Persoalan Marta, Permasalahan Messi

Cerita

by Redaksi 38

Redaksi 38

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Persoalan Marta, Permasalahan Messi

Malang melintang bermain di berbagai klub-klub besar dunia tak membuat Marta Vieira berpuas diri dengan pencapaiannya. Ia, sebagaimana Lionel Messi, hanya terganjal dengan gelar juara dunia untuk negaranya sendiri. Ya, gelar Piala Dunia masih menjadi bayang-bayang yang membayangi menterengnya karir pribadi mereka sebagai pesepakbola.

Marta kecil  hidup dan tinggal di Alagoas, salah satu kawasan kecil negara Brasil. Sebagai negara yang -katanya- bernafaskan dengan sepak bola, ternyata Brasil tidak terlalu ramah dengan para perempuan yang ingin bermain sepakbola, Marta sendiri yang mengakuinya.

Sejak kecil, seperti kebanyakan pesepakbola perempuan lainnya, ia mulai bermain sepakbola dan futsal dengan laki-laki di sekitarnya sedari umur tujuh tahun. Tuduhan dan prasangka buruk sudah ia telan sedari kecil. Bahkan cemoohan bahwa ia adalah seorang laki-laki sudah sering ia terima dan sesungguhnya hal itu sangat menyakitkan. Beruntung, Marta kecil bermain satu tim dengan sepupu laki-lakinya, yang melindunginya dari gangguan-gangguan orang usil saat itu.

Seiring bertambahnya umur, ia semakin memperlihatkan kemampuan briliannya di dunia sepakbola. Kesebelasan lokal berebut ingin meminangnya. Marta yang saat itu sudah berumur 14 tahun akhirnya memutuskan untuk pergi mejalani trial ke Rio De Janiero. Ia harus naik bus sekitar tiga hari untuk bisa mencapai Rio. Sesulit dan senekat itu dia berjuang, tak lain hanya untuk mewujudkan cita-citanya menjadi pemain sepakbola professional.

Ketika para perempuan umur 18 tahun baru menginjak pubertas dan baru saja lulus sekolah menengah atas, Marta sudah meneguhkan dirinya sendiri untuk menerima pinangan Umea IK, salah satu kesebelasan professional di Swedia. Brasil dan Swedia tentu bukan tentang jarak ratusan kilometer saja, namun lebih dari puluhan ribu kilometer. Bukan cuma soal jarak, tapi juga perbedaan budaya hingga iklim. Dari Brasil yang beriklim tropis, ia kini mesti beralih ke tempat yang yang bahkan medekati kutub utara.

Singkat cerita, Marta telah membuktikan dirinya di Eropa. Gelar juara liga hingga gelar Eropa pernah ia persembahkan bagi kesebelasan yang ia bela. Perjalanannya juga merambah sampai liga sepakbola Amerika Serikat yang digadang-gadang sebagai liga sepakbola perempuan terbaik di dunia. Namun, kini, ia kembali ke Swedia, tempat ia memulai karirnya di Eropa.

Di umurnya yang sudah memasuki 29 tahun, ia sudah mendapatkan berbagai penghargaan pribadi. Lima kali gelar FIFA World Player of The Year atau setara Balon d’Or pernah ia sabet secara beruntun dari 2006 sampai 2010. Belum lagi gelar top skor dan baik di kompetisi lokal maupun kompetisi sekelas Piala Dunia. Bahkan yang terbaru, ia melampaui raihan 14 gol milik Birgit Prinz sebagi pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Piala Dunia Perempuan.  Dengan berbagai gelar itu jugalah ia di juluki “Pele Sepakbola Perempuan” dan mengantarkannya sebagai duta besar negaranya untuk Piala Dunia tahun lalu di Brasil.

Lionel Messi dan Marta saat menyabet gelar individu pemain terbaik dunia (Sumber: images22.com)
Lionel Messi dan Marta saat menyabet gelar individu pemain terbaik dunia (Sumber: images22.com)

Seperti yang dipaparkan di paragraf paling atas, Marta, seperti Lionel Messi, keduanya masih berhutang bagi negaranya dalam urusan menjuarai Piala Dunia. Pemain hebat yang dipuja-puji oleh seluruh dunia harus menhadapi sulitnya menaklukkan dunia. Apalagi bagi Marta, jika ia berhasil membawa Brasil menjadi juara, tentu ia akan mengkhatamkan kelegendaannya sebagai generasi pemain Brasil pertama yang membawa Piala Dunia Perempuan ke tanah samba tersebut.

Kesempatan keempat kalinya muncul tahun ini bagi Marta. Di Kanada, ia membangun mimpi mengangkat Piala Dunia Perempuan untuk pertama kalinya bersama rekan setimnya. Peta persaingan juara yang banyak mengunggulkan Jepang, Jerman dan Amerika Serikat sebagai langganan juara mesti Marta pakai sebagi motivasi tambahan untuk mengangkat performa Brasil ke singgasana sepakbola tertinggi di dunia.

Di lain tempat, Lionel Messi dan para generasi emas Argentina akan bahu-membahu untuk mempersembahkan Copa America setelah tahun lalu harus bertekuk lutut di final Piala Dunia. Sekilas, memang terlihat berbeda karena memang berbeda kompetisi, namun sebetulnya mereka dalam misi yang sama yaitu sama-sama memecah dahaga gelar internasionalnya masing-masing.

Bagi beberapa orang, gelar Piala Dunia tidak terlalu diperlukan sebagai pembuktian kehebatan seseorang. Toh, seorang Johan Cruyff akan selalu dikenang dunia dengan kehebatannya di lapangan hijau. Tapi, bagi Marta dan Messi, baginya Piala Dunia adalah seonggok harta karun yang harus mereka cari dan mereka perjuangkan selagi mampu dan masih ada waktu.

Tulisan diolah dari berbagai sumber



Komentar