Mungkinkah Aturan Batasan Perayaan Gol Dibuat?

Berita

by Ammar Mildandaru Pratama

Ammar Mildandaru Pratama

mildandaru@panditfootball.com

Mungkinkah Aturan Batasan Perayaan Gol Dibuat?

Perjalanan hidup Peter Biaksangzuala harus terhenti pada usia 23 tahun, usia yang masih teramat muda bagi pesepakbola untuk memulai karirnya.. Tragisnya ia tewas karena melakukan salah satu puncak kebahagiaan pemain: perayaan gol.

Selasa (14/10) lalu, klubnya, Vengthlang FC tengah menghadapi Chanmari West FC dalam lanjutan Divisi 3 Liga India. Biaksangzuala bermaksud melakukan perayaan gol yang dicetaknya pada menit ke-61 lewat aksi akrobatik.

Namun saltonya tak berjalan mulus, ia jatuh dengan leher tertekuk. Membuatnya mengalami cedera tulang belakang yang parah. Setelah menjalani perawatan, Biaksangzuala akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu lalu (19/10). Sekretaris pengelola liga, Lalnghinglova mengatakan sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan sang pemain. Termasuk berencana menerbangkannya ke New Delhi agar mendapat perawatan lebih baik.

Sepakbola India berduka atas kejadian ini, pihak klub juga memberi penghormatan khusus dengan memensiunkan nomor punggung 21. Tetapi ini jelas belum cukup karena kasus ini, perhatian dunia kembali terarah pada batasan perayaan.



Penelitian yang dimuat di The American Journal of Sports Medicine memperlihatkan sebanyak 6 persen pemain amatir dan profesional yang melakukan perayaah berlebihan, mengalami cedera karena aksinya tersebut. Penelitian yang dilakukan antara tahun 1996-1998 tersebut, mengambil sampel 152 pemain amatir dan profesional.

Perayaan meluncur dengan lutut tertekuk sebanyak 5 kasus, bertumpukan dengan rekan satu tim 3 kasus, dan terjatuh karena berlari ada 1 kasus. Melihat data tersebut, perayaan yang masih tergolong wajar karena kerap dilakukan saja sudah sebanyak itu. Bagaimana dengan aksi akrobatik seperti kejadian Biaksangzuala di atas?

Lomana LuaLua saat masih berseragam Porstmouth, salah satu pemain yang kerap melakukan salto saat merayakan gol pernah mengalami cedera engkel akibat aksinya tersebut. Ternyata ia tak kapok, setelah sembuh LuaLua masih terus merayakan gol dengan cara yang sama.

Louis Nani juga pernah menerima teguran keras dari Alex Ferguson saat melakukan perayaan dengan salto karena dianggap berbahaya. Tetapi sang pemain justru kesal karena menerima kritikan tersebut, menurutnya ia hanya ingin menghibur penonton. Nani memang tak hanya piawai dalam menggocek bola, tetapi ia juga menguasai teknik capoeira, seni bela diri yang memang penuh aksi akrobatik. Membuatnya dengan mudah salto ke belakang dan mendarat dengan hanya satu kaki namun tetap kokoh.

Terkait insiden di atas, FIFA langsung memberi pernyataan dan perhatian serius dalam kasus ini. "Ini adalah tragedi dan kami sangat peduli tentang kejadian ini," kata FIFA dalam sebuah pernyataan kepada Reuters.

Masih menurut FIFA, setiap asosiasi sepakbola nasional dapat mengusulkan perubahan aturan, dan saran ke IFAB (Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional) per 1 Desember nanti atau pertemuan tahunan berikutnya.

Saat ini, Law of The Game telah mengatur batasan perayaan tetapi tidak ada yang menyinggung keselamatan secara spesifik. Kartu kuning harus dikeluarkan wasit apabila pemain melepas jersey, menutup wajah dengan topeng, provokatif, dan memanjat pagar saat merayakan gol.

Sebuah perayaan juga tidak boleh dilakukan secara berlebihan sehingga menghambat jalannya pertandingan. Tak cuma sepakbola, dunia olahraga lain juga semakin peduli terhadap isu keselamatan. Seperti Formula 1 dan MotoGP misalnya, yang memberi berbagai batasan agar tidak terlalu berbahaya. Tetapi hal ini menimbulkan kontroversi karena dianggap mengurangi unsur hiburan.

Kasus yang sama jika memang nanti aturan batasan ini diterapkan di sepakbola. Penonton memang akan terhibur, tetapi pemain harus mempertaruhkan nyawa demi para pemegang tiket yang harganya semakin mahal di tribun.

Komentar