Catatan dari Hamburg: Ultras St. Pauli dan Perseteruannya dengan HSV

PanditSharing

by Pandit Sharing 25881

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Catatan dari Hamburg: Ultras St. Pauli dan Perseteruannya dengan HSV

Oleh: Kiki Esa Perdana



Siang itu, cuaca Hamburg masih belum saja bersahabat. Musim dingin padahal sudah mulai habis dan matahari sudah lebih sering muncul, tetapi kaos lengan panjang, jaket tebal, sweater, atau kadang ditambah sarung tangan dan kupluk masih saja harus dipakai jika keluar rumah.

Di tengah cuaca yang demikian, pada siang yang masih agak dingin, saya berjalan mendekati stasiun. Terdengar nyanyian dari sekelompok orang.

Haende hoch das ist ein Ueberfall, heute kommen wir von ueberall, Ultra` Antifa!

Larik-larik kalimat itu dinyanyikan dengan suara yang keras dan lantang. Gema suara itu berputar-putar di udara, tumpang tindih dengan suhu yang dingin. Sesungguhnya saya ingin segera pulang ke kediaman, tapi suara lantang nyanyian itu tidak bisa tidak memang memantik rasa penasaran. Akhirnya penasaran yang menang.

Saya mendekat ke arah sumber suara lantang itu. Oalah, ternyata para Ultras St. Pauli sedang berkumpul. Mereka kompak bernyanyi, dengan penuh semangat, sehingga niscaya suhu yang agak dingin itu tak terlalu mengganggu kenikmatan mereka dalam bernyanyi.

Semangat para sozial romantiker dari Millerntor ini tak pernah terlihat surut. Mereka seperti berada di alam yang berbeda dengan klub Bundesliga lain yang bergelimang dengan kepentingan industri seperti halnya sepakbola di tanah Inggris. Mereka berdiri pada titik pijak yang rasanya nyaris tak pernah beregeser.

Bagi pendukung St. Pauli itu, klub-klub yang selevel dengan St. Pauli seperti Karlsruher SC atau FC Ingolstadt tak akan pernah bisa menarik minat dan perhatian mereka. Apalagi nama besar seperti Bayern Munich atau Dortmund yang bermain di divisi atas. Mereka tak peduli dengan menterengnya prestasi kesebelasan-kesebelasan bergelimbang harta dan pemain tenar itu.

Para penghuni teras-teras di Millerntor, kandang St. Pauli, itu seakan menciptakan kompetisi dan dunianya sendiri yang (nyaris atau seperti) tak peduli dengan hasil, yang penting mereka bisa berkumpul, minum bir dan menonton sepakbola.

Itulah yang saya ketahui tentang ultras St. Pauli, berdasar bacaan-bacaan yang pernah saya akses, juga berdasarkan pengakuan seorang teman yang juga merupakan pendukung St. Pauli. Ia menjelaskan banyak hal tentang St. Pauli kepada saya, tak lama setelah dia tahu bahwa saya lebih berhasrat untuk menonton sepakbola di Millerntor daripada di Imtech-Arena, satu dari 12 stadion yang menjadi venue Piala Dunia 2006 lalu, yang sehari-hari menjadi markas SV Hamburg.

Obrolan kami berlanjut di stadion beberapa hari kemudian dan Millerntor memang, seperti yang sudah saya bayangkan sebelumnya, menyajikan pemandangan yang luar biasa. Mulai dari punkers hingga para aktivis dengan berbagai tulisan provokatif di jaketnya hadir sebagai penonton. Harga tiket pun beragam, dibandrol mulai dari tiket termurah sekitar 150ribu rupiah hingga sekitaran 850ribu rupiah. Harga yang sangat terjangkau bila dibandingkan dengan tiket yang harus dibayarkan oleh mereka yang ingin menonton di kandang Bayern, Dortmund atau HSV sekalipun.

Karena penampilan tim yang kurang menarik, minim kerjasama dan taktik yang mudah terbaca (St. Pauli tengah terseok-seok di klasemen Bundesliga 2 dan sedang berusaha lolos dari degradasi), maka atraksi para supporter yang kemudian lebih menarik untuk ditonton.

st pauli 1

Mereka tak berhenti menyemangati para pemain selama 90 menit menit penuh. Lagu-lagu beraliran ska, punk, hingga AC/DC yang menjadi lagu pengantar pemain masuk ke lapangan (bukan FIFA anthem) atau lagu Blur yang diputar saat terjadinya gol, menjadikan Millerntor terasa berbeda dengan kebanyakan.

Di luar stadion stadion saya melihat booth kecil yang dikoordinir para suporter yang menjual berbagai macam suvenir, mulai dari kaos hingga ikat rambut. Mereka tidak sedang mencari penghasilan tambahan, tapi itu mereka lakukan untuk melakukan penggalangan dana bantuan untuk masyarakat di Afrika.

Hal-hal semacam itulah yang membuat ultras St. Pauli menjadi lebih terkenal daripada kesebelasannya itu sendiri. Lebih banyak yang mengenal bagaimana hubungan ultras St. Pauli dengan pendukung Glasgow Celtics atau lebih banyak yang mengenal siapa itu Sven Brux, dedengkot suporter St. Pauli, ketimbang mengenal siapa itu Soren Gonther (kapten St. Pauli) maupun Ewald Lienen (pelatih St. Pauli).

Tapi situasi di mana suporter lebih masyhur dari skuat sebuah kesebelasan seperti yang terjadi di St. Pauli ini ini memang hal yang tidak datang dengan gratis. Reputasi pedukung St. Pauli ini dianyam melalui perjalanan yang panjang, dalam waktu yang lama, dan terutama berkat pendirian dan penyikapan mereka terhadap berbagai isu-isu sosial yang berkembang.

fanshop st pauli

Halaman selanjutnya

Komentar