Menyepi, Jalan yang Dipilih Enrique dan Allegri

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Menyepi, Jalan yang Dipilih Enrique dan Allegri

Oleh: Brama Adintyo*

Ada banyak kisah inspiratif mengenai seseorang yang selalu diragukan. Mereka lalu menyemai kegigihan serta keyakinan yang menjadikannya sebagai keberhasilan. Cerita-cerita tersebut bagaikan sebuah folklore, dongeng atau cerita rakyat mengenai kisah hidup manusi yang di satu masa ada di atas, dan di masa yang lain ada di bawah.

Kisah Steve Jobs tentang bagaimana ia membangun sebuah perusahaan besar yang menjadi simbol manusia modern, Apple; bagaimana Nick Vujicic dengan ketidaksempurnaannya, hingga sosok Joko Widodo dan keraguan publik yang menyertai langkahnya menuju istana, menjadi narasi heroik yang senantiasa menjadikan kerja keras dan keyakinan sebagai sebuah ritus dalam hidupnya.

Sepakbola punya banyak narasi heroisme yang tidak kalah menarik dari seorang semenjana yang gigih dan mampu mengoptimalkan potensinya. Seperti cerita gol-gol penentu kemenangan dari seorang supersub macam Javier “Chicarito” Hernandez, karir Marouane Fellaini yang mudah berubah macam roller coaster, hingga fragmen saat penjaga gawan cadangan seperti Tim Krul, sukses membawa Belanda menang pada babak adu penalti menghadapi Kosta Rika pada Piala Dunia 2014. Belum lagi kisah perjuangan Francis Coquelin yang menjadi vital setelah selama ini diabaikan keberadaannya oleh Arsene Wenger.

Kisah-kisah heroik tersebut kian lama kian bergulir. Terkini adalah kisah mengenai dua pelatih yang membawa armadanya menjejakan kaki di partai Final Liga Champions yang dihelat di Olympiastadion, Berlin, pada 6 Juni mendatang.

Massimiliano Allegri dan Luis Enrique adalah dua sosok yang pernah berada dalam bayang-bayang keraguan penggemar. Kini, keduanya adalah folklore tentang bagaimana cibiran mestinya ditimpali dengan kerja keras yang diiringi dengan keyakinan.

Cemooh untuk Allegri

Penggemar sepakbola, terutama Anda yang memerhatikan Juventus, tahu persis bagaimana cemoohan yang dialamatkan pada Allegri saat ia ditunjuk menjadi pengganti Antonio Conte, bahkan tidak sedikit yang menolaknya menjadi nahkoda Si Nyonya Tua.

Penggemar rival Juventus barangkali tertawa sinis karena torehan Allegri di AC Milan tidak begitu baik pada musim terakhirnya. Kehadiran Allegri di Juventus bisa membuat dominasi Juventus di liga bisa berakhir.

Cerita mengenai Allegri yang dimakzulkan oleh si empunya Milan Silvio Berlusconi adalah aib dan olok-olok bagi dirinya. Performa Milan yang kelimpungan pasca dilegonya beberapa penggawa kunci seperti Zlatan Ibrahimovic dan Thiago Silva membuat tudingan diarahkan pada pria kelahiran Livorno, 47 tahun silam tersebut.

Allegri dianggap tidak becus dan bodoh dengan keputusan melego beberapa legiun kunci Milan. Sarkasme “football genius” pun sempat disematkan padanya. Allegri menjadi objek cercaan dan cemooh dari orang-orang yang lupa bahwa keputusan penjualan dan pembelian pemain Milan sebenarnya ada di tangan Galliani. Allegri dianggap kebetulan saja mampu membawa Milan juara pada musim perdananya singgah di San Siro.

Datang ke Turin pun, bukan misi yang mudah bagi Allegri. Performa buruknya di milan, serta renggangnya hubungan dengan Andrea Pirlo, membuat Max—panggilan Allegri—dianggap hanya akan membunuh kejayaan Juventus yang mengalami salah satu musim terbaiknya di bawah polesan Antonio Conte. Lemparan telur busuk ketika Allegri diperkenalkan oleh manajemen Juventus menjadi peristiwa yang sepertinya tidak akan mudah dilupakan. Tak dinyana sepertinya peristiwa itu justru dijadikan titik balik oleh Allegri.

