok penting dalam kejayaan yang diraih Valencia saat itu. Sebelum memberikan gelar La Liga, pada awal kedatangannya, Aimar menjadi bagian dari skuat Valencia yang meraih runner-up Liga Champions pada 2001. Tiga tahun berikutnya, Aimar berhasil mengantarkan Valencia menjuarai Piala Uefa (sekarang Europa League) dan Super Eropa.

Kehebatan Aimar saat menjadi motor serangan Valencia membuatnya dijuluki ‘El Mago’ yang memiliki arti Si Penyihir. Kemampuannya saat itu memang memanjakan Kily Gonzalez, Gaizka Mendieta, dan John Carew dengan umpan-umpan terukurnya.

Namun saat kursi kepelatihan berganti dari Rafael Benitez ke Claudio Ranieri, Aimar kesulitan untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hingga pada akhirnya, ia harus tersingkir dari persaingan dan hengkang ke kesebelasan La Liga lainnya, Real Zaragoza.

Bersama Zaragoza, Aimar kembali unjuk gigi. Bersama ‘Si Penyihir’ ini, Zaragoza sempat merangsek ke peringkat empat pada paruh musim pertamanya dan berkesempatan berlaga di Liga Champions. Namun cedera lutut yang ia derita pada pertengahan musim membuatnya harus absen selama sebulan.  Zaragoza yang kehilangan magisnya harus puas mengakhiri musim di peringkat enam.

Ternyata cedera yang dialami Aimar itu menjadi masalah yang kemudian mengganggu kariernya. Pada musim keduanya bersama Zaragoza, Aimar hanya bisa berlaga sebanyak 22 kali di La Liga. Ini yang membuat Zaragoza akhirnya harus terdegradasi pada akhir musim.

Kariernya kemudian diselamatkan oleh kesebelasan asal Portugal, SL Benfica. Cedera masih menghantui Aimar pada musim pertamanya berkarier di Liga Portugal. Namun bersama mantan rekannya di River Plate, Javier Saviola, Aimar kemudian berhasil menemukan kembali performa terbaiknya. Satu gelar juara Liga Portugal dan empat gelar Piala Portugal berhasil keduanya persembahkan untuk Benfica. Jangan lupakan pula pada musim 2012/2013 Benfica menjadi runner up Liga Champions (ralat: Europa League).

Aimar dan Saviola memang memiliki kedekatan sejak keduanya membela River Plate. Keduanya menjadi sosok di balik kesuksesan River Plate yang menjuarai Liga Apertura dan Clausura Argentina pada 2000, meski saat itu keduanya masih berusia 19 dan 17 tahun. Keduanya pun hengkang dari River dengan periode yang tak jauh berbeda, Aimar pada Januari 2001, Saviola enam bulan kemudian ke Barcelona.

Aimar dan Saviola saat membela River Plate. (via: todoriver.com)
Aimar dan Saviola saat membela River Plate. (via: todoriver.com)

“Saya belum pernah bermain dengan pemain lain yang bisa mengetahui di mana saya berada atau mengetahui ke mana saya akan berlari hanya dengan mengangkat kepalanya,” ujar Saviola mengomentari partnernya Aimar pada uefa.com.

Kontraknya bersama Benfica berakhir setelah Aimar lima musim bermain untuk kesebelasan Portugal tersebut. Namun keputusan mengejutkan diambil pemain bertinggi 170 cm itu dengan memilih hijrah ke kesebelasan Malaysia, Johor Darul Takzim.

Keputusannya itu ternyata berbuah fatal. Di Malaysia, Aimar menderita serangakaian cedera. Kontraknya yang berdurasi selama dua tahun pun diputus lebih cepat setelah Aimar hanya bermain sebanyak delapan kali dalam satu musim. Dengan cedera yang dideritanya ini, ia pun kesulitan mendapatkan kesebelasan baru.

Setelah delapan bulan tak bermain dengan kesebelasan manapun, Aimar akhirnya mendapatkan tawaran bermain kembali dari kesebelasan lamanya, River Plate. Pada Januari 2015, ia pun mengkuti latihan pra-musim bersama kesebelasan yang membesarkan namanya itu.

Kondisinya baru pulih benar lima bulan kemudian, di mana ia akhirnya kembali menjalani pertandingan bersama River Plate, kesebelasan yang ditinggalkan selama 15 tahun. Aimar menjalani debut saat River mengalahkan Rosario Central pada 31 Mei 2015.

Namun ternyata laga itu menjadi laga pertama, sekaligus terakhir bagi Aimar. Pada 16 Juli lalu, Aimar memutuskan untuk gantung sepatu setelah namanya tak diikut sertakan pelatih River, Marcelo Gallardo, yang akan menjalani laga semi-final Copa Libertadores.

Keputusan yang diambil Gallardo untuk tak menyertakan Aimar adalah keputusan terbaik setelah Aimar menceritakan masalahnya selama ini pada Gallardo. Aimar sempat berkata bahwa ia selama ini menderita dengan cedera yang dialaminya.

“Ia berkata bahwa ia sedang menderita. Tapi ia coba untuk menyembunyikannya di balik ambisi dan semangatnya untuk terus bermain,” ujar Gallardo seperti yang dilansir fourfourtwo.

Apa yang dikatakan Gallardo pun diamini oleh sang pemain. Ia tak memungkiri bahwa dirinya sedang menderita. Maka ketika keputusan Gallardo telah diambil, ia pun memutuskan untuk tak lagi bermain sepakbola.

“Kemarin mereka [tim pelatih] memberi tahu bahwa saya tak masuk dalam daftar pemain yang akan berlaga di Copa Libertadores, saya mengerti atas keputusan itu. Saya tidak ingin mengambil tempat yang telah diisi oleh pemain lain. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti bermain,” tulis Aimar pada surat yang ia berikan untuk rekan-rekan setimnya di River.

Lewat surat itu, Aimar memutuskan untuk mengakhiri karier sepakbolanya yang telah berjalan hampir 20 tahun. Dan kariernya tak berakhir manis meski pada awal karirnya disebut-sebut sebagai pemain Argentina terbaik pada eranya.

Aimar boleh kecewa, tapi begitulah hidup. Ada masanya seseorang berada di puncak karirnya, dan ada pula masanya karier orang tersebut menukik ke dasar. Dan bagi Aimar, masa menukik itu akhirnya telah tiba.

oto: spor.internethaber.com

Komentar