Panduan Cara Indah Menikmati Hidup Buat (Selain) Kita

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Panduan Cara Indah Menikmati Hidup Buat (Selain) Kita

Mari sejenak kita tengok bagaimana seseorang, ia orang dengan keterampilan sangat istimewa, hidup dengan sepenuhnya menikmati waktu.


Frase "menikmati waktu" sengaja saya pakai. Saya tidak mungkin menggunakan frase "memanfaatkan waktu". Apa yang bisa kau lakukan untuk "memanfaatkan waktu"? Dengan cara berlari saat mengejar kereta pagi yang akan membawamu ke kantor dengan tepat waktu? Bukankah kau sedang menanfaatkan kereta dan bukan memanfaatkan waktu?


Saya juga tak tertarik untuk menggunakan frase "menghabiskan waktu". Memangnya waktu bisa kau habiskan? Bagaimana caranya menghabiskan waktu? Bukankah hidupmu sendiri yang, pada akhirnya, akan habis, dan bukan waktu yang habis.


Karena manusia itu fana, sementara waktu itu abadi. Sebab, seperti kata Chairil Anwar, "hidup hanya menunda kekalahan/ .../ dan tahu ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum akhirnya menyerah."


Kita menghirup udara zaman yang serba bergegas dan kita menjadi satu-satunya spesies yang dengan senang hati untuk selalu bergegas, bersicepat dengan tenggat dan bersitungkin dengan aneka agenda. Di hadapan target dan cita-cita, kita dengan penuh khidmat nan takzim memasang posisi tangan mengapurancang.


Waktu, bagi spesies seperti itu, tak ubahnya sebuah mistar yang dicacah ke dalam ruas-ruas (bernama detik, menit, jam) yang mesti dilewati dengan terukur, sistematis dan terjadwal. Dan dengan waktu yang telah di-mistar-kan itulah orang mengukur pencapaian hidup, menakar apakah usia telah dilalui dengan penuh faedah ataukah tersia-sia.


Tak banyak tempat tersedia bagi hal-hal yang tak berguna. Segala mesti ada faedahnya, semua mesti ada manfaatnya.


Padahal, setiap hari, kita melakukan banyak hal yang tak jelas gunanya: bersiul saat menunggu laptop menyala sepenuhnya, bersenandung pendek saat berjalan dari meja kerja ke kamar kecil, atau mengetukkan jari ke meja secara ritmis saat sebuah laman yang kita klik agak terlambat terbuka.


Hal-hal semacam itu sangat sering dilakukan saat sedang melakukan hal lain yang - biasanya - lebih penting. Sebab jarang kita bersiul hanya untuk merayakan siulan, sebagaimana jarang juga orang mengetukkan jemari secara ritmis ke meja semata karena untuk merayakan jari.


Kasihan sekali hidup ini jika segala hal harus ada faedahnya, semua yang dilakukan mesti ada manfaatnya dan kudu ada nilai gunanya. Hidup tak ubahnya serupa piket seorang suster di rumah sakit atau piket seorang hansip di pos ronda.


Tidak banyak orang yang sudi pergi ke Jakarta dengan keluar di tol Purwakarta lalu masuk tol lagi di Cikampek dan keluar lagi di Cibubur, lalu bergerak menuju Ciawi guna menghisap sebatang kretek dan menyesap segelas kopi di Puncak Pas, untuk kemudian kembali masuk tol dan bergerak masuk kota Jakarta.


Orang macam itu niscaya sukar dipahami kolega-koleganya, juga akan sulit dimengerti oleh bos-bosnya di tempatnya bekerja. Ia boleh saja berdalih bahwa pekerjaan bisa diselesaikan dengan sempurna. Tapi di zaman yang bergegas seperti sekarang, dipahami dan dimengerti itu sama pentingnya dengan hasil. Jika prosesnya begitu sulit ditakar oleh nalar, hasil sebaik apapun akan selalu berada dalam posisi rentan.


Apalagi, dan justru di sinilah soalnya, orang macam itu tak selalu bisa menyodorkan hasil yang sempurna. Ia kadang kedodoran memenuhi tenggat, kepayahan mengikuti jadwal hingga megap-megap dihajar oleh apa yang rutin disebut sebagai kelaziman, kebiasaan, dan kenormalan.


Tipikal manusia macam itu selalu dirindukan, tapi tak selalu diinginkan.


Sebab perempuan juga tahu, laki-laki petualang yang selalu siap diajak melakukan hal-hal iseng yang tak tentu sangat mungkin menjadi kekasih hebat yang penuh kejutan dan karenanya akan mewariskan banyak kenangan, tapi tak cukup aman untuk dijadikan suami. Laki-laki yang eksotis selalu diinginkan sebagai kekasih, tapi belum tentu sebagai suami.


Orang memandangnya penuh kekaguman, tapi kalau untuk menjadi rekan kerja....? Eits, nanti dulu. Orang melihatnya sebagai contoh hidup yang penuh warna, tapi kalau untuk diberi tugas krusial...? Eits, biar yang pasti-pasti sajalah.


Orang macam itu tentu juga tahu bahwa sejumlah hal dalam hidup ini memerlukan kepastian yang presisi - sama sajalah dengan kebanyakan dari kita. Bedanya, sekali lagi, orang macam itu juga tahu caranya bersenang-senang dan bahkan punya prinsip kalau kesenangan sebagai primus inter pares, sebagai kebajikan tertinggi yang dengan itulah hidupnya menjadi lebih berarti.


Jika saat akhir baginya itu sudah mendekat, dengan mudah ia akan berkata: "Saya sangat menikmati hidup hingga ke puncak-puncaknya dan semoga orang-orang juga bisa menikmatinya bersama saya."


Sebab, saya bayangkan kalimat terakhir yang akan ia ucapkan, "Hidup bukan sehimpun deadline yang harus selalu ditaati."


Kita mungkin akan mengiyakan ucapan itu sembari memelesetkan sebuah sajak: "Mengapa harus seseorang begitu setia pada target dan cita-cita, lebih dari kehidupan dan sebagainya, dan sebagainya?"


Setelah mengiyakan dan mengucapkan pertanyaan aneh itu, masing-masing dari kita akan kembali berlalu. Dengan menderu. Dan bergegas. Seperti kemarin dan hari-hari yang lain.


*****


Catatan kaki:


Ganti kata "hidup" yang muncul di semua kalimat dalam tulisan di atas dengan kata "sepakbola". Dengan itulah, mungkin, anda bisa memahami kenapa Riquelme gantung sepatu sebagai hal yang agak sedikit sedih.


Komentar