Sepakbola Indonesia dalam Irama Jazz

Editorial

by Redaksi 35

Redaksi 35

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sepakbola Indonesia dalam Irama Jazz

Saya bukan penggemar fanatik musik jazz, tapi sesekali, apalagi bila sedang penat-penatnya, saya pikir mendengar jazz bisa lumayan membantu.

Jazz bukan musik yang mudah dinikmati apalagi dimainkan. Ia sering muncul dengan cengkok-cengkok rinci dan nada-nada rumit yang sukar diikuti. Biasanya diiringi instrumen-instrumen yang tak kalah pelik. Bunyinya yang sahut-menyahut seolah menegaskan kalau mereka ingin keluar dari batasan-batasan dalam partitur. Namun demikian, musisi jazz bukan pemberontak, mereka berakrobat di dalam kerangka lagu yang diberikan.

Yang saya senang adalah saat kepiawaian para pemain jazz sering digunakan untuk melagukan duka. Saya pernah mendengar Branford Marsalis bersama teman-temannya menyanyikan Berta, Berta. Lagu itu terdapat dalam album “I Heard You Twice the First Time” yang dirilis pada 1992.

Mendengarkan lagu ini sama seperti mendengarkan kengerian yang begitu mencekam. Bersama Charles Dutton, Carl Gordon dan Roscoe Rocky Carroll – Branford menyanyikan lagu ini tanpa instrumen, ia memperdengarkan kembali suara rintihan dan bunyi rantai yang diseret di sepanjang lagu (mirip dengan hasil rekaman pertamanya pada 1947).

Berta, Berta (konon, juga dikenal dengan O Berta) adalah lagu yang bercerita tentang perbudakan orang-orang kulit hitam keturunan Afrika di Amerika di Parachman Farm, Mississippi. Dalam lagu ini, Berta (nama wanita) adalah metafora untuk kebahagiaan yang harus mereka tinggalkan akibat perbudakan. Suara rintihan yang ada di dalam lagu berarti kepayahan mereka saat menjalani hari-hari sebagai budak. Suara rantai yang diseret adalah jerit hati pembelengguan kemerdekaan yang menyiksa para budak.

Walau banyak yang menggolongkannya ke dalam musik blues, namun saat dinyanyikan musisi jazz sekelas Branford Marsalis, lagu ini seolah-olah ingin mengulang kembali cerita duka di balik musik jazz. Tentang perih yang teramat sangat, tentang raungan yang tak hanya menggambarkan rasa sakit, tetapi juga yang melampiaskan kepahitan.

Jazz memang hiburan yang aneh, ia tampak begitu perkasa namun gemar mengungkit duka. Jazz adalah warna-warna gelap dalam kehidupan orang-orang kulit hitam pada suatu masa yang menyedihkan, ketika diskriminasi rasial masih merupakan kenyataan yang konkrit sehari-hari di Amerika.

Jazz tak jauh berbeda dengan beberapa hal dari sepakbola yang saya kenal.

Sepakbola adalah olahraga yang begitu perkasa. Siapa yang bisa menyangkalnya? Ingat-ingatlah kembali bagaimana kerasnya tekel bek-bek yang termahsyur itu. Coba terka berapa besar tenaga yang diperlukan demi berlari mengejar bola. Atau bayangkan sepedas apa bentakan-bentakan pelatih di ruang ganti yang harus didengar, semacam pukulan bertubi-tubi, apalagi beberapa menit sebelumnya ada kekalahan beserta sesal dan malu yang harus ditanggung.

Namun semeyakinkan apapun keperkasaan yang ditunjukkan sepakbola, tetap ada duka yang tak bisa ditutup-tutupi. Di era industrialisasi sepakbola, duka itu ditunjukkan lewat kontrak-kontrak bernilai selangit ataupun target-target gelar juara agar perusahaan sponsor tak angkat kaki. Duka sepakbola modern adalah tentang dirampasnya kesenangan dalam bersepakbola. Hal yang disebut oleh Eduardo Galeano sebagai sepakbola yang mengubah kesenangan menjadi kewajiban.

Namun, di sini sepakbola, di tanah air saya, sepakbola punya dukanya sendiri – walaupun duka semacam ini juga pasti terjadi di negara lain. Di sini sepakbola kerap dibelenggu masalah tunggakan gaji, nihilnya prestasi, manajemen yang buruk, skandal-skandal yang tak selesai bahkan berulang, premanisme, korupsi – hal-hal yang menjadikan para penggiat lapangan hijau itu tak ubahnya sekumpulan budak yang ada dalam lagu Berta, Berta tadi.

