Arsenal si Medioker Harus Mulai Memberi Bukti

Cerita

by redaksi

Arsenal si Medioker Harus Mulai Memberi Bukti

Arsenal jelas bukan klub sembarangan. Walaupun sejak musim 2003/04 mereka belum pernah lagi mengakhiri musim di puncak klasemen, Arsenal tetap dipandang sebagai salah satu klub top. Tak hanya di Inggris, namun juga di Eropa.

Klub yang berbasis di kota London tetap pantas disebut impresif walaupun prestasi mereka dalam sepuluh musim terakhir hanyalah dua gelar juara Piala FA. Arsenal adalah salah satu klub dengan neraca keuangan paling sehat. Mereka selalu berhasil meloloskan diri ke putaran final Liga Champions dalam 17 musim terakhir (hal ini membuat Arsenal ditempatkan di pot 1 setiap kali pengundian grup dilakukan; posisi yang lebih terhormat dibanding para juara liga yang mendapatkan kekuatannya dari para sugar daddy seperti Manchester City dan Paris Saint-Germain).

The Gunners juga dikenal sebagai penghasil para pemain muda berbakat. Pesaing baru untuk Ajax Amsterdam dan FC Barcelona. Hal ini berhubungan langsung dengan jaringan pemandu bakat top yang tersebar di seluruh dunia. Jika Anda bermain menangani Arsenal di permainan simulasi Football Manager, Anda pastinya memahami betapa kayanya database Arsenal.

Pandangan yang menyebutkan Arsenal sebagai klub top, toh, tak selamanya benar. Status tersebut dibantah sendiri oleh chief executive Arsenal, Ivan Gazidis. “Kami tidak berdiri di tempat yang sama dengan klub-klub top dunia,” ujarnya dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Arsenal Media.

“Saya rasa tim-tim terbaik di dunia berada di Eropa dan Anda pastinya memikirkan nama-nama besar dunia seperti Real Madrid, Barcelona, dan Bayern Munich. Saya rasa kami belum berada di tingkatan tersebut. Namun ke sanalah tujuan kami. Mengatakan hal tersebut dan mewujudkannya adalah dua hal yang sangat berbeda.”

Sudah berdiri sejajar atau belum, ada satu hal yang pasti: Arsenal benar-benar telah bertransformasi dari klub tradisional menjadi klub modern. Segalanya dimulai ketika seorang “guru geografi” didatangkan dari Nagoya, Jepang, pada September 1996. Sosok yang dimaksud adalah Arsene Wenger. Wenger adalah seorang revolusioner yang merombak Arsenal di semua bagian.

Segalanya toh tidak diraih tanpa pengorbanan. Highbury yang bersejarah ditinggalkan demi sebuah stadion yang lebih megah. Lebih besar. Lebih modern. Para penggemar pun harus rela terus kecewa. Kepindahan Arsenal ke Emirates Stadium membuat klub menjadi sangat irit. Cenderung pelit, malah. Para pemain bintang dilepas namun tidak digantikan oleh sosok yang sama baiknya.

Bersama dengan memainkan sepakbola indah, memberi kesempatan kepada para pemain muda adalah filosofi klub. Terdengar manis, memang. Tapi pada akhirnya banyak pihak muak juga. Karena filosofi klub dan keengganan dewan direksi menggelontorkan dana segar untuk memboyong pemain bintang membuat Arsenal menjalani puasa gelar yang cukup lama.

Masa-masa itu telah berakhir. Dalam dua musim terakhir, Arsenal mulai berani menghamburkan uang di bursa transfer. Gelar pun mulai berdatangan. Setidaknya, satu trofi Piala FA yang diraih di musim lalu membuat koleksi Arsenal bertambah. Hujatan-hujatan yang dialamatkan kepada Wenger mulai mereda. Ia kembali dipandang sebagai sosok yang jenius dan revolusioner, sama seperti di awal kedatangannya ke Inggris.

Arsenal siap menyongsong era baru. Masa-masa transisi dan pembentukan fondasi sudah selesai. Lagi-lagi, hal tersebut dibantah oleh Gazidis. “Di bawah puncak gunung es bernama pembelian pemain bintang yang sering kita bicarakan itu, sangat banyak hal lain yang terjadi,” katanya. Namun ini bukan sebuah sinyal buruk. Bukan pula pertanda bahwa para penggemar Arsenal harus kembali menjalani masa-masa penuh rasa frustrasi.

Menurut Gazidis, Arsenal masih terus berkembang. Banyak hal yang masih harus mereka perbaiki. “Saya rasa kami memiliki cerita hebat untuk dikisahkan,” ujarnya.

“Di Arsenal kami memiliki para pelatih top untuk para pemain muda. Kami berinvestasi untuk fasilitas luar biasa yang akan memiliki kualitas bagus dan menjadi yang terbaik di dunia, Kami juga memiliki departemen perkembangan atletik yang hebat.”

Kata kunci: akan. Arsenal belum memilikinya, namun mereka sedang di jalan menuju ke sana. Jika kualitas pemain yang dihasilkan tanpa fasilitas top saja sudah bagus, maka hal ini menjanjikan kualitas pemain muda yang lebih baik di masa depan nanti. Sesuatu yang menjanjikan. Sesuatu yang pada akhirnya akan membuat Arsenal kembali rutin meraih gelar.

Namun rasanya harapan tidak boleh begitu saja dipasang terlalu tinggi. Kasus Jack Wilshere dapat dijadikan pelajaran. Di awal kemunculannya, Jack Wilshere dipandang sebagai pemain paling berbakat yang pernah dimiliki oleh Inggris. Kapten tim nasional kala itu, Steven Gerrard, bahkan mengatakan bahwa Wilshere muda sangat bagus sehingga membayangkan Wilshere di puncak permainannya nanti membuat Gerrard merinding.

Ekspektasi terhadap Wilshere begitu tinggi. Pada kenyataannya, kualitas yang ia miliki ternyata begitu-begitu saja. Ia tidak berkembang. Paul Scholes malah nyata-nyata mengatakan bahwa Wilshere yang sekarang tidak lebih baik dari Wilshere lima tahun lalu. Anda boleh tidak sepakat, tapi bandingkan saja dengan perkembangan yang terjadi pada, misalnya, Hazard atau Oscar.

Benar memang, Arsenal memiliki filosofi yang bagus dan potensi yang sangat besar. Neraca keuangan Arsenal sehat sementara klub-klub besar lainnya terjerat utang dan bermasalah dengan aturan Financial Fair Play. Membanggakan.

Tapi pada akhirnya, bukan hal itu yang mampu membuat para penggemar mereka puas. “Tidak ada yang namanya cinta; yang ada hanyalah bukti cinta,” kata penyair Perancis Jean Cocteau. Sebagai orang Perancis, Wenger seharusnya mengetahui hal ini. Wenger (juga dewan direksi Arsenal) seharusnya paham bahwa apa yang diinginkan para pendukung mereka adalah gelar juara yang nyata.

*Semua kutipan Ivan Gazidis diambil dari situs resmi Arsenal.

Komentar