(On this Day 1817) Jika Sepakbola Melantai di Bursa Saham

Backpass

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

(On this Day 1817) Jika Sepakbola Melantai di Bursa Saham

Tepat hari ini, New York Stock Exchange atau Bursa Saham New York genap berusia 198 tahun. Berdiri pada 8 Maret 1817, Bursa Saham New York kini menjelma menjadi salah satu pusat finansial dunia. Putaran uang yang sangat besar di seantero dunia bisa sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi di sana.

Bursa saham yang terletak di New York, Amerika Serikat, memang bukanlah yang pertama di dunia. Bursa Saham Amsterdam, yang berdiri pada 1602, jauh lebih tua ketimbang Bursa Saham New York. Namun Bursa Saham New York jauh lebih terkenal karena dalam perjalanannya, Bursa Saham New York menjadi bursa saham terbesar di dunia berdasarkan kapitalisasi pasarnya.

Kurz Gesagt menjelaskan bursa saham sebagai jaringan pasar global raksasa dan terorganisir. Di pasar saham, bukan barang atau jasa yang diperjualbelikan, melainkan keamanan (investasi) dalam bentuk saham. Jumlah uang yang beredar di bursa saham jauh lebih banyak ketimbang jumlah keseluruhan harga barang dan jasa yang ada di dunia.



Harga saham yang diperjualbelikan dapat naik dan turun berdasarkan reputasi dan performa perusahaan. Menanam investasi di bursa saham tidak selalu menguntungkan, namun selalu menarik untuk dilakukan. Dalam dunia sepakbola, hal ini terbukti setelah Premier League menggantikan First Division sebagai divisi tertinggi dalam piramida kompetisi sepakbola Inggris.

The Economist mencatat 27 kesebelasan Inggris melakukan initial public offering (IPO) atau mendeklarasikan diri sebagai perusahaan terbuka di bursa saham, menawarkan saham perdana kepada para calon investor. Satu per satu dari semua kesebelasan tersebut kemudian menarik diri dari bursa saham karena mereka menyadari bahwa investasi ini tidak menguntungkan; dua di antaranya adalah Tottenham Hotspur dan Millwall Football Club.

Manchester United, kesebelasan tersukses di era Premier League, juga pernah menarik diri dari bursa saham. Hal tersebut dilakukan Malcolm Glazer setelah dirinya resmi menjadi pemilik baru United pada tahun 2005. Sebagai pemegang saham tertinggi di United, Glazer memang berhak menarik United dari bursa saham (saat itu United melantai di Bursa Saham London).

Memanfaatkan popularitas United sebagai kesebelasan dengan jumlah pendukung terbanyak di dunia, Glazer kemudian memutuskan untuk melantai di Bursa Saham New York pada 2012. Harga saham yang ditawarkan United pada proses IPO diprediksi berada di angka 16 hingga 20 dolar Amerika per lembar saham.

Nyatanya, harga saham United per lembarnya hanya 14 dolar Amerika saja (harga satu lembar saham United saat ini adalah 15,73 dolar Amerika). Jumlah tersebut, bagaimanapun, jauh lebih besar ketimbang harga saham kesebelasan-kesebelasan lain yang melantai di bursa saham negara mereka masing-masing.

Borussia Dortmund melantai di Bursa Saham Frankfurt di bawah nama perusahaan Borussia Dortmund GmbH & Co. KgaA. Sebanyak 7,24% saham tersebut dimiliki Borussia Dortmund (sebagai kesebelasan) dan 11,71% lainnya dimiliki secara personal oleh CEO Borussia Dortmund GmbH & Co. KgaA, Bernd Geske. Sisanya dimiliki publik yang tidak memiliki hubungan dengan kesebelasan; mempertahankan status Dortmund sebagai kesebelasan milik masyarakat.

Selain Dortmund dan United, ada tiga kesebelasan Italia yang melantai di Borsa Italiana (Bursa Saham Italia): AS Roma, Juventus, dan SS Lazio. Harga satu lembar saham kesebelasan-kesebelasan tersebut, secara berturut-turut, adalah 1,18 euro, 0,2282 euro, dan 0,5035 euro – jauh lebih rendah ketimbang United.

Dimulai oleh Tottenham Hotspurs, satu per satu kesebelasan mulai melirik bursa saham untuk mendapatkan dana investasi dari publik. Irving Scholar, pemilik Spurs kala itu, memutuskan untuk melantai. Saham Spurs dibuka senilah 1,08 poundsterling. Di hari pertama perdagangan, nilainya turun 90 poin, Butuh waktu hampir tiga tahun lamanya bagi Spurs untuk meningkatkan nilai sahamnya hingga bisa kembali di atas 1 pounds per lembar saham.

Dan itu ternyata menjadi tren. Menurut salah seorang penulis The Market Moghul, ada sekitar 30 kesebelasan yang pernah melantai di bursa saham. Umumnya tidak berhasil dan/atau lambat betul perkembangannya. Hanya segelintir kesebelasan yang melantai di bursa yang dalam jangka satu tahun sejak melantai bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi ketimbang saat pertama dilepas ke bursa.

Bahkan kendati relatif tinggi nilainya dibanding saham-saham kesebelasan lain yang melantai di bursa, Manchester United pun sempat mengalami kesulitan. Mereka sempat diberi peringatan oleh otoritas Bursa Saham New York karena harganya terus merosot di awal mereka melantai pada 2012 lalu. Padahal United bisa dibilang salah satu perusahaan olahraga dengan brand paling moncer, apalagi kesebelasan-kesebelasan lain.

Itulah sebabnya, beberapa analis menyebutkan bahwa melantai di bursa saham bukanlah opsi yang potensial mendatangkan uang. Mereka beranggapan bahwa fluktuasi di bursa saham masih bisa lebih dikendalikan ketimbang fluktuasi prestasi sebuah kesebelasan. Begitu sebuah kesebelasan tidak lolos ke Liga Champions Eropa, misalnya, hampir bisa dipastikan keuntungan pun akan berkurang signifikan. IPO sukar diharapkan bisa mendatangkan uang yang stabil bagi kesebelasan tersebut.

Menurut riset yang dilakukan oleh Dirk G. Baur dan Conor McKeating, yang terbit di Jurnal Internasional Keuangan Olahraga (volume 6 tahun 2011),  mayoritas kesebelasan tidak mendapatkan performanya di lapangan, baik di kompetisi domestik atau internasional, menjadi meningkat setelah IPO. Keduanya menemukan bahwa manfaat IPO dalam upaya meningkatkan performa kesebelasan malah sering terjadi di kesebelasan-kesebelasan dari divisi yang lebih rendah.

Hanya saja, manfaat IPO juga bukannya tidak ada. Dirk G. Baur dan Conor menemukan bahwa kesebelasan yang melantai punya kecenderungan menjadi jauh lebih disiplain dalam mengontrol neraca keuangannya. Dampaknya, menurut perkiraan dua peneliti itu, bisa membuat manajemen sebuah kesebelasan menjadi lebih berhati-hati sehingga membantu mereka menghindari keputusan-keputusan bisnis tanpa pertimbangan yang matang sehingga resiko kebangkrutan bisa dihindari.

Akhirnya, jika ingin mendapatkan dana segar dalam waktu cepat, tetap saja uang dari sponsor, hak siar, hingga menjual hak nama stadion, misalnya, dianggap lebih masuk akal bagi skema bisnis sepakbola. Dan selama ini, memang itulah yang sebenarnya terjadi dalam industri sepakbola di Eropa.

Sumber cerita: the market moghul, econ paper, the richest, the economist

Komentar