Mario Zagallo dan Kemunculan Formasi 4-3-3

Taktik

by Redaksi 41

Redaksi 41

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Mario Zagallo dan Kemunculan Formasi 4-3-3

Perkembangan sepakbola saat ini amat pesat, mulai dari kemampuan pemainnya (skil teknik dan cara bermain) hingga kemampuan sebuah kesebelasan sepakbola itu sendiri (dalam hal ini kemampuan finansial). Kemampuan pemain pun harus selalu bisa berkembang atau beradaptasi dengan setiap perkembangan formasi baru.

Begitu pun seorang penjaga gawang di era sepakbola moderen ini dituntut memiliki kemampuan sebagai sweeper. Seperti Halnya Mario Zagallo ketika sadar posisinya terancam seiring perubahan formasi.

Zagallo, orang pertama yang pernah menjadi juara dunia dalam kapasitas sebagai pemain dan pelatih, sering dianggap sebagai prototipe pemain sayap bertahan pertama di dunia. Bersama Brasil ia dua kali menjuarai Piala Dunia dengan menjadi defensive winger yaitu pada 1958 dan 1962.

Semula Zagallo berperan sebagai inside forward kiri di dalam formasi dasar 4-2-4. Namun dengan melimpahnya pemain-pemain depan Brasil saat itu, satu-satunya cara agar Zagallo mendapatkan tempat di timnas adalah dengan menjadi pemain sayap kiri. Dengan Garrincha yang sangat hedonis dan buas dalam menyerang di sisi kanan, maka Zagallo bermain di sisi kiri untuk cenderung ikut bertahan saat kesebelasannya diserang.

Di era 1950-an, atau menjelang berakhirnya era W-M, tugas inside forward sudah berubah terlebih dahulu. Jika semula pemain di posisi ini hanya bertugas untuk menyerang dan mengalirkan bola, maka perannya bertambah dengan ikut membantu pertahanan saat kesebelasannya diserang. Karena itu, tak heran Zagallo sudah memiliki kemampuan bertahan sebelum ia mengambil peran pemain sayap.

Hal ini berbeda dengan Garrincha, sang winger kanan. Dengan kemampuan dribel dan dalam melewati bek lawan, Garrincha dapat dikategorikan sebagai pemain sayap tradisional yang tak memiliki tugas bertahan sama sekali. Kemunculan Zagallo ini pun sesungguhnya suatu reaksi dari perubahan besar di dunia sepakbola, yaitu awal mula munculnya empat bek sejajar dan awal mula 4-3-3.

Empat bek sejajar muncul karena salah satu center-half (di formasi W-M) secara alamiah akan berposisi lebih dalam dan bertahan dari satunya, sehingga terdapat empat orang di lini pertahanan. Sementara itu, tiga pemain di tengah (didapatkan dengan Zagallo yang bermain lebih dalam) muncul karena adanya kebutuhan untuk mengisi kekosongan lini tengah yang ditinggalkan center-half yang berperan sebagai bek.

Karena itu, tak heran jika kesebelasan Brasil di Piala Dunia 1958 terlihat tidak seimbang atau tidak simetris. Penyerangan akan lebih berpusat di sisi kanan lapangan (lewat Garrincha-Pele-Vava), sementara pemain sisi kiri akan lebih meredam gairah untuk menyerang demi kepentingan pertahanan. 4-3-3 yang tidak simetris.

ini yang baru

Bagi Brasil sendiri, walau Zagallo bukan pemain paling terkenal yang pernah dihasilkan negara ini, ia merepresentasikan satu bagian penting dalam lini masa sejarah sepakbolanya: Brasil yang mencari keseimbangan antara menyerang dan bertahan.

Sementara bagi dunia sepakbola, kemunculan Zagallo memicu pemain sayap untuk belajar seni bertahan dalam sepakbola. Selain itu juga memicu kehadiran pemain sayap yang lebih komplit, yang kemampuan bertahan dan menyerangnya sama bagusnya. Kehadiran Zagallo bahkan menginspirasi Alf Ramsey untuk menciptakan sistem "wingless wonder" saat Inggris menjuarai Piala Dunia 1966.