Rabu (20/5/2015) PT Liga Indonesia sebagai penyelenggara kompetisi mengeluarkan pernyataan yang mengecewakan. Dalam pernyataannya tersebut dijelaskan bahwa kompetisi pramusim QNB Indonesia Champions Cup 2015 yang rencananya bakal dimulai 26 Mei 2015 mendatang harus dibatalkan.

PT Liga menyatakan bahwa pada dasarnya mereka telah mengupayakan agar kompetisi pra musim ini dapat berjalan dengan baik. Tentang upayanya tersebut, mereka mengaku telah menyampaikan rekomendasi kepada PSSI, BOPI dan Kepolisian. PSSI yang terlebih dulu memberikan persetujuan. Sedangkan BOPI menjawab rekomendasi tersebut dengan menyarankan agar PT Liga berkoordinasi dengan Tim Transisi bentukan Kemenpora.

Atas jawaban yang diberikan oleh BOPI inilah, PT Liga pada akhirnya memutuskan untuk membatalkan kompetisi yang lucunya terlanjur dijanjikan, terlanjur membikin pesepakbola, pelatih dan ofisial lainnya bergairah kembali. Katanya, keputusan ini diambil untuk melindungi sepakbola dan klub-klub yang ada di Indonesia. Sepakbola Indonesia adalah sepakbola yang berada di bawah naungan PSSI. Makanya, perihal sepakbola mereka seperti tak sudi untuk bekerja sama dengan pihak lain kecuali PSSI. Padahal kalau dipikir-pikir, apalah yang bisa dilakukan oleh mereka yang sudah menjadi beku.

Sepakbola itu perihal yang adil. Di dalamnya, seiring dengan geraknya sebagai pengemban prinsip-prinsip profesionalitas, ia akan menghadapi berbagai macam masalah. Kompleksitasnya tingkat tinggi. Namun demikian, sepakbola selalu menawarkan berbagai alternatif untuk melepaskan diri dari keterpurukan. Ia selalu menawarkan ruang bagi setiap improvisasi. Dan tentang hal ini, saya selalu berpikir kalau sepakbola Indonesia harus belajar banyak dari musisi jazz.

Dalam salah satu bukunya, Seno Gumira Ajidarma pernah menganalogikan suara-suara instrumen musik jazz sebagai sesuatu yang mengalir mengikuti suatu garis penunjuk. Jika bisa berjalan, maka suara-suara itu tidak akan berjalan lurus, ia akan sesekali berbelok lalu kembali mengikuti garis itu. Mereka juga bersedia untuk berjalan sambil melompat-lompat ataupun berlari, bahkan terkadang ada gerakan-gerakan akrobatis serupa salto. Apapun yang penting tidak keluar dari kerangka lagu. Karena bagaimanapun juga ia harus selalu dipatuhi agar talenta dan teknik luar biasa yang dimiliki oleh musisi-musisi jazz tidak menjadi bumerang yang membikin nada terdengar sumbang atau mungkin terlalu rumit sehingga sama sekali tidak bisa dinikmati.

Tidak ada cerita manis yang hendak dirayakan lewat lagu Berta, Berta. Mereka yang menyanyikan lagu tersebut adalah orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Namun saya jadi berpikir begini: Saat mereka bernyanyi, mereka sedang berimprovisasi dalam menghadapi kehidupan sebagai budak yang tentunya jauh dari kata menyenangkan. Menyanyi memang tidak akan membuat rantai yang membelenggu mereka lepas begitu saja, namun setidaknya lewat nyanyian itu, mereka berhasil membuktikan kalau rantai tidak bisa memaksa mereka untuk tidak menyanyi. Atas segala latar belakang yang tak menyenangkan ini, musik jazz yang pada awalnya memang identik sebagai musik kulit hitam adalah cara mereka untuk melepaskan diri dari perasaan minder sebagai orang-orang yang pernah hidup dalam kungkungan perbudakan. Musik jazz adalah cara mereka menjerit atas setiap duka yang harus ditanggung sejak dulu.

