Virus Ebola dan Sepak Bola Afrika

Berita

by redaksi

Virus Ebola dan Sepak Bola Afrika

Alhassane Bangoura meninggalkan tim nasional untuk kembali ke Madrid. Pemain yang lebih akrab disapa Lass tersebut lebih memilih Rayo Vallecano ketimbang tim nasional Guinea. Padahal, La Liga sedang menjalani jeda singkat sedangkan Guinea harus berhadapan dengan Ghana di Kualifikasi Piala Afrika 2015.

Keputusan Bangoura diambil bukan tanpa alasan. Ia memutuskan untuk kembali ke klub karena alasan profesional. Ia hidup dari pekerjaannya sebagai pemain Rayo Vallecano. Beberapa rekannya di Rayo khawatir mengenai penularan virus Ebola. Bangoura tidak ingin kekhawatiran tersebut menjadi masalah antara dirinya dan pihak klub.

Kekhawatiran para pemain Rayo bisa dipahami. Pertama, baru-baru in seorang perawat di Madrid menjadi pengidap virus Ebola pertama di Eropa. Kedua, Guinea memang diketahui sebagai tempat awal penyebaran virus ini. Bangoura dikhawatirkan pulang dalam keadaan terjangkit virus karena ia akan berada dekat dengan para pemain dan staf tim yang berasal dari Guinea selama menjalani tugas kenegaraan.

Sejak bulan Maret, nyaris empat ribu orang sudah menjadi korban Ebola. Mayoritas pengidap virus mematikan ini berasal dari Guinea, Liberia, dan Sierra Leone.

Konfederasi Sepak Bola Afrika telah melarang pelaksanaan pertandingan di negara-negara tersebut. Pertandingan kandang melawan Ghana dijalani oleh Guinea di Maroko. Sementara itu, Sierra Leone akan menjalani pertandingan kandang dan tandang melawan Kamerun di Yaounde, ibu kota Kamerun.

Bangoura mengatakan bahwa sejatinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia cukup yakin bahwa dirinya tidak akan tertular virus. Keyakinan itu berdasar kepada fakta bahwa orang-orang yang sakit tidak mendapatkan izin untuk bergabung dengan tim nasional.

“Orang-orang tidak takut. Penyebaran Ebola terjadi di wilayah yang dekat dengan perbatasan. Di ibu kota situasinya berbeda,” ujarnya sebagaimana diwartakan oleh ESPN.

“Di Maroko saya bersama dengan rekan-rekan satu tim. Kami tidak membicarakan Ebola. Hanya tentang sepak bola dan pertandingan melawan Ghana. Saya tidak khawatir mengenai orang-orang yang datang dari Guinea. Saya hanya berada di sana bersama tim. Jika Anda menderita demam atau sakit lain, Anda tidak akan boleh bergabung dengan tim.”

Bangoura toh tetap memutuskan untuk kembali ke Madrid. Hal ini didasari oleh keinginannya untuk menanamkan rasa tenang di dalam hati para pemain Rayo.

“Agen saya menghubungi saya untuk memberi tahu bahwa sesuatu mengenai Ebola terjadi di Madrid. Saya berbicara dengan pihak manajemen tim nasional yang ingin agar saya bertahan untuk bertanding. Saya diberi tahu bahwa rekan-rekan saya di Rayo merasa khawatir. Saya pulang karena saya tidak ingin memiliki masalah dengan Rayo. Saya kembali agar rekan-rekan saya percaya kepada saya.”

Namun ternyata keputusan tersebut diambil oleh Bangoura tanpa mempertimbangkan tim nasional. Ia mengaku bahwa dirinya tidak tahu apakah para pemain tim nasional Guinea menyetujui keputusan yang ia ambil. Yang ia pikirkan hanyalah Rayo dan keluarganya.

“Saya menerima banyak telepon. Saya tidak tahu apakah para pemain mengerti alasan saya meninggalkan tim nasional untuk kembali kepada klub. Saya merasa sedikit khawatir mengenai keluarga saya di Guinea. Karena saya mungkin diserang karena keputusan ini. Saya harus berbicara dengan mereka untuk mengetahui apa yang terjadi.”

Secara tegas, Luis Yanez selaku direktur jenderal Rayo mengatakan bahwa keputusan Bangoura adalah keputusan pribadi. Pihak klub tidak memintanya untuk meninggalkan tim nasional.

“Rayo tidak meminta Bangoura untuk meninggalkan timnas,” ujar Yanez sebagaimana dikutip oleh The Guardian.

“Permintaan Rayo adalah agar Bangoura langsung menuju Maroko, tidak ke Guinea dahulu. Bangoura menuruti saran klub. Keputusannya untuk pulang ke Spanyol murni atas kemauannya sendiri.”

Berbeda dengan Rayo, Celta Vigo meminta Levy Madinda untuk pulang ke Spanyol. Sang pemain tidak bisa melakukan hal tersebut karena tim nasional Gabon tidak memberinya izin.

“Pihak klub telah menghubungi asosiasi sepak bola Gabon untuk mendiskusikan kemungkinan Levy pulang ke Vigo,” ujar presiden Celta, Carlos Mourino.

“Namun mereka mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan.”

Sepak bola Afrika nampaknya memang ditakdirkan untuk selalu terganggu oleh hal-hal di luar olah raga tersebut. Pada bulan Januari 2010, tim nasional Togo diserang oleh gerakan separatis di Cabinda, Angola. Serangan terjadi begitu bus tim Togo memasuki Cabinda dari Kongo.

Sepuluh orang terkena tembakan dalam serangan ini. Tiga diantaranya, Amelete Abalo (asisten pelatih tim nasional Togo), Stanislas Ocloo (jurnalis Televison Togolaise), dan Mario Adjoua (pengemudi bus) meninggal dunia. Merasa bahwa keamanan mereka akan terancam, Togo menarik keikutsertaan mereka dari Piala Afrika 2010.

Serangan itu sendiri tidak ada hubungannya dengan Togo dan sepak bola. Pelaku serangan adalah Front Pembebasan Enclave Cabinda. Beberapa pihak di Cabinda (yang secara geografis memang terpisah dari Angola) memang menginginkan kemerdekaan.

Komentar