Salah Paham Analogi Perang à la Rinus Michels

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Salah Paham Analogi Perang à la Rinus Michels

Rinus Michels dan kejeniusannya dalam penerapan taktik permainan sepakbola telah membuat Negara Belanda lebih mudah terlihat di peta. Dan karenanya, ia pantas dipuja. Hanya saja, Michels tidak sempurna.

Namanya sedikit tercoreng. Bukan karena prestasi terbaiknya di ajang Piala Dunia hanyalah membawa Belanda menduduki peringkat kedua di tahun 1974, namun karena apa yang ia ucapkan banyak disalahartikan (dan disalahgunakan) oleh orang-orang.

Sepakbola, kata Michels, adalah perang. Di situlah letak kesalahannya. Karena Michels tidak pernah benar-benar berkata demikian. Ia sejatinya memandang sepakbola seperti perang. “Seperti” menjadi kata kunci yang penting di sini.

“Sepakbola profesional itu seperti perang. Siapapun yang berlaku terlalu baik akan kalah,” ujar Michels. Namun ucapan tersebut seringkali dikutip menjadi “sepakbola adalah perang.”

Tidak ada yang salah dengan glorifikasi sepakbola. Bill Shankly, manajer legendaris Liverpool, pernah berkata bahwa sepakbola memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang urusan hidup mati. Ia bahkan mengaku kecewa kepada orang-orang yang tidak merasa demikian.

“Beberapa orang percaya bahwa sepakbola adalah urusan hidup mati. Saya sangat kecewa terhadap pandangan tersebut. Dapat saya pastikan kepada Anda bahwa sepakbola itu jauh sangat lebih berarti ketimbang urusan hidup mati.”

Hingga saat ini, ucapan Shankly adalah salah satu yang paling banyak dikutip di dunia. Klise, memang, tapi banyak orang menyukainya. Banyak orang kecuali José Luis Chilavert, eks penjaga gawang Paraguay. Karena memandang sepakbola sebagai hal yang biasa saja, Chilavert tidak merasakan tekanan pertandingan.

“Tekanan? Ini hanya sebuah pertandingan sepakbola. Ketika Anda tidak tahu bagaimana cara memberi makan anak-anak Anda, itu baru tekanan,” ujar Chilavert saat membela negaranya di Piala Dunia 1998.

Pandangan Chilavert mudah diterima karena memang sudah begitu seharusnya. Begitu pula dengan opini Shankly. Tidak ada yang salah dengan glorifikasi sepakbola gaya Shankly. Glorifikasi perang, sementara itu, adalah cerita yang sama sekali berbeda.

Sudah banyak pihak mengangkat ke permukaan kisah menyentuh tentang sepakbola sebagai pembawa kedamaian di daerah konflik. Tentang sepakbola sebagai sumber kebahagiaan di daerah yang luluh lantak karena perang. Sialnya, ada juga kutipan mengenai sepakbola yang disalahgunakan dan pada akhirnya terdengar memuja peperangan.

Padahal tidak ada yang pantas dibanggakan mengenai perang. Perang tidaklah heroik seperti yang ditampilkan dalam film The Expendables. Tidak pula keren seperti yang terlihat dalam film Inglorious Basterds. Urusan menggambarkan perang secara realistis, The Hurt Locker lebih baik ketimbang The Expendables dan Inglorious Basterds.

Perang itu menyakitkan dan mengundang tangis karena menyuguhkan banyak kehilangan. Tidak perlu terjun ke medan perang atau mengunjungi para korbannya bersama Palang Merah, seperti yang dilakukan David Ginola. Membaca puisi berjudul “But You Didn’t” karya Merrill Glass rasanya cukup untuk membuat siapapun mengerti bahwa perang adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada.

Popularitas sepakbola telah membuat olah raga ini, dan segala yang melekat padanya, dipuja. Termasuk juga perang yang mengerikan dan tidak pantas menerima glorifikasi. Sialnya, ada saja yang memanfaatkan sepakbola untuk glorifikasi perang.

Komentar