Fase Selektif J-League Menuju Liga yang Lebih Profesional

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Fase Selektif J-League Menuju Liga yang Lebih Profesional

J-League musim 2015 sudah dimulai sejak 7 Maret lalu dengan pesta pembukaan yang luar biasa. J-League adalah kompetisi sepakbola Profesional level tertinggi yang dimiliki Jepang. Sebelum dimulainya era J-League, ajang tertinggi sepakbola Jepang saat itu adalah kompetisi yang hanya terdiri dari kesebelasan amatir dan diikuti universitas dan perusahaan. Liga ini diberinama Japan Soccer League (JSL).

JSL memang menjadi salah satu kunci keberhasilan meraih olimpiade 1968 di Meksiko, namun kompetisi tersebut tetap tidak mampu meraih dukungan maksimal dari masyarakat sepenuhnya. Alasannya karena saat itu liga Jepang tidak memiliki kualitas tinggi dibanding negara asia lain, salah satunya Korea Selatan tetangga mereka.

Ketidakstabilan sepakbola Jepang setiap tahun membuat JFA memutuskan membentuk liga yang lebih profesional agar pendukung Kesebelasan Negara Jepang semakin banyak. Pasalnya setiap Kesebelasan Jepang bertanding kursi Stadion Nasional Tokyo banyak bagian yang terlihat kosong. Penonton yang datang jarang melebihi angka 19 ribu orang.

Maka pada 1992 Asosiasi Sepakbola Jepang (JFA) mengubah JSL menjadi Japan Football League (JFL) dengan sistem liga sepakbola semi-profesional meninggalkan sistem amatir. Kompetisi JFL lebih ketat dalam menyeleksi peserta yang akan mengarungi liga sepakbola tertinggi negara matahari terbit saat itu.

Beberapa aspek seperti keuangan dan infrastruktur stadion lebih diutamakan. Stadion yang bobrok dijadikan salah satu alasan mengapa sebagian tribun penonton selalu kosong. Maka kenyamanan lapangan serta tribun terus dibenahi untuk memenuhi standar AFC. Meski begitu harga tiket pertandingan sepakbola di Jepang tetap murah, laga paling mahal pun tidak sampai melebihi 5 ribu yen.

Maka dari hasil seleksi yang cukup ketat tersebut, pada 1992 hanya delapan kesebelasan yang ditarik dari divisi pertama (first division) JSL dan satu dari divisi kedua yang mengikuti JFL. Barulah pada setahun kemudian J-League resmi diluncurkan JFA sebagai kompetisi utama liga sepakbola Jepang yang lebih berkualitas.

Pembangunan stadion mumpuni rupanya sangat ampuh terutama untuk kebangkitan kesebelasan. Salah satu yang mendapat dampak positifnya adalah Kashima Antlers yang menjadi juara di J-League pertama setelah mematahkan dominasi Verdy Kawasaki di awal musim.

Kashima Antlers menjadi kesebelasan yang sukses karena berhasil membangun stadion pertama sepakbola di jepang yang betul-betul layak. Padahal Kashima sebelumnya hanya kesebelasan dari provinsi kecil, prestasinya pun cuma memenangkan divisi kedua JSL pada 1986-1987. Untuk menghadapi Furukawa Electric (sekarang JEF United Chiba) pun Kashima mengaku pesimis.

Sementara itu keuangan J-League dibentuk sebagai ekonomi yang semakin meledak ketika Arsene Wenger dan Gary Lineker datang pada awal 1990-an. Dampaknya Kesebelasan-kesebelasan mulai berpikir untuk merekrut pemain asing berkualitas, tentu diimbangi bakat luar biasa pemain jepang yang bisa terbang berkiprah di negara-negara barat. Hasilnya perhatian yang kompetitif bisa fokus di kompetisi-kompetisi asia. Tidak cuma kancah Asia saja, Jepang pun akhirnya mampu lolos ke Piala Dunia 1998 di Prancis walau tidak mampu melenggang ke babak 16 besar turnamen.

Dalam jangka waktu 18 bulan setelah J-League sebagai koorporasi liga, sekitar 60 ribu pengggemar selalu menduduki tribun Stadion Nasional Tokyo ketika Jepang berlaga. Sebelumya jumlah penonton kesebelasan Samurai Biru di stadion jarang menembus sampai 19 ribu orang.

"Didukung oleh banyak orang Jepang yang mencintai J-League adalah mimpi yang berjalan langkah pertama menuju kenyataan," ungkap Saburo Kawabuchi, mantan Pelatih Jepang.

Masih banyak hal lain yang menarik dari Liga Jepang dimana ada seorang pemain yang perpanjang kontrak walau menginjak umur 47 tahun. Seolah tidak pernah kehilangan spririt bermain sepakbola layaknya tokoh komik Kapten Tsubatsa, atau tidak kalah mencetak gol spektakuler yang tidak kalah fantastis. Membuat para suporter semakin beragam berekspresi, bahkan menutupi wajahnya memakai kardus.

Kini lebih dari 20 tahun sejak berdirinya, J-League membuat gerakan sepakbola Jepang tumbuh secara eksponensial. Setelah melewati jalan menuju profesionalisme dan keberhasilan dengan waktu yang cukup panjang.

Hingga akhirnya diawali 10 kesebelasan kini terdapat 18 tim yang berkiprah di J-League dan 22 tim yang bermain di J2. Tahun ini pun kompetisi divisi ketiga baru digelar yang terdiri dari 13 klub semiprofesional. Maka jika ditotal Liga Jepang hanya memiliki 53 tim yang bertanding di semua kompetisi. Mereka sadar, untuk apa memiliki banyak klub namun tidak sehat secara finansial dan kenyamanan infrastruktur.

Komentar