Kapan Saat yang Tepat bagi Seorang Pelatih untuk Pensiun?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kapan Saat yang Tepat bagi Seorang Pelatih untuk Pensiun?

Dikirim oleh Dadan Resmana


Di usia berapa seorang pelatih/manajer sebaiknya pensiun? Apakah 55-60 tahun layaknya PNS di Indonesia atau 65 tahun seperti para dosen dan profesor?

Tidak ada jawaban yang pasti, tentu saja. Seseorang bisa tetap menjadi pelatih selama ia masih masih merasa kuat berdiri di pinggir lapangan, masih sanggup memberikan intruksi kepada para pemainnya, masih tahan mendapatkan tekanan media dan suporter atau manajemen. Selama masih sanggup melakukan hal-hal di atas, meskipun usianya sudah menginjak 60an atau 70an tahun, ia boleh-boleh saja tetap menjadi pelatih. Siapa pula yang hendak dan bisa melarangnya?

Usia 60 ke atas, yang biasa kita sebut lanjut usia, biasanya ditandai oleh -- menurut Contsantinides -- menghilangnya “kemampuan” atau jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya. Perlahan tapi pasti, tubuh kehilangan kemampuan mereparasi dirinya sendiri sehingga menjadi lebih rentan terhadap infeksi dan kerusakan.

Tapi sepertinya hal itu belum tampak kepada sosok-sosok tertentu yang hingga lanjut usia masih sanggup memacu adrenaline-nya dengan menjadi pelatih. Tidak ada tanda-tanda berkurang atau menghilangnya “kemampuan” Arsene Wenger, Louis Van Gaal, Vicente Del Bosque, Manuel Pallegrini, Mircea Lucescu, Fabio Capello, Sir Alex dan para pelatih berumur lainnya. Mereka masih begitu semangat dan berdiri tegap memberi intruksi kepada anak asuhnya di pinggir lapangan.

Mengapa para pelatih yang telah memasuki masa senja masih begitu prima di dalam maupun di luar lapangan hijau?

Bayangkan lansia semacam Wenger, Pellegrini atau dahulu Sir Alex yang harus tetap berpikir setiap harinya, memikirkan strategi apa yang digunakan untuk menghadapi lawan selanjutnya di akhir pekan, ataupun kadang di tengah pekan mereka harus berpergian ribuan kilometer menggunakan pesawat terbang guna melakoni partai Liga Champions. Bisa dibayangkan bagaimana fisik dan mental mereka harus tetap terjaga setiap harinya.

Akan tetapi, usut punya usut. Ternyata primanya mereka tidak muncul begitu saja. Sebuah penelitian  yang dilakukan oleh Rush University  disebutkan bahwa banyak membaca dan sering menulis adalah kunci utama mencegah daya ingat atau pikun.

Ya, para pelatih itu setiap harinya pasti berkutat dengan data dan informasi. Mereka harus membaca berbagai laporan dari para staf terkait kondisi para pemainnya, hingga membaca berlembar-lembar statistik pertandingan, baik statistik pemain sendiri mau pun para rival. Mereka dengan sendirinya harus membuat coretan-coretan yang diperlukan untuk merancang strategi di laga selanjutnya dan tentu saja menyiapkan program latihan.

Menulis dan membaca, pendeknya berpikir dan berpikir, merupakan pekerjaan utama para pelatih. Otak mereka terus bekerja sehingga kepikunan bisa ditunda sekian lama.

Kemudian ditambah fisik yang mumpuni karena setiap harinya, selama bertahun-tahun, mereka tetap berolahraga. Tidak seperti manajer Inggris era 1950an yang sehari-harinya hanya di kantor, sedangkan sesi latihan dipimpin para stafnya, manajer sekarang tiap hari ikut terjun memantau, menyiapkan dan mengevaluasi sesi latihan. Mereka juga diterpa panas matahari yang sama dengan para pemainnya, dan berkeringat juga di sesi yang sama.

