Investor di Sepakbola dan Teluk Benoa

Editorial

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Investor di Sepakbola dan Teluk Benoa

Hanya ada dua jenis investor yang ada di muka bumi ini: penyelamat atau perusak. Di sepakbola, sampai kapanpun Roman Abramovich akan dianggap sebagai penyelamat. Karena gelontoran uangnya-lah, Chelsea bisa meraih gelar juara Liga Inggris setelah selama�50 tahun tidak pernah meraihnya.

Hanya sedikit mereka yang memprotes kebijakan Abramovich. Prestasi Chelsea di tangannya tidak terbantahkan. Ini sangat penting terutama bagi penggemar Chelsea yang sudah mendukung The Blues sejak awal di mana mereka bukan siapa-siapa di kancah persepakbolaan Inggris.

Di sisi lain, investor yang merusak adalah mereka yang meraup keuntungan dengan memerah kesebelasan sampai kering. Ada pula yang meninggalkan kesebelasan saat ia sudah tidak tertarik lagi mengelola sepakbola. Sialnya, hal itu juga terjadi di sini, di Indonesia.

Reklamasi Teluk Benoa

Tujuan utama dari investasi adalah memperoleh keuntungan. Hal ini pula yang disampaikan secara jelas oleh pihak PT Tirta Wahana Bali International (TWBI) dalam konsultasi publik Amdal yang dihelat di Gedung Wisma Sabha, Kantor Gubernur Bali, Rabu (11/3) bulan lalu.

Acara baru dibuka dua kelompok masyarakat yang memenuhi undangan keluar dari ruangan. Mereka menyatakan walk out sebagai bentuk penolakan tegas atas reklamasi Teluk Benoa.

Hal tersebut terekam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari film dokumenter berjudul "Kala Benoa". Video tersebut diunggah oleh akun Youtube Watchdoc Image pada Senin (6/4) kemarin.

"Kala Benoa" mengisahkan dengan runut bagaimana sikap masyarakat Bali terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka sudah memiliki pengalaman buruk saat investor mereklamasi Pulau Serangan yang tidak ada juntrungannya hingga saat ini. Bukan hanya perusakan lingkungan, mereka juga tak ingin reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar menghancurkan Bali sebagai budaya, mata pencaharian, identitas, dan alasan mereka hidup.

Teluk Benoa masih merupakan kawasan konservasi hingga terbit Peraturan Presiden 51 tahun 2014 yang mengubah peruntukkannya menjadi kawasan zona budi daya. Keputusan tersebut memang tidak mengejutkan karena dari awal masyarakat sudah curiga dengan pembangunan jalan tol yang membelah Teluk Benoa.

Sebelum Perpres yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut keluar, masyarakat Bali sudah melakukan protes besar-besaran sejak Agustus 2013. Mereka mengirimkan pesan dengan tegas dan jelas bahwa tidak ada satupun dari mereka yang mendukung reklamasi Teluk Benoa.

Kami sempat menuliskan bagaimana Cristiano Ronaldo dijadikan alat untuk memanipulasi masyarakat Bali terkait reklamasi Teluk Benoa di sini.



Anak Haram

Singapura dan Dubai merupakan dua negara yang sukses dalam mereklamasi laut menjadi dataran. Namun, jarang media yang menyoroti bagaimana rusaknya lingkungan Kepulauan Riau yang pasirnya habis diekspor ke Singapura.

Bagaimanapun, pasir merupakan komponen utama dalam reklamasi. Reklamasi Teluk Benoa pun membutuhkan pasir yang rencananya akan didatangkan dari pantai timur Pulau Lombok serta Pantai Boom di Banyuwangi. Tentu saja masyarakat di wilayah tersebut menolak. Pasalnya, mayoritas dari mereka bermatapencaharian sebagai nelayan.

Nelayan pun membantah habis-habisan argumen mereka yang pro reklamasi. "Tidak ada alasan nelayan tidak ke sana (Labuan Haji). Nelayan itu tidak menetap karena mencari fishing ground," tutur Badar, nelayan Lombok dalam Kala Benoa, "Orang yang membangun, kita yang dirusak."

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mendesak Gubernur Jawa Timur dan Bupati Banyuwangi untuk menolak reklamasi. Seperti dikuti Kompas, salah satu aktivis Walhi, Rere Christanto menyatakan bahwa area perairan Srono adalah salah satu wilayah penghasil ikan terbesar di Indonesia. Selain itu, puluhan ribu warga di sana juga bergantung pada hasil ekosistem laut.

Tidak Perlu Modern



Apakah reklamasi Teluk Benoa dengan serta merta membuat Bali menjadi modern? Kalau sudah modern lalu wisatawan mau berkunjung ke Bali?

"Bali masih menjunjung tinggi sopan santun, itu yang disenangi orang. Bukan gedung pencakar langit," tutur seorang bapak di hadapan PT TWBI, "Tolok ukur wisatawan datang ke Bali itu karena adatnya. Adat harus dipertahankan, bukan gedung yang diberdirikan."

Argumen seperti ini memang tidak terbantahkan. Jika turis ingin berlibur ke tempat yang modern, datang saja ke Singapura atau ke Dubai. Lagi pula, saat ini ada maskapai yang menggratiskan tiket pesawat Indonesia-Singapura. Sedangkan ke Bali? Minimal 500 ribu rupiah.

Namun, jelas bukan itu alasan mereka mengapa masih ingin datang ke Bali. Perwakilan Jaringan Ekowisata Desa (JED), Gede Astana Jaya, memberi gambaran bagaimana turis asing datang ke Bali karena ingin suasana desa yang hangat dan "tidak terduga".

