Game Sepakbola Bikin Orang Merasa (Paling) Tahu

Video Games

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Game Sepakbola Bikin Orang Merasa (Paling) Tahu

Game sepakbola bagaikan ensiklopedia. Saat beberapa orang baru mendengar nama Kurt Zouma atau Eliaquim Mangala, pemain game Football Manager dan FIFA sudah “tahu” masa depan sang pemain akan seperti apa.

Sports Interactive sebagai pengembang Football Manager menempatkan lebih dari puluhan orang di seluruh dunia. Mereka bertugas sebagai pencatat sekaligus  pemandu bakat. Semua catatan terhadap para pemain, termasuk kemampuan yang mereka miliki akan dikumpulkan dalam suatu basis data.

Ini juga yang dilakukan oleh EA Canada sebagai pengembang FIFA. Mereka merilis data wonderkid atau para pemain muda yang diperkirakan akan bersinar setiap tahunnya.

Tentu, nama-nama seperti Zouma dan Mangala ada di dalam daftar. Bahkan, bukan tidak mungkin Chelsea dan Manchester City pun menggaet keduanya karena rekomendasi dari Football Manager maupun FIFA.

Diajarii Footbal Manager


Kurt Zouma yang pindah ke Newcastle. Tidak mungkin sih, Newcastle kan pelit. (Sumber: fm-base.co.uk)

Football Manager bukan cuma urusan transfer tentunya, meskipun itu merupakan hal yang paling menarik, membanggakan, dan mendebarkan. Ada istilah-istilah yang akan sulit ditemui oleh penggemar sepakbola di media arus utama. Istilah seperti poacher, deep lying playmaker, hingga box-to-box midfielder, semua tersaji di Football Manager.

Game yang pertama kali dirilis pada 12 Februari 2004 tersebut memperkenalkan para pemainnya pada kompleksitas taktik. Penggemar “dipaksa” memahami bagaimana fungsi taktik dan bagaimana ia dijalankan dalam sebuah pertandingan.

Dulu, saat “4-4-2” menjadi formasi baku sebuah kesebelasan, beberapa orang—yang kenyataannya bermain FM—telah mengubahnya sedemikian rupa, menjadi formasi yang dianggap lebih kuat dan strategis baik dalam bertahan maupun menyerang. Kita mengenalnya dengan “4-2-3-1” yang digunakan oleh mayoritas kesebelasan di Piala Dunia 2014 silam.

Penggemar juga bisa merasakan bagaimana perubahan taktik di tengah pertandingan, kadangkala tidak sesuai rencana; bahkan mengubah keadaan menjadi lebih buruk. Penggemar yang bermain FM setidaknya mengetahui beratnya seorang pelatih atau manajer mengelola kesebelasan; terutama kesebelasan kecil.

Saat tengah jaya-jayanya, pemain andalan tidak mau menandatangani kontrak baru. Semusim kemudian, saat kontraknya habis, ia bergabung dengan kesebelasan yang jauh lebih besar.

Belum lagi tekanan dari suporter dan manajemen. Kalah dari kesebelasan rival akan membuat kepercayaan dari suporter berkurang. Selain itu, ancaman pemutusan kontrak juga bisa datang kapan saja.

Sok Tahu Ala FIFA


Eliaquim Mangala di FIFA 14

Dalam obrolan ringan pendukung kesebelasan Eropa, sering terdengar saran soal pemain mana yang harus direkrut dan harus dibuang.

“Coba kalau waktu itu MU beli Christian Eriksen bukan Juan Mata, pasti bagus lini serangnya,”

“Ah, Eriksen gak ada apa-apanya dibanding Hazard!”

“Loh, tapi kan Hazard badannya gak tinggi, kalau duel bola udara pasti kalah,”

“Eriksen mah berat kalau pegang bola, beda sama Hazard, lentur banget rasanya.”

Diskusi seperti itu sebenarnya absurd. Siapa yang tahu kalau saat membawa bola Eriksen lebih berat, dan kaki Hazard lentur? Tentu saja, mereka merujuk pada pemainan Eriksen dan Hazard di FIFA.

Di Football Manager, atribut para pemain memang jauh lebih lengkap jika dibandingkan dengan basis data FIFA. Jumlah pemain pun mencapai puluhan ribu. Namun, FM tidak memberikan kenyamanan dan rasa yang nyata kala bertanding. Sebagai penggemar, terkadang ada rasa gemas saat pemain di FM sulit mencetak gol.

Hal ini diterjemahkan oleh FIFA sebagai game arcade-simulation. Pemain bisa memainkan pemainnya secara langsung dan “merasakan” skill yang mereka miliki.


Statistik yang menakjubkan dari Bojan Krkic. Lihat, empat kali main tujuh gol!

Obrolan soal nilai transfer jauh lebih rumit lagi, karena kata “mahal”, “murah”, “gampang”, dan “susah”, menjadi begitu abstrak untuk dijelaskan.

Seingat penulis, yang paling ramai adalah saat Bojan Krkic digadang-gadang menjadi wonderkid di FM 2008. Ketika itu, Bojan baru saja promosi ke tim utama Barcelona. Ia dianggap akan menjadi tandem yang tepat bagi Messi.

Kala itu, perdebatan pun kembali terjadi. Kali ini terjadi dengan dua rekan penulis. Satu orang memegang Chelsea yang tengah jaya-jayanya, satu lagi pendukung Manchester United. Keduanya sama-sama tengah mencari seorang second striker yang ada dalam diri Bojan.

“Bojan tuh bagus kali ya kalau dipasang di Chelsea?”

“Wah bagus tuh, tapi gak mungkin ah,” kata pendukung MU.

“Loh memangnya kenapa?”

“Saya sudah coba transfer Bojan dari Barcelona, tapi gagal terus. Barca minta dana transfer yang besar, tapi saya tidak punya. Belum lagi dia minta ayahnya juga ditransfer jadi staf pelatih,” sesal si pendukung MU.

“Ah, tenang saja, bro. Chelsea dapat 90 juta pounds tiap musim buat beli pemain. Bojan sama bapaknya doang mah gampang lah.”

“Tetep gak bisa, bro,” saya menyanggah, “Barcelona gak mau lepas pemainnya ke Chelsea. Kalian kan rival.”

Percakapan itu pun diakhiri dengan “O” yang panjang.

Hingga saat ini, proses transfer Bojan di FM 2008 masih menjadi misteri. Ada yang pernah mengalami hal serupa?

Sikap sotoy, alias sok tahu, memang bisa datang dari mana saja. Dalam hal sepakbola, itu bisa datang dari intimitas dengan game-game sepakbola yang menyodorkan data-data dan statistik yang luar biasa. Tak apa. Toh, sotoy bukan dosa. Sotoy, dalam beberapa hal, justru jadi awal mula berpengetahuan. Asal mau mendengar pendapat orang lain, dan bersedia mencari informasi tambahan. Belajar lagi, lagi dan lagi.

Sumber gambar: neoseeker.com

Komentar