Menolak Lupa Kisah Udin dan Wartawan Sepakbola Yang Dibunuh

Cerita

by redaksi

Menolak Lupa Kisah Udin dan Wartawan Sepakbola Yang Dibunuh

Tepat delapan belas tahun silam, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin wafat di RS Bethseda, Yogyakarta. Kerusakan di bagian otaknya sudah terlalu parah untuk ditangani. Empat hari sebelumnya, atau pada 13 Agustus 1996, dua pria tak dikenal mendatangi rumahnya. Tanpa basa basi, mereka menganiaya Udin dengan batang besi. Semenjak penganiayaan itu, Udin berada dalam kondisi kritis.

Udin adalah wartawan harian Bernas. Dalam tulisannya, ia selalu mengkritisi kebijakan orde baru dan militer. Ia pun mencoba membongkar kasus suap dan korupsi Bupati Bantul Kolonel Artileri Sri Roso Sudarmo. Karena tulisan tersebut, ada pihak yang merasa tersudutkan. Kekerasan menjadi jalan keluar.

Kekerasan terhadap wartawan terjadi di seluruh dunia. Laporan wartawan The Guardian, Declan Hill, menyebutkan Filipina adalah negara terburuk bagi profesi wartawan. Koruptor dapat dengan mudah menyewa pembunuh bayaran seharga 400 ribu rupiah. Hebatnya, hanya sedikit dari mereka yang tertangkap dan mendapatkan hukuman.

Irak, Filipina, Libya, Zambia, dan Russia adalah negara yang ditandai secara khusus. Kebebasan bicara dan mengemukakan pendapat lewat media, adalah hal yang tabu. Apalagi menyerang dan mengusik mereka yang berkuasa, lewat tulisan. Dalam soal dunia sepakbola, banyak juga wartawan olahraga yang harus meregang nyawa berkat keberanian mereka membuka hal yang tabu, diantaranya membongkar kasus pengaturan skor. Declan Hill dalam bukunya berjudul The Fix banyak menceritakan kisah itu, mulai dari kematian yang terjadi di negara China hingga Eropa Timur.

Tak hanya mengungkap kasus mencengangkan, kadang jurnalis yang mengkritisi klub bisa berakhir dengan kematian. Seperti yang terjadi Valerio Luiz de Oliveira adalah wartawan senior sebuah radio di Goiana, Goias, Brasil.

Amerika Latin begitu mudah diasosiasikan dengan gengster yang bertebaran di jalan. Akan sangat mudah bagi seseorang untuk menyewa pembunuh bayaran berharga murah dengan resiko minimal. Brasil bisa disebut sebagai tanah sepakbola. Di setiap sudut jalan, mudah terlihat aktivitas sepakbola.

Pada 2010, klub lokal setempat, Atletico Clube Goiainense melaju ke kasta tertinggi Liga Brasil. Semenjak saat itu pula, Luiz selalu melontarkan kritik pedas terhadap manajemen klub.

Marah dengan komentar tersebut, manajemen klub melarangnya hadir di semua kegiatan klub. Tapi hal ini tidak membuat Luiz diam. Ia masih saja memprotes dan mengkritisi manajemen klub. Ia pun sempat mendapat ancaman akan “dipensiunkan” karena komentarnya tersebut.

Pada 5 Juli 2012, enam peluru bersarang di tubuhnya. Sang pembunuh yang mengenakan sepeda motor, melepaskan tujuh tembakan dari samping mobil yang dikendarai Luiz. Ia pun meninggal di tempat. Diduga kuat pemilik klub yang dekat dengan kartel narkoba terlibat dalam kasus ini. Dalam berbagai tulisannya Luiz mengkritis bahwa klub dijadikan sebagai alat mencuci uang. Dan benar saja, menurut situs Reporter Wihtout Border, polisi telah menetapkan pembunuh Luiz. Ia adalah Mauricio Sampaio, bekas Kepala Manajemen Klub Atletico Goiainense. Banyak pengamat beranggapan Mauricio hanyalah boneka semata, ada sebuah sindikat lebih besar yang merencanakan kematian Luiz. Kematian Luiz merupakan kematian kelima jurnalis Brasil pada tahun 2012.

Baru-baru ini saat laga Argentina kontra Iran, fans Les Albicelsete membentangkan spanduk "Justicia for Nicolas Pachecho" sosok ini dikenal sebagai jurnalis televisi yang sempat membongkar kasus korupsi di klub Argentina, Racing Club dan mendokumentasikannya dalam film pendek. Pacheco ditemukan tewas pada tanggal 24 Januari di kolam renang miliki klub. Sampai saat ini pelaku pembunuhan Pancheco masih berkeliaran bebas.

Pembunuhan terhadap wartawan tidak sebatas pada kasus kriminal. Dalam sepakbola, kematian Luiz dan Pacheco adalah bukti bahwa wartawan adalah sosok menakutkan bagi mereka yang bersalah. Kini, sejumlah wartawan tengah mencoba untuk mengungkap kasus korupsi di FIFA. Bukan tidak mungkin, mereka akan berakhir sama seperti apa yang dialami Udin, Luiz dan Pachecho.

Rezim orde baru telah runtuh. Kini, wartawan bebas melenggang untuk mencari berita. Mereka dilindungi oleh UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Meskipun demikian, masih ada pihak yang belum siap. Padahal, ada hukuman bagi mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan.

Udin adalah simbol wartawan yang berani mengungkap fakta. Di negeri ini, Udin bukan hanya satu. Masih ada Udin-Udin lain yang menjadi korban karena keserakahan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membuat sebuah penghargaan bernama “Udin Awards”. Penghargaan ini diberikan kepada wartawan yang menjadi korban kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistiknya. “Udin Awards” pun diselenggarakan agar menyadarkan semua pihak bahwa masih ada ancaman pada profesi wartawan.

Tepat setelah hari ini, kasus tersebut akan dianggap kadaluarsa. Polisi akan selalu mengenangnya sebagai aksi balas dendam, karena masalah perselingkuhan. Tidak demikian dengan AJI. Mereka secara nyata menganggap Udin adalah korban pembunuhan berencana. Ia dibunuh karena berita dan kami akan terus menolak lupa!

Sumber gambar: antitankproject.wordpress, aredacao.com, independent.de,

[fva]

Komentar