Seperti yang dilakukan oleh Arsene Wenger di Arsenal. Pria kelahiran Strasbourg, Prancis, 65 tahun silam, tersebut mempunyai peran yang besar bagi perkembangan Arsenal selama hampir DUA dekade trakhir. Dari segi raihan gelar The Profesors berhasil mempersembahkan 3 gelar EPL, 6 Piala Fa dan 5 Comunity Shield bagi Arsenal. Meskipun sempat merasakan seret gelar dalam kurun waktu 2005-2014, toh pemilik gelar master dalam bidang Ekonomi ini masih terus dipertahankan oleh manajemen Arsenal walau tekanan tidak juga sedikit.

Lain halnya dengan Vicente Del Bosque. Di usianya yang sudah menginjak 64 tahun, tidak ada tanda-tanda pensiun dari mantan pelatih Real Madrid tersebut. Meski Spanyol gagal total dengan tidak lolos babak penyisihan grup pada perhelatan Piala Dunia 2014 di Brazil, RFEF masih tetap mempertahankannya. Mantan pemain Real Madrid era 70-80an tersebut tetap dipercaya karena peran vitalnya kala meraih Piala Dunia 2010 dan Eropa 2012.

via: eurosport.co.uk
via: eurosport.co.uk

Dan hal yang paling penting lainnya adalah pria yang mempunyai nama lengkap Vicente del Bosque Gonzalez tersebut  dianggap mampu menyatukan skuat matador yang mayoritas berisikan pemain Barcelona dan Madrid yang kerap berseteru di ajang el Clasico. Ia punya kecerdasan emosional untuk mengelola ego para pemain bintang Spanyol.

Belum lagi jika kita menyebut Sir Alex Ferguson yang pensiun memimpin Manchester United pada usia 72 tahun. Hampir 40 tahun ia berkutat dengan dunia kepelatihan. Ketika usianya 66 tahun, Sir Alex berhasil mempersembahkan gelar UCL keduanya bagi MU dan menjadikannya salah satu dari pelatih tertua yang memenangkan tropi UCL setelah Raymond Goethals(71 tahun bersama Marseille). Bahkan di penghujung karirnya, pria kelahiran Skotlandia memberikan kado istimewa berupa gelar ke 20 bagi Setan Nerah di kasta tertingi Liga Ingris atau yang ke 13 yang dipersembahkan Sir Alex selama 27 tahun karirnya bersama MU.

Jika usia 72 tahun ketika Sir Alex pensiun itu menjadi patokan kasar, maka bagi Wenger, Pallegri, Van Gaal, ataupun Del Bosque yang masih berumur tidak lebih dari 65 tahun,  mereka masih punya waktu sekitar 5-8 tahun lagi sebelum benar-benar berhenti dari hinggar bingar sepak bola. Masih cukup waktu bagi mereka untuk meraih gelar-gelar yang lebih prestisius lagi.

Maka, jika umur 60an dan 70an bagi sebagian orang dikatakan sebagai waktu yang tepat untuk pensiun dan menikmati “sisa” waktu dengan lebih banyak berkumpul bersama keluarga dan menggurus cucu. Maka lain halnya dengan mereka yang tetap dipercayai mengarsiteki sebuah kesebelasan. Tiap hari mereka terus bertungkus lumus dengan data, informasi, panas matahari dan tekanan.

Jika kembali pada pertanyaan kapan waktu yang tepat bagi seorang pelatih untuk pensiun secara terhormat, artinya tidak dipecat, mungkin jawaban diplomatisnya adalah hanya Tuhan dan pelatih itu sendiri yang tahu.

Penulis merupakan seorang Sarjana Kimia yang berhasrat menjadi pelatih sepakbola. Dapat dihubungi melalui akun twitter: @dadanresmana

foto: dailytelegraph.com

Komentar