Tentang bagaimana menghadapi kebuntuan yang semakin lama semakin mempersempit gerak sepakbola Indonesia, saya jadi bertanya mengapa improvisasi itu tidak dilaksanakan. Seharusnya sepakbola negeri ini memang berada di bawah naungan PSSI sebagai organisasi sepakbola tertinggi. Apa-apa yang berkaitan dengan sepakbola profesional harus selalu berurusan dengan PSSI, mengingat mereka juga bertanggung jawab penuh.

Namun hal itu dapat dilakukan dalam kondisi normal. Jalan tersebut dapat ditempuh jika PSSI menjadi pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban.

Sama seperti musisi jazz tadi, dalam pergerakannya persepakbolaan Indonesia juga bisa diibaratkan sebagai perihal yang diberi garis penunjuk. Ia mempunyai tujuan, dan dalam hal ini, tujuannya bukanlah memastikan ada tidaknya kompetisi yang diakui FIFA ataupun menjamin eksistensi PSSI - tetapi memastikan kalau kompetisi berjalan dengan sehat serta diikuti oleh klub-klub dan diurus oleh pihak-pihak yang sehat, memastikan bahwa ranah yang diusahakan oleh para pesepakbola, pelatih dan ofisial lainnya adalah ranah yang bisa bertanggung jawab terhadap kesejahteraan mereka. Dan dalam kondisi yang tak normal seperti saat ini, saat keberadaan PSSI belum bisa diakui lagi, saya pikir tak ada salahnya jika PT Liga sebagai penyelenggara kompetisi mau untuk berimprovisasi dan berkoordinasi dengan Tim Transisi.

Dalam musik jazz, bagian yang paling saya sukai adalah saat para musisi secara bergantian mempertontonkan kehebatan individual mereka. Namun pada sesi ini, setiap musisi harus tahu diri, tidak ada yang boleh mengacau. Misalnya, saat tiba giliran pemain saksofon, si penabuh drum tidak boleh seenaknya merebut panggung – malahan, ia juga harus menciptakan atmosfer yang bisa membantu si pemain saksofon dalam menonjolkan musikalitasnya – karena pada akhirnya, setiap musisi akan mendapatkan bagiannya, setiap orang yang ada di atas panggung akan menerima tepuk tangan dan puja-pujinya masing-masing.

Begitu pula pada kisruh yang membuat sepakbola Indonesia semakin mati kutu. Kesediaan PT Liga untuk mengakui keberadaan dan fungsi Tim Transisi pada dasarnya tidak sama dengan memberikan seluruh panggung kepada Tim Transisi. Kesediaan PT Liga untuk menuruti rekomendasi BOPI justru akan menjaga keberadaan panggung tersebut. PT Liga akan mendapatkan perannya sendiri, begitupun PSSI jika mereka bersedia bekerja sama. Dan yang terpenting, nasib para pemain, pelatih dan ofisial yang seharusnya menjadi prioritas utama juga tidak akan seburam ini.

Barangkali, mulai mengakui pembekuan PSSI dan bekerja sama dengan Tim Transisi akan membikin persepakbolaan terlihat kacau, tidak berjalan sesuai garis penunjuk yang sudah diberikan. Namun sama seperti musisi jazz yang gemar membelok-belokkan nada dan bercanda dengan suara-suara instrumen bukan karena ingin mengacau sebuah lagu, melainkan karena kebutuhannya untuk mengungkapkan apa yang tak terungkapkan oleh bahasa kata – ada kalanya kaidah-kaidah dan aturan persepakbolaan tidak cukup untuk memenuhi apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh sepakbola itu sendiri.

Sekali-sekali saya mendengar rekaman instrumen jazz, katakanlah milik Clifford Brown – seorang pemain terompet berkebangsaan Amerika yang biasa dikenal dengan sebutan “Brownie”.

Dalam album The Complete Blue Note and Pacific Jazz Recordings of Clifford Brown yang dirilis tahun 1984 atau sekitar 28 tahun pasca kecelakaan maut yang merenggut nyawa si jenius pada saat usianya baru menginjak 25 tahun ini, saya menemukan versi master dan alternate untuk satu lagu yang sama – contohnya Carvin’ the Rock, Cookin’ dan Get Happy.

Improvisasi seorang musisi yang baik tidak akan pernah sama, ia akan menghasilkan lagu berbeda walaupun dimainkan dalam kerangka lagu yang sama – perbedaan yang membuat baik versi master maupun alternate sama-sama layak untuk didengar. Dan saya pikir, sepakbola Indonesia pun demikian.

Sumber gambar: shugajazzbistro.com

Komentar