Kalah Di Final Bukti Gagalnya Pembinaan Sepakbola Argentina

Cerita

by redaksi

Kalah Di Final Bukti Gagalnya Pembinaan Sepakbola Argentina

Jerman adalah salah satu kontestan Piala Dunia dengan skuat yang berisi pemain dari liga lokal. Terdapat 16 pemain yang berlaga di Bundesliga dan dipanggil sang arsitek, Joachim Loew. Sisanya, tiga pemain Arsenal, satu pemain Chelsea, satu Lazio, dan satu Sampdoria.

Hal ini berbanding terbalik dengan Argentina. Alejandro Sabela hanya menyertakan tiga pemain yang berasal dari Liga Argentina. Dua diantaranya, Maxi Rodriguez dan Fernando Gago, yang sepulangnya dari Eropa, ingin menghabiskan karir di kampung halaman.

Ini menyisakan pertanyaan bagi pembinaan sepakbola Argentina. Terlebih, skuat Argentina masih didominasi muka-muka lama dan telah termakan usia. Bayangkan saja, nama-nama seperti Hugo Campagnaro, Martin Demichelis, Maxi Rodriguez, hingga Rodrigo Palacio, masih saja mengisi 23 list nama yang dibawa Sabella ke Brasil.

Padahal, klub-klub asal Argentina jauh lebih berprestasi di Amerika Selatan dengan menjuarai Copa Libertadores sebanyak 22 kali. Independiente, misalnya. Klub asal ibukota Argentina itu, sejauh ini, tercatat sebagai pengumpul trofi Copa Libertadores terbanyak, dengan tujuh kali. Lalu dibayangi Boca Juniors, dengan enam kali juara. Rasa-rasanya, jika melihat hal ini, tak sulit bagi pelatih Albiceleste untuk mencari bakat-bakat muda di negeri Tango.

Selain itu, pada dua edisi Olimpiade terakhir, Argentina, berhasil menyabet medali emas.  Yaitu, di Olimpiade Athena 2004, dan Olimpiade Beijing 2008. Aturan pada cabang olahraga Sepakbola di Olimpiade adalah skuat harus di bawah 23 tahun, dengan maksimal tiga pemain senior yang boleh tampil.

Dari skuat juara Olimpiade 2008 tersebut, delapan di antaranya menjadi kerangka timnas Argentina untuk saat ini. Mereka adalah Javier Mascherano, Fernando Gago, Pablo Zabaleta, Ezequiel Garay, Angel Di Maria, Ezequiel Lavezzi, Sergio Aguero, dan Lionel Messi.

Banyak yang menganggap Messi akan menjadi “The Next Maradona”. Nyatanya, ia tak sekalipun memberi trofi Piala Dunia bagi Argentina. Di timnas, performanya pun dianggap tak sebaik kala ia bermain di klubnya, Barcelona.

Ada sejumlah alasan yang mungkin mendasari mengapa Messi kurang berkembang di timnas. Pertama, ia tak bisa menyelaraskan kultur sepakbola Barcelonanya ke dalam skuat. Kedua, rekan setimnya tak memiliki kualitas sebaik pemain-pemain Barca yang selalu menyokong penampilan apik La Pulga.

Penampilan Mascherano semalam memang tidak buruk. Ia berhasil menunaikan tugas sebagai gelandang bertahan, memutus serangan dan juga menjaga kedalaman saat bertahan. Hal inilah yang membuat gelandang-gelandang Der Panzer selalu kesulitan menembus sepertiga akhir lapangan lawan.

Tapi lihat juga tandem Messi di lini penyerangan. Baik Palacio maupun Higuain ternyata tak mampu mendampingi Messi. Membantu membuka ruang bagi La Pulga saja, tidak.

Argentina kini seolah lupa jika mereka pernah melahirkan sejumlah pemain dengan visi cemerlang. Maradona memang menjadi pemaing yang lebih sering disorot, tapi jangan lupakan juga Jorge Valdano, Burruchaga, dan Ruggeri yang turut menjadi faktor keberhasilan Argentina di Piala Dunia 1986. Kecuali Valdano, dua pemain yang disebutkan terakhir masih berusia 23 dan 24 tahun kala itu.

Coba perhatikan di pertandingan semalam. Argentina tidak bermain seperti tim yang layak menjadi juara dunia. Mereka tak menampilkan kegagahan seperti yang dilakukan Jerman kala membantai Brasil 7-1. Jika demikian, kekalahan atas Jerman, semalam, bisa menjadi sebuah hal yang lumrah.

Bagaimana bisa tim yang akan jadi juara dunia, tapi tidak menang di 120 menit waktu normal kala menjalani babak semifinal? Bagaimana bisa striker juara dunia menyia-nyiakan peluang ketika berhadapan 1 lawan 1 dengan kiper? Dan bagaimana bisa lini pertahanan juara dunia begitu terbuka sehingga bisa dimanfaatkan tim lawan untuk menjadi gol?

Ada yang salah dengan Argentina. Mereka terlalu menaruh banyak harapan di pundak Messi, yang telah terlalu berat dengan berbagai masalah pajak di Spanyol. Tapi, ketika Messi membawa bola, semua tertegun,  membiarkan si no. 10 membawa bola dan tak ada yang membantunya membuat peluang.

Argentina butuh pemain yang dibesarkan lewat liga yang mereka buat sendiri. Sehingga ketika bertanding, ada chemistry yang terjalin antar pemain. Dengan begitu, para pemain membawa kultur Argentina yang pekat, bukan kultur Barcelona, bukan kultur Napoli, apalagi Inter Milan.

Sumber gambar: latinpost.com

[fva]

Komentar