Menuju Proses Pendewasaan Barcelona

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Menuju Proses Pendewasaan Barcelona

Oleh Edwin Syah

Sebagai makhluk hidup, manusia memiliki keunggulan ketimbang makhluk lainnya: akal dan pikiran. Pola pikir pula yang membentuk manusia menjadi karakter-karakter tertentu. Carol Dweck, profesor bidang psikologi Stanford University, mengungkapkan dalam artikelnya, The Effort Effect, sejatinya pola pikir manusia terbagi menjadi dua kelompok: fixed mindset dan growth mindset.

Orang dengan fixed mindset cenderung pesimis dan menghindari tekanan. Buat mereka, cara terbaik untuk menangani masalah adalah dengan tidak melakukannya.  Sementara itu, orang dengan growth mindset cenderung fleksibel dalam menyelesaikan masalah dan menyukai tantangan baru. Mereka menganggap dengan adanya tantangan dan masalah, mereka bisa belajar untuk menjadi lebih baik lagi.

Sepakbola dan Pola Pikir

FIXED
Sumber gambar: michaelgr.com

Sepakbola menuntut para pemain dan pelatih memiliki kecerdasan ekstra. Pola pikir mereka yang terlibat di atas lapangan, amat mampu membentuk karakteristik kesebelasan.

Perbedaan cara pikir ini amat mungkin diaplikasikan di atas lapangan. Misalnya Manajer Chelsea, Jose Mourinho, yang gemar bermain bertahan; sedangkan Louis van Gaal kerap bermain terbuka meskipun hasilnya kurang memuaskan.

Lalu, pertanyaan pun terkembang: mana yang lebih baik? Main pragmatis tapi juara, atau sepakbola indah tapi nirgelar? Pada akhirnya, perdebatan tersebut berlalu begitu saja, karena ini bukan menyangkut soal benar dan salah.

Kemenangan menjadi hakikat utama dalam sepakbola. Taktik dan gaya bermain hanyalah cara dari para pelaku sepakbola untuk mencapai kemenangan. Terdapat beberapa kesebelasan yang membawa taktik dan gaya bermain tersebut ke level yang lebih tinggi dan menjadikannya sebagai filosofi.

Barcelona dan Filosofi Sepakbola


Sejarah filosofi permainan Barcelona amatlah panjang untuk ditelusuri, mulai dari era  Johan Cruyff yang membawa “Total Football” hingga ke era “Tiki-Taka” yang kian dipopulerkan saat era Pep Guardiola.

Tanpa mengesampingkan peran pelatih-pelatih lain di Barcelona, patut diakui bahwa Pep membuat tradisi tersendiri di Barcelona. Dengan raihan 14 trofi dalam empat musim, Guardiola seakan menjadi acuan bagi setiap pelatih yang akan menukangi Barca; pun dengan “tiki-taka” yang kadung menjadi identitas Barcelona.

Kala masih dilatih Pep, sulit bagi Barca untuk mengubah gaya bermain. Xavi Hernandez dan kolega hanya mampu menampilkan permainan yang kerap dibilang “berputar-putar” itu. Situasi tersebut didukung oleh kepemimpinan Pep yang seakan tidak memiliki rencana besar lain untuk mengubah formasi atau gaya bermain. Menang atau kalah, unggul atau tertinggal, gaya bermain Barcelona akan seperti itu, karena hanya itulah yang mereka bisa.

Tidak ada yang bisa membantah kejeniusan Pep. Enam trofi dalam waktu satu tahun kalender menjadi bukti yang tak terbantahkan. Namun, gaya bermain “tiki-taka” juga memiliki kelemahan. Mereka kerap kewalahan saat menghadapi pressing ketat lawan.

Seiring berjalannya waktu, “tiki-taka” kian dianggap usang dan lawan mampu memaksimalkan kelemahan taktik tersebut. Namun, Barcelona tak peduli. Puncaknya adalah kekalahan dengan agregat 7-0 kala menghadapi Bayern Munich pada Liga Champions 2012/2013 lalu.

Santer terdengar Barcelona era “tiki-taka” sudah berakhir. Mereka mulai mempersiapkan gaya yang baru demi hasil yang lebih baik lagi.

Tito dan Tata

Tidak ada yang bisa dilakukan mendiang Tito Vilanova dan Tata Martino di Barcelona. Keduanya tetap berpegang pada pilihan taktik Pep. Keduanya pun belum mampu membawa kejayaan Barca seperti sedia kala. Bahkan, Tata tak memberikan gelar utama apapun di tahun kepelatihannya. Tak ada gelar berarti tak ada ampun. Akhirnya Tata hanya berumur satu musim di Barca untuk digantikan oleh Luis Enrique di musim 2014/2015.

