Juara FA yang Tragis dengan Uang 5 Pounds di Sakunya

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Juara FA yang Tragis dengan Uang 5 Pounds di Sakunya

Dikirim oleh: Ajie Rahmansyah


Kecuali penggemar Sunderland, tidak banyak yang mengenal sosok Richie Pitt. Penggemar sepakbola Inggris pada era 1970-an lebih mudah mengucapkan nama George Best, Bobby Tambling, maupun Phil Neal. Bagi penggemar Sunderland, Richie adalah seorang legenda. Ia yang mengantarkan kesebelasan berjuluk The Black Cats tersebut meraih trofi Piala FA pada 1973. Trofi tersebut merupakan satu-satunya gelar yang bisa dicapai seteru Newcastle United tersebut.


Richie adalah bek tengah yang tangguh. Ia memulai debutnya pada usia 17. Debutnya pun berakhir dengan kemenangan manis atas Coventry City 3-1. Saat Sunderland meraih trofi Piala FA, Richie sudah menjadi andalan manajer Sunderland kala itu, Bob Stokoe.


Lawan yang dihadapi Richie di partai final adalah Leeds United. Kala itu, Leeds tengah berada dalam masa kejayaan. Kesebelasan asal West Yorkshire tersebut ditangani oleh manajer bertangan dingin, Don Revie. Selama 13 tahun menangani Leeds, Revie mempersembahkan delapan trofi termasuk menjadi runner up Liga Champions pada musim 1974/1975. Sunderland kala itu hanyalah kesebelasan yang berlaga di divisi kedua Liga Inggris.


Pertandingan final Piala FA dihelat pada 5 Mei 1973. Stadion Wembley menjadi saksi betapa kuatnya pertahanan Sunderland yang digawangi Richie dan David Watson. Mereka menjadi tembok terakhir sebelum para penyerang Leeds berhadapan dengan sang kiper, Jimmy Montgomery.


Pencetak gol kemenangan pada laga tersebut sebenarnya bukanlah Richie, melainkan gelangang Sunderland, Ian Porterfield. Namun, para penggemar The Black Cats menganggap Richie sebagai pahlawan karena di bawah komandonya-lah, Sunderland bisa bertahan dari terjangan penyerang Leeds yang dihuni Allan Clarke, Mick Jones, dan Peter Lorimer.


Kemenangan tersebut menjadikan Sunderland sebagai kesebelasan pertama yang menjadi juara Piala FA tapi bukan berasal dari tingkat teratas kompetisi liga. Pada musim berikutnya, Richie kian bertekad membawa Sunderland berprestasi terutama di ajang Eropa: UEFA Winners Cup. Sunderland membuat langkah yang baik dengan mengalahkan Vasas Budapest dengan agregat 3-0. Namun, pada babak kedua The Black Cats disingkirkan Sporting Lisbon 2-3.


Akhir dari Mimpi


Richie memiliki angan untuk bisa bermain sepakbola hingga usia 36 tahun. Ia merasa bahwa dirinya memiliki masa depan yang sangat panjang dan bisa memberikan kontribusi lebih bagi kesebelasan.“Saya berencana untuk bermain hingga usia 35 atau 36 tahun dan kemudian saya memiliki cukup uang untuk melakukan apa yang saya mau pada saat itu,” kata Richie.


Akan tetapi mimpi hanyalah mimpi. Pada September 1973, Richie mendapati kenyataan bahwa dirinya harus melupakan mimpi untuk bermain hingga usia 36. Richie yang masih berusia 22 kala itu bertanding menghadapi Luton Town dalam lanjutan Second Division Championship. Saat tengah mengawasi pergerakan penyerang Luton, John Ryan, pul sepatu Richie tersangkut di lapangan yang membuat lututnya terkilir.


“Saat itu saya merasakan sakit yang luar biasa di belakang lutut hingga ke punggung,” ungkap Richie kepadaFourFourTwo. Akibat cedera tersebut, Richie mesti absen selama delapan minggu.“Saya dibebat plester selama 13 minggu. Setiap mengganti plester, semua cairan dikeringkan dan kemudian memakai plester kembali. Kaki saya rasanya seperti dibalut semen. Lutut tak bisa ditekuk. Dan ketika sendi lutut saya diganti, saya hanya bisa menekuk lutut saya 90 derajat,”tutur Richie menerangkan.


Cedera tersebut sebenarnya belum mengakhiri karir Richie secara penuh. Dirinya masih bisa bermain sebanyak 26 kalibagi tim reserve Sunderland. Richie mengatakan bahwa Stokoe meminta dirinya untuk menjadi palang pintu Sunderland untuk musim 1974/1975 setahun setelah mengalami cedera tersebut. Dirasa sudah pulih, Stokoe meminta Richie agar datang ke kantornya beberapa hari kemudian untuk membicarakan kontrak baru. Sayangnya, ketika Richie sudah datang, dia mendapat berita bahwa Stokoe tidak jadi mengontraknya kembali dan klub mengklaim sudah memberikan Richie uang asuransi. Seketika itu juga dunia serasa runtuh.


Impian Richie untuk pensiun dengan banyak uang pun sebatas angan-angan belaka. Setelah setahun memenangi Piala FA, Richie mengalami krisis finansial. “Saya ingat ketika pergi ke supermarket dengan istri, tapi uang di kantong hanya tersisa lima pounds untuk belanja mingguan. Kami pun mengelilingi rak-rak makanan sambil menghitung setiap barang yang masuk. Ketika jumlahnya sudah menyentuk 4,95 pounds, kami langsung pergi ke kasir untuk membayar. Cuma itu yang kami mampu,” kata Richie.


Pada usianya yang belum genap 25 tahun, Richie mesti mengakhiri karir sepakbolanya dengan tragis. Ia mengalami cedera parah pada usia muda dan tak bisa melanjutkan hidupnya sebagai pespakbola.


Richie akhirnya mencoba menjadi guru honorer di Thornhill School. Hingga 2013, Richie masih bekerja sebagai guru matematika di di Seaham School of Technology. Kehidupannya kian membaik setelah menjadi guru.


Status Richie Pitt pun beralih dari awalnya sebagai pahlawan Sunderland di Wembley, kini menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa di Seaham School of Technology. Richie merasa amat bangga dengan usahanya yang mampu bangkit dari keterpurukan. Apa yang dilakukan Richie mengajarkan kita bahwa dalam semua kesulitan pastilah ada jalan keluar.


Setelah 35 tahun mengabdi sebagai seorang guru, pada 2013 Richie memutuskan untuk pensiun. Ia pensiun dari profesi yang memberinya kepastian dari hidup; pensiun dari kecemasan karena hanya punya uang lima pounds untuk belanja mingguan. Pensiunnya yang kedua jauh lebih menenangkan untuk dirinya, yang membuatnya berusaha melupakan masa pensiunnya yang pertama, sebagai pesepakbola.


Penulis merupakan mahasiswa psikologi di sebuah universitas di Yogyakarta, aktif di media sosial dengan akun twitter @ajielito.


Komentar