"Tamu Korea yang ini ingin anaknya berinteraksi dengan anak-anak di kampung," kata Gede sembari membuka surat elektronik dari warga negara Korea, "Orang tua ini ingin melihat anak-anak di desa itu seperti apa. Apa biasa mainannya. Mereka datang dari negara maju, anak-anaknya cenderung bermain di sektor IT."

Apa yang dikatan Gede benar adanya. Mengapa orang Australia menghabiskan liburannya di Bali? Apakah di Australia tidak ada pantai? Jelas ada. Jangankan di Australia, di Kenya dan Angola saja garis pantainya jauh lebih panjang daripada di Bali.

Keunikan dari "Kala Benoa" adalah hampir semua narasumber yang bicara di depan kamera tidak pernah melepaskan senyumnya. Kesan ramah itu langsung terasa karena senyuman tersebut tidaklah dipaksakan�maksud senyum yang dipaksakan contohnya saat Anda datang ke mall lalu disapa mba-mba SPG penjual rokok, misalnya.

Salah satu desa wisata di Bali, Desa Tenganan Pegringsingan dikunjungi sekitar 46 ribu turis setiap tahunnya. Namun, penghasilan utama mereka tetap dari pertanian dan perkebunan. "Pariwisata itu adalah bonus," tutur Putu Widyana, Ketua Koperasi Desa Tenganan, "Misi dari desa ekowisata adalah menyadarkan kami, orang-orang lokal di Tenganan, akan potensi sumber daya yang kita miliki untuk bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Melestarikan Budaya Bali

Bali bukan untuk dijual, bli!


"Kami tidak mungkin menghancurkan bumi pertiwi dan bangsa ini demi apapun," ujar Hendi Lukman perwakilan dari PT TWBI, "Percayalah pak, saya tidak akan mungkin merusak budaya Bali, pak. Tolong itu dicamkan dengan pikiran yang jernih."

Penolakan pun secara tegas dikatakan disampaikan salah seorang pengusaha laut, I Nyoman Sugita. Ia berpendapat jika reklamasi dilakukan akses para nelayan yang beraktivitas mencari rumput laut, karang, dan segala macam bisa saja terhambat.

"Mungkin saja mereka (nelayan) bisa dibentak nantinya. �Woi ini sudah kawasan hotel keluar dari kawasan ini!�. Ya ampun, kita ini warga Bali yang lahir di sini, hidup berdampingan dengan Teluk Benoa (tapi menjadi tamu di tempat sendiri," kata Nyoman Sugita geram.

Dalam agama Hindu, agama mayoritas masyarakat Bali, air adalah zat yang disucikan. Masyarakat pun sering melarung persembahan ke laut. Jika reklamasi sudah dilakukan, bukankah itu mengganggu dan merusak budaya Bali?

Ditinggal Pergi
Persikab yang asli yang hijau-kuning bukan merah-merah (Sumber: ligaindonesia.co.id)


Pulau Serangan adalah kasus buruk dari reklamasi di Bali. Saat itu, hampir tidak terdengar tentangan yang teramat keras dari masyarakat karena Pulau Serangan diinisiasi oleh keluarga Cendana. "Gak ada yang berani (melawan) Soeharto kan, ya bisa dikatakan tangan besi lah. Banyak oknum ABRI dan tentara," tutur Rio, operator kapal wisata di Tanjung Benoa.

Setelah reformasi tidak ada pembangunan lagi di Pulau Serangan. Namun, masyarakat juga tidak boleh menempati pulau yang kini menjadi tempat konservasi penyu tersebut. Bagi investor, jika sudah mustahil meraup keuntungan, atau tidak ada lagi dukungan dari pihak berwenang, ya sudah tinggalkan saja.

Ini juga yang terjadi pada sejumlah kesebelasan merger di Indonesia. Apakah kesebelasan Bandung Raya yang pernah menjadi juara Liga Indonesia edisi kedua masih ada? Agaknya tidak karena mereka dikabarkan tengah merapat ke Bekasi dengan syarat merger dengan Persipasi Bekasi. Lalu bagaimana nasib Persires Rengat yang merger dan pindah kandang ke Kuningan? Apakah ini pula yang menjadi akhir dari perjalanan "Pelita" di Liga Indonesia?

Saat ini, kompetisi Liga Super dan Divisi Utama diarahkan sebagai kompetisi profesional. Artinya, tidak boleh ada campur tangan�hibah misalnya�dari pemerintah daerah. Padahal, seperti kita ketahui mayoritas kesebelasan besar memiliki sejarah panjang pengelolaannya dengan pemerintah daerah.

Ini yang terjadi pada Persikab Kabupaten Bandung serta sejumlah kesebelasan lain yang mentas di Divisi Utama. Pemerintah daerah tidak begitu siap untuk melepaskan atau memberikan kesebelasan mereka ke investor lain. Di satu sisi, ada kesebelasan yang sukses macam Pusamania Borneo FC.

Di sisi lain, kesebelasan macam Persikab yang ke stadion saja harus carter angkot, mesti terjerembab ke Liga Nusantara karena ditinggal mayoritas pemain intinya. Selain itu, upaya dari pemerintah daerah pun seperti tidak maksimal, misalnya dalam hal pencarian sponsor karena dana dari APBD untuk sepakbola di Liga Super dan Divisi Utama kini sudah dilarang.

Ya, begitulah investor. Ada yang menguntungkan, ada pula yang merusak. Enakan jamanku, toh? Eh.





Sumber gambar: anekatempatwisata.com

Komentar