Tikus-Tikus Sepakbola

Cerita

by Redaksi 35

Redaksi 35

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Tikus-Tikus Sepakbola

Ini negeri tikus¹. Hebat-hebat pula tikusnya. Mereka tak lagi berjalan dengan keempat kakinya yang mungil. Mereka berjalan dengan kedua kakinya yang jenjang dan gagah. Badan mereka tak lagi beraroma busuk seperti bau parit atau tempat sampah. Badan mereka wangi. Wangi mereka mahal, semahal Chanel, Hugo Boss atau bahkan Verscace.

Tikus-tikus  zaman sekarang enggan berkotor-kotor. Mereka jijik dengan selokan dan gorong-gorong. Mereka ada di gedung-gedung mewah yang tingginya menjulang, yang dijaga 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, oleh mesin-mesin pengintai yang ada di setiap sudut ruangan. Mata lusinan mesin pengintai ini tak pernah terpejam, tapi toh, tikus-tikus ini tetap merajalela di dalam gedung-gedung mewah tadi. Agaknya, tikus memang binatang yang lihai bersembunyi.

Suara cericit tikus itu benar-benar memuakkan. Mereka gemar grusak-grusuk di langit-langit rumah sehingga membikin tidur jadi tak tenang. Tapi yang paling menyusahkan tentu saja kesenangannya untuk merusak. Apa-apa yang bukan menjadi bagiannya selalu dicuri. Apa-apa yang tak bisa dimasukkan ke perutnya selalu digigit. Digerogoti sampai rusak, sampai tak bisa dipakai lagi.

Menangkap tikus tak semudah yang kita bayangkan. Geraknya gesit minta ampun. Tempat persembunyiannya juga sering tak terjangkau tangan dan mata. Dan lucunya, kita yang awalnya berani dan bertekad untuk menghabisi tikus bukannya tak jarang malah bergidik ngeri dan geli bahkan lari terbirit-birit saat tikus yang seharusnya kita pukuli dengan balok kayu ada di depan mata. Barangkali karena otak kita  terlanjur mendefinisikan tikus sebagai hewan yang terlampau menjijikkan.

Tapi satu hal, takut atau berani, rumit atau sederhana, lambat atau cepat – tikus-tikus itu harus segera ditangkap. Bayangkan jika kayu penyangga langit-langit rumah kalian digigit tikus, bayangkan jika kaki tempat tidur dan kursi kalian digerogoti tikus terus-terusan. Bisa ambruk!

Tentang perkara menangkap tikus saya teringat dua hal. Racun tikus dan lem tikus. Dua-duanya sama-sama ampuh untuk membasmi tikus. Penggunaannya juga mudah dan sama-sama menggunakan umpan. Tapi, hasilnya berbeda. Racun tikus yang umumnya dicampur ke dalam makanan yang dijadikan umpan membutuhkan waktu untuk bekerja. Biasanya, si tikus tidak langsung mati. Ia sempat kembali ke persembunyiannya setelah kenyang. Dan racun ini sering bereaksi dalam waktu-waktu seperti itu, si tikus sering mati di sarangnya sendiri. Namun karena tikus-tikus bersarang di tempat yang sulit dijangkau, membersihkannya juga bukan jadi perkara mudah. Dan yang namanya bangkai, baunya pasti minta ampun.

Sedangkan lem tikus, tak akan membunuh tikus. Saat tertangkap, tikus-tikus itu masih hidup, masih menggeliat-geliat – tapi tak bisa bergerak ke mana-mana. Dalam keadaan seperti ini, membereskan tikus-tikus pengganggu juga menjadi lebih mudah.

Sanksi FIFA kepada PSSI yang suratnya dikeluarkan secara resmi pada hari Sabtu (30/5/2015) kemarin dan ditandatangani Jerome Valcke sebagai Sekretaris Jenderal FIFA juga bisa dianalogikan sebagai jebakan lem tikus tadi. Akibat sanksi ini, Indonesia tidak bisa mengikuti kompetisi internasional yang diselenggarakan oleh FIFA dan AFC. Untungnya, keikutsertaan Indonesia dalam Sea Games 2015 di Singapura tidak ikut terusik.  Lantas, kalau tikus-tikus itu memang gemar menyelinap serta memaksakan keuntungan dari setiap pertandingan internasional dan nasional, ketidakmampuan mereka untuk bergerak saat ini seharusnya menjadi momentum untuk bersih-bersih.

Namun memasang perangkap lem tikus di ranah sepakbola ini tak sesederhana memasang perangkap di rumah maupun gedung-gedung mewah. Agaknya, karena kepandaian satu dua ekor tikus, lambat-laun jumlah koloni tikus ini semakin bertambah banyak. Penyebaran keberadaan mereka pun juga semakin luas. Makanya, jebakan tidak hanya bisa dipasang pada satu atau dua sudut. Harus banyak, bahkan hampir semua sudut. Barangkali, karena hal inilah adalah pihak-pihak yang sebenarnya tidak menjadi bagian dari koloni tikus itu yang ikut terjebak. Kaki mereka secara tak sengaja menginjak jebakan lem dan ikut-ikutan jadi tak bisa bergerak ke mana-mana.

Kaki-kaki mereka harus dibersihkan. Dan yang namanya dalam keadaan terjebak, pastilah sukar untuk menolong diri sendiri. Di sinilah tanggung jawab si pemasang jebakan. Ia harus bertanggung jawab atas setiap jebakan yang dipasangnya. Jangan karena tikus-tikusnya sudah menggeliat-geliat tak bisa bergerak, seenaknya saja membiarkan pihak-pihak lain yang bukan tikus terjebak. Wah, enak benar kalau begitu! Tapi di satu pihak, mereka yang hendak ditolong juga harus sadar diri. Menolak pertolongan dan merasa bisa menyelamatkan sendiri hanya akan membikin perkara berlarut-larut. Kesanggupan bekerja sama memang sering mempertaruhkan gengsi, tapi apa boleh bikin – memangnya mau terjebak seumur hidup?

Atas segala keberadaannya yang begitu menyusahkan, saya jadi mempertanyakan hal yang juga dipertanyakan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu esainya: Mengapa Tuhan repot-repot menciptakan tikus? Mengapa Tuhan membiarkan Nabi Nuh memasukkan sepasang tikus ke dalam bahteranya yang termahsyur itu sehingga generasi kita masih harus berhadapan dan berurusan dengan tikus?


  1. Penjabaran tentang keadaan negara yang seperti ini ada dalam esai Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Negeri Tikus” yang terdapat dalam kumpulan esai “Surat dari Palmerah”.

Komentar