Allegri bergeming oleh tekanan dan cibiran. Ketakutan yang sempat ia lontarkan secara terang-terangan untuk melatih Juventus, redup ketika ia sadar bahwa dirinya sudah diberikan kepercayaan oleh Giuseppe Marotta beserta jajaran menajemen lainnya. Ia tahu betul bahwa ia dihubungi untuk menggantikan Conte tidak dalam rangka untuk menanggapi hal-hal di luar tugasnya. Ia lebih memilih sebuah jalan sepi dengan diam. Allegri lebih fokus pada bagaimana meraih kemenangan dalam konteks permainan di dalam lapangan dan mengabaikan hal-hal di luar lapangan, bahkan mengenai cibiran dan keraguan yang ditimpakan padanya.

Alhasil, jalan sepi Allegri telah menuntunnya pada scudetto ke-33 bagi Juventus. Hal itu menjadi lebih spesial lagi dengan mulusnya laju Juventus menuju final Copa Italia dan yang terbaru, menggenapi partai keempat Juventus di final Liga Champions; satu hal yang tidak pernah dilakukan oleh Antonio Conte selama menjadi allenatore.

Hal tersebut menjadi lebih spesial ketika Allegri membawa Juventus untuk membulatkan kesempatan mencecap gelar treble winner dari Italia, menyandingi Mourinho dengan Inter Milan-nya.

Laku serupa juga dialami oleh Luis Enrique. Mantan gelandang (sebelumnya ditulis penyerang - red) Barcelona di era kepelatihan Louis Van Gaal itu didapuk untuk menangani El Barca setelah Gerardo “Tata” Martino lebih memilih mundur dari kursi kepelatihan Barcelona. Terlepas dari faktor pertimbangan mengenai pengalamannya bermain untuk Barca, keraguan ini memang pantas menyeruak di kalangan penggemar mengingat track record Enrique sebagai manajer yang tidak cukup meyakinkan untuk tim sedigdaya Barcelona.

Capaian terbaik Enrique sebagai manajer hanyalah menempati urutan kesembilan dalam klasemen La Liga saat menangani Celta Vigo pada musim 2013/2014. Belum lagi (mungkin) cerita mendadak semenjananya tim sebesar Manchester United di tangan David Moyes yang biasa menukangi dan duduk nyaman di papan tengah bersama Everton menjadi bayang-bayang dan momok mengerikan di benak fans Barca.

Memang, keraguan dan cibiran yang diterima oleh Enrique tidak sampai pada level ekstrim seperti apa yang diterima oleh Allegri di Turin. Namun dalam sepakbola, lepas dari tekanan dan ekspektasi publik bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan oleh siapapun baik itu manajer maupun pemain (tanya saja pada Alan Pardew atau Gareth Bale).

Apa lagi ketika menangani klub seperti Barcelona. Bisa saja terjadi suatu kondisi dimana fans justru bukan mencintai Barcelona karena entitasnya sebagai sebuah klub—terlebih dalam konteks Barca sebagai simbol perlawanan publik Catalan. Namun, jangan-jangan karena fans mencintai Barcelona karena dihuni oleh seorang Lionel Messi.

Dan rupanya hal cukup terbukti. Ketika Messi dikabarkan merasa jengah karena tidak disertakan dalam starting line-up saat Barca ditundukkan Real Sociedad-nya David Moyes, Enrique-lah yang menjadi tedeng aling-aling banyak pihak. Enrique ditekan dengan argumen bahwa filosofi permainannya tidak bisa mengakomodasi seorang Lionel Messi.

Isu renggangnya Messi dengan Enrique kian memanas dan berujung pada dugaan bahwa Messi mulai jengah. Ini terlihat dari bagaimana Messi mengikuti akun instagram Chelsea dan dua penggawanya: Thibaut Courtouis serta Felipe Luis.

Enrique semakin dipojokkan dengan pernyataan Cules yang lebih memilih Enrique didepak ketimbang harus kehilangan seorang Lionel Messi.

Keraguan akan Enrique tidak berhenti di situ saja. Pilihan Enrique untuk menghapuskan sistem permainan tiki-taka menjadi pertanyaan besar. Enrique lebih memilih merombah sistem permainan Barce menjadi mirip seperti sistem permainan tim-tim liga Inggris

Sama seperti Allegri, Enrique bergeming. Ia tetap fokus dan lebih memilih menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan adalah benar. Ia menunjukkan bahwa anggapan miring mengenai ketidakbecusannya mengakomodir bintang seterang Messi dan tidak kompetenannya sebagai juru taktik ketika mengubah sistem permainan El Barca adalah salah.

Dengan presentase kemenangan 50 pertandingan awal Enrique bersama Barca yang lebih baik dari para manajer pendahulunya, Enrique seperti gantian mencibir bahwa tanpa tiki-taka pun Barca bisa tetap melaju kencang bahkan lebih kencang dengan sistem “Enrique Way’s”; Bahwa ia bisa “menjinakkan” ego dari pemain-pemain dengan mentalitas bermain individual macam Messi, Neymar dan Suarez dan justru meramu mereka menjadi pusaka trisula tak tertandingi bernama “The MSN” dimana kolaborasi trio tersebut mencapai 120 gol (yang tentu saja bisa bertambah) di seluruh ajang yang diikuti oleh Barca.

Demi Treble Winner

Sama seperti Allegri, Enrique pun kini mengantarkan Barcelona di ambang treble winner. Siapapun yang menang dalam partai final nanti, ia yang akan mendapatkan gelar tersebut. Di musim pertamanya, Enrique sudah mempersembahkan gelar Liga dan Copa del Rey.

Berbeda dengan Allegri yang sudah diterima penggemar Juve, Enrique tidak demikian. Ini terlihat dengan begitu meriahnya sambutan Cules kepada Guardiola ketika ia bertandang ke Camp Nou. Sambutan itu menjadi sebuah pemandangan yang cukup janggal untuk kepulangan seorang “mantan”. Apalagi Cules seperti tidak menjaga perasaan Enrique yang sama-sama pernah membela panji Barcelona dan kini duduk sebagai entrenador Barca. Tapi, Enrique tetaplah Enrique, ia tetap memilih biasa saja.

Hal-hal itulah yang membuat laga final Liga Champions kali ini akan menjadi sebuah helatan spesial buat Allegri dan Enrique untuk mendendangkan lagu pembuktian yang merdu nan harmonis. Allegri dan Enrique adalah representasi dari dinamika hidup: bahwa kadang kita perlu menutup telinga untuk saat-saat tertentu. Saat-saat ketika kita menjadi dicibir dan diragukan oleh banyak orang adalah salah satu saat yang tepat. Dan ketika hal tersebut mampir pada suatu fase hidup kita, keyakinan dan kerja keras adalah satu-satunya hal yang dapat menyelamatkan kita.

Terlepas dari siapa nanti kampiun UCL musim ini, baik Allegri atau Enrique saya rasa sangat pantas untuk diganjar pujian tinggi atas performa dan konsistensi mereka karena telah menjadi motor bagi masing-masing kesebelasan yang mereka tukangi. Final UEFA Champions League kali ini adalah salah satu folklore mengenai biangalala kehidupan manusia yang kadang naik dan kadang turun.

Bukan titel dan gelarlah yang menjadi tolok ukur folklore ini. Namun, jalan sunyi yang dilakoni Massimiliano Allegri dan Luis Enrique-lah yang menjadi benang merah dari kisah ini. Jalan sunyi yang mereka pilih serta secara getol mereka lakoni dan akhirnya menuntun mereka pada capaian demi capaian yang masih akan diikuti oleh capaian yang lain.

Sumber gambar: likev.net

Penulis beredar di media sosial dengan akun @bramskoy

Komentar