Tak heran seorang mantan pelatih timnas Perancis, Aime Jacquet, pernah berkata bahwa Zagallo adalah orang yang mengajarkan dunia untuk mengenakan dua kaus: menyerang dan bertahan. Makanya, tak perlu diherankan jika saat Zagallo menjadi manajer pun dia tetap memasang seorang pemain sayap yang punya kemampuan bertahan bagus dalam formasi utamanya.

Saat menjuarai Piala Dunia 1970 dalam posisi sebagai manajer, sekaligus melengkapi portofolio-nya sebagai orang pertama yang menjadi juara dunia dalam status sebagai pemain dan manajer, Zagallo tak lupa menempatkan seorang defensive-winger dalam susunan utama kesebelasan.

Brasil 1970 sering disebut sebagai salah satu kesebelasan terhebat dalam sejarah sepakbola karena keseimbangannya dalam bertahan dan menyerang. Zagallo menempatkan Rivellino di sisi kiri penyerangan. Dengan Jairzinho di kanan yang peran dan gaya mainnya seperti Garrincha di Piala Dunia 1958 dan 1962, maka Rivellino di kiri memanggul tugas sebagaimana Zagallo dulu: menjadi false-winger, defensive-winger.

Ketika Zagallo menjadi asisten Carlos Alberto Perreira di Piala Dunia 1994, Brasil pun punya pemain sayap dengan tendensi bertahan yang kuat. Brasil 1994 kerap dianggap sebagai kesebelasan yang un-aesthetic, Brasil yang tidak enak ditonton. Toh hasilnya maksimal: menjadikan Brasil sebagai kesebelasan pertama di dunia yang empat kali jadi juara dunia.

Saat itu, guna melapisi agresifitas dua full-back, Jorginho di kanan dan Branco/Leonardo di kiri, Brasil memasang Mazinho dan Zinho di kedua sayap. Kedua pemain ini, terutama Mazinho, ayah pemain Barcelona saat ini -- Thiago Alcantara, juga punya defensive-ability yang baik.

Dengan Dunga dan Mauro Silva di jantung lini tengah, saat itu Brasil punya empat pemain tengah yang memiki kemampuan bertahan yang baik. Dan itulah sebabnya kenapa Brasil di Piala Dunia 1994 sering dianggap Brasil pertama yang terlalu doyan bertahan ketimbang menari-nari di daerah lawan.

Peran Full-Back yang Semakin Menyerang

Jika kemunculan Zagallo adalah solusi Brasil untuk mengatasi persoalan keseimbangan antara menyerang dan bertahan, maka pemain yang ditempatkan tinggi di sayap untuk bertahan di era sekarang adalah jawaban atas semakin menyerangnya full-back.

Contoh Dani Alves, Roberto Carlos, Cafu, Ashley Cole, Gianluca Zambrotta, atau Fabio Grosso. Dengan kemampuan dribelnya pemain-pemain ini memiliki peran sentral dalam menyerang dan stretching area permainan agar tetap lebar dan tidak menumpuk di tengah. Hal ini dikarenakan full-back-lah yang kini jadi pemain dengan area cukup luas untuk dieksploitasi dengan kecepatannya.

Dulunya, peran ini diemban oleh winger. Namun, dengan penggunaan 4 bek sejajar, para pemain sayap kehilangan ruang untuk beroperasi sehingga tugas ini dialihkan pada pemain di belakangnya.

Karena itu, seorang winger, atau pemain depan yang bermain di sayap lapangan, sebagai orang yang pertama kali berhadapan dengan full-back, memiliki tugas untuk meredam serangan dari belakang ini.

Selain untuk menahan serangan full-back lawan, kehadiran seorang defensive winger sesungguhnya membantu permainan full-back kesebelasan sendiri. Dengan full-back lawan yang tertahan di areanya sendiri, maka bek kiri-kanan kesebelasan pun akan memiliki ruang luas yang dapat digunakan untun menyerang.

Dalam skema besar sepakbola, duel ini jadi hal yang unik dan seakan berkebalikan dengan apa yang terjadi hampir 60 tahun lalu. Dulu, duel-duel antara full-back dan pemain sayap memang jadi atraksi yang menarik penonton, dengan bek terluar yang harus siap menerima gempuran sang pemain sayap.

Baca juga ulasan lengkap tentang Genealogi Winger: Bagian 1, Bagian 2, dan Bagian 3

Komentar