Enrique datang dengan membawa beban yang sama. Di awal masa kepemimpinannya, Lucho tampak kurang meyakinkan. Kekalahan di El Classico jilid pertama, hingga perseteruannya dengan Lionel Messi membuat tanda pagar (tagar) #LuchoOut bertebaran di lini masa. Namun, terdapat perbedaan yang dibuat Lucho selama di Barca:

Lucho menjadikan lini serang mereka sebagai mesin gol. Ini berbeda jika dibandingkan beberapa musim sebelumnya, karena hampir semua pemain bisa mencetak gol. Barcelona kali ini menjadikan trio Messi, Luis Suarez, dan Neymar sebagai bomber pencetak gol. Hingga 13 Mei 2015, dari total 166 gol yang di cetak oleh Barca di semua kompetisi, 114 diantaranya dilesakkan oleh trio MSN.

Lucho pun merombak tradisi gaya bermain Barca yang kini lebih fleksibel. Saat merasa salah menerapkan taktik, Lucho mulai memaksimalkan bola mati dan serangan balik; satu hal yang jarang dilakukan Barca. Berdasarkan Whoscored, di La Liga Barcelona mampu mencetak 16 gol dari bola mati dan enam gol dari serangan balik.

Saat El Classico jilid dua digelar, Barcelona berhasil menang lewat dua gol bola mati dan serangan balik. Ini membuat penulis curiga jangan-jangan Enrique adalah Tony Pulis yang tengah menyamar. Gaya bermain pragmatis tersebut membuat Johan Cruyff geram.  Cruyff menilai Barca bermain sangat buruk. Ya buruk, tapi menang tetaplah menang.

Barca di era Lucho tumbuh sebagai tim yang realistis. Ini terlihat bila Barca mesti menjalani laga sulit dalam rentang waktu yang singkat. Barca tidak mau ambil resiko dan tak segan bermain bertahan untuk menjaga kemenangan dan menjaga stamina.

Fixed mindset nya Lucho tidak melulu menghasilkan kemenangan. Salah satunya kala menghadapi Sevilla pada April lalu. Barca yang unggul 2-0 harus puas berbagi poin setelah Sevilla mencetak dua gol penyeimbang. Penyebabnya tak lain karena perubahan taktik yang sangat defensif di babak kedua, sehingga Barca yang memang tidak terlalu mahir dalam bertahan menjadi kewalahan dalam menghadapi serangan dari Sevilla.

Kegagalan yang terbaru adalah kala menghadapi Bayern Munich pada leg kedua babak semifinal Liga Champions. Unggul 2-1 pada babak pertama, Barca bermain bak kesebelasan medioker pada babak kedua. Barangkali, karena harus menghadapi Atletico Madrid pada akhir pekan ini, Barcelona bermain aman demi menjaga kebugaran.

Karena fixed mindset itulah Barca kalah 2-3 pada kahir laga. Mereka memamng lolos ke final berkat keunggulan agregat, tapi selain dua gol di babak pertama, rasanya tak ada yang bisa dinikmati dari permainan Barca, pada malam itu.

Proses Pendewasaan Barcelona


Bisa di ibaratkan Barca adalah seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi superhero.  Lambat laun anak itu sadar bahwa dengan menjadi superhero ia tidak akan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membeli keperluan rumah tangga. Hingga akhirnya sang anak tersebut memutuskan untuk  menjadi  seorang pegawai kantoran.

Karena pada akhirnya proses pendewasaanlah yang membuat kita tersadar bahwa terkadang hidup tidak berjalan sesuai keinginan dan perlu adanya penyesuaian sikap dalam bertindak apabila tetap menginginkan hasil yang baik

Jika masih tetap mengandalkan gaya permainan lamanya, belum tentu Barca bisa melangkah sejauh ini. Barca merupakan tim yang sedang mengalami masa transisi di dalamnya. Dan yang diperlukan oleh Barcelona adalah kedewasaan dari para penggemarnya untuk menerima bahwa Barca yang sekarang tak lagi sama seperti Barca yang dulu. Seperti kata Albert Einstein, “We can’t solve our problems with the same level of thinking that created them.”

Dengan masih berada di jalur treble, Lucho berpeluang untuk mengulang kesuksesan Pep saat tahun pertamanya menukangi Barca. Lebih dari itu, jika Lucho mampu memberikan kesuksesan bagi Barca, ia juga berpeluang untuk membangun eranya sendiri di Barca. Era Barca yang tak lagi Tiki-Taka.

Sumber gambar: scaryfootball.com


Penulis aktif di twitter dengan akun @edwinsdjah

Komentar