Menuju Keabadian

Editorial

by redaksi

Menuju Keabadian

Ada lelucon menarik tentang Lionel Messi dan Che Guevara: lahir di kota yang sama, lalu meninggalkan tempat kelahiran di masa kecil, menderita penyakit sejak kecil, sama-sama merantau ke luar negeri, dan sama-sama tak berguna di dalam negeri.

Dua manusia yang selisih usianya 51 tahun ini memang dilahirkan di kota yang sama: Rosario. Kota yang padat dan sarat gedung-gedung dengan kekayaan arsitektural yang bersejarah ini merupakan ibukota provinsi Santa Fe. Rosario berada di barat laut ibukota Argentina, Buenos Aires, jarak antara dua kota itu sekitar 300 km.

Keduanya juga tidak lama menetap di Rosario. Che yang dilahirkan pada 14 Juni 1928 hijrah bersama keluarganya ke Alta Gracia yang berada di wilayah provinsi Cordoba saat baru berusia 4 tahun. Sementara Messi yang dilahirkan pada 24 Juni 1987 tinggal lebih lama di Rosario dibandingkan Che. Messi baru meninggalkan Rosario setelah didiagnosis menderita penyakit kekurangan hormon pertumbuