Gerrard Memang Tidak Pernah Bermain dengan Otak

Cerita

by Redaksi 47

Redaksi 47

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Gerrard Memang Tidak Pernah Bermain dengan Otak

Steven gerrard harus keluar lapangan dalam 38 detik dalam pertandingan melawan Manchester United pada hari minggu lalu. Pertandingan ini, selain penting bagi Liverpool untuk membuka peluang menuju Liga Champions musim depan, seharusnya juga merupakan pertandingan penting bagi sang kapten. Pasalnya, pertandingan ini kemungkinan besar akan menjadi pertandingan terakhirnya melawan musuh bebuyutannya tersebut. Pasalnya, Gerrard sudah memutuskan untuk pindah dari Liverpool pada akhir musim ini.

Satu pertanyaan yang mungkin langsung muncul di kepala banyak orang setelah melihat kejadian ini adalah, kenapa?

Gerrard bukan pemain muda yang masih labil dan mudah terpancing emosinya. Apalagi di pertandingan sepenting ini. Gerrard adalah pemain yang paling berpengalaman di Liverpool saat ini. Dengan lebih dari 15 tahun berseragam Liverpool, seharusnya sudah sangat cukup untuk membuatnya mengerti bahwa ketika itu bukan saatnya bagi dia untuk bertindak konyol.

Namun ternyata Gerrard benar-benar melakukannya. Menginjakkan kakinya ke kaki Ander Herrera yang kemudian menyebabkannya harus dikeluarkan dari lapangan.

Setelah berhasil menciptakan sembilan gol ke gawang United sepanjang karirnya melewati laga-laga bertensi tinggi melawan United, yang sering menjadi bahan cemoohan oleh para fans Liverpool kepada fans United, Gerrard justru memberi kado yang pahit bagi dirinya sendiri dan fans justru di laga terakhirnya melawan sang rival. Setelah Gerrard sembilan kali memberi kado yang pahit bagi fans United, kado pahit itu kini justru ia sodorkan bagi dirinya sendiri.

Padahal seharusnya pertandingan ini bisa menjadi perpisahan yang manis bagi Gerrard. Pertandingan terakhir melawan Manchester United di Anfield, Gerrard mencetak gol kemenangan Liverpool melalui tendangan keras dari luar kotak penalti. Mungkin itu skenario yang sangat diharapkan oleh semua pendukung Liverpool. Meski akhirnya, semua harus berakhir sekedar harapan sebab Gerrard lagi-lagi berhadapan dengan dilema pistol Chekov kembali.

Menanggapi hal ini, mantan rekan satu tim Steven Gerrard di Liverpool, Jamie Carragher, mengatakan bahwa Steven Gerrard memang seringkali bermain tanpa berfikir.

“Steven Gerrard adalah pemain yang emosional. Terkadang dia tidak bermain dengan otaknya, dia bermain dengan hatinya.”

Kurang lebih seperti itulah kalimat Jamie Carragher saat menjadi komentator di Sky Sports.

Carragher menyebutkan dua laga yang ia ingat baik: Final Piala FA 2006 dan final Liga Champions 2005. Bagi Carragher, dalam dua laga itu, Gerrard tak bermain dengan otaknya.

Di laga final FA Cup melawan West Ham, Liverpool tertinggal lebih dulu 0-2, salah satunya karena gol bunuh diri Carra sendiri. Gerrard kemudian membuat asist untuk Cisse dan ia sendiri mencetak gol kemudian. Skor jadi 2-2. Tapi West Ham mencetak gol lagi. 2-3. Lalu Gerrard mencetak gol kedua yang menyamakan kedudukan di menit 91, di injury time, 3-3.

Sebagaimana Istanbul 2005, Liverpool pun akhirnya menggondol Piala FA melalui adu penalti. Dan, sebagaimana di Istanbul, Gerrard menjadi inspirasi dengan hatinya, dengan emosinya, dengan intensitasnya. Bukan, kata Carra, dengan otaknya.

Sepanjang karirnya, Gerrard pernah 8 kali mendapatkan kartu merah langsung di pertandingan. 2 kali terjadi saat pertandingan melawan Everton dan 2 kali saat melawan MU. Hal ini berarti bahwa 4 dari 8 kartu merah langsung yang pernah didapat Gerrard terjadi saat melawan musuh bebuyutannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Carrargher bahwa Gerrard adalah orang yang emosional.

Namun inti dari ucapan Carragher sebenarnya terletak pada kalimat kedua, “terkadang Gerrard tidak bermain dengan otaknya, dia bermain dengan hatinya.”

Mungkin maksud Carragher adalah bermain dengan hati membuat Gerrard terkadang tidak menggunakan akal sehatnya. Rasa cintanya kepada Liverpool membuat Gerrard ingin menghancurkan lawan-lawan yang dibencinya, hingga akhirnya berujung pada tindakan berlebihan yang menyebabkan kartu merah. Inilah mengapa Gerrard beberapa kali diusir wasit saat pertandingan melawan dua tim yang dibencinya tersebut.

Namun, jika kita melihat perjalanan karir Steven Gerrard, sepertinya memang dia tidak pernah menggunakan otaknya. Sulit untuk perjalanan karir Steven Gerrard ke dalam logika akal sehat kita.

Kurang lebih 17 tahun seorang Steven Gerrard berseragam Liverpool hingga musim 2014/2015 ini. Dalam 17 tahun tersebut, tidak Liverpool berhasil menjadi juara Liga Inggris. Gerrard mungkin sempat beberapa kali membawa Liverpool mencapai kejayaan. Satu kali dia berhasil membawa Liverpool juara Eropa serta beberapa kali menjuarai Piala FA dan Piala Liga. Namun tetap saja, orang akan mengingat Steven Gerrard sebagai pemain yang tidak pernah juara Liga Inggris.

Padahal sebenarnya bisa saja jika dia ingin menjadi juara liga. Chelsea sempat beberapa kali berminat untuk merekrutnya. Atau jika tidak ingin bergabung dengan rival Liverpool, Real Madrid juga sempat meminatinya. Dia bisa saja mengikuti jejak mantan rekannya, Michael Owen, bergabung dengan tim yang dari luar angkasa. Dia bisa menjadi juara disana dan meraih lebih banyak gelar.

Bisa saja Gerrard memilih untuk meninggalkan Liverpool dan bermain dengan pemain-pemain terbaik dunia di klub lain. Bukan hanya gelar juara Liga yang mungkin akan dia raih, gelar Individu sebagai pemain terbaik dunia pun bukan hal yang mustahil bisa dia raih jika memilih jalan ini.

Namun Gerrard menolak semua tawaran tersebut. Dia tetap memilih berada di Liverpool, dan bermain dengan rekan-rekan baru setelah rekan lamanya lagi-lagi meninggalkannya.

Silahkan masukkan ke dalam logika anda. Pemain mana yang bisa menolak bermain dengan Zinedine Zidane, Luis Figo, dan Raul Gonzalez di salah satu klub terbaik dunia. Pemain mana yang dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya seharusnya bisa bermain di klub hebat manapun, justru memilih bermain di klub yang memiliki performa tidak stabil. Pemain mana yang melepaskan kesempatan untuk meraih berbagai macam gelar dan justru memilih untuk memikul beban berat di salah satu klub yang tidak pernah sekalipun juara Liga.

Gerrard tahu, menggunakan akal sehat memang terkadang membuat kita terlihat hebat di mata orang lain. Namun menggunakan akal sehat juga tidak jarang membuat kita berbohong dengan hati kita sendiri. Menggunakan hati mungkin akan banyak dianggap konyol oleh orang lain, namun dengan menggunakan hatilah kita bisa mendapatkan ketenangan yang sesungguhnya.

Apa yang dirasakan oleh Fernando Torres saat kembali ke ’rumah’nya, Atletico Madrid, sebenarnya selalu dirasakan Steven Gerrard dengan terus berada di ‘rumah’nya, Liverpool. Dan itulah yang pasti membuat Gerrard tidak akan pernah menyesal berada di Liverpool selama 17 tahun.

“Playing for Liverpool and being the captain, I wouldn’t call that a sacrifice. I would call that living in the dream.”

Itulah kata-kata Steven Gerrard mengenai karirnya di Liverpool. Dia memang tidak pernah menggunakan otaknya, semua dijalankan Gerrard dengan hatinya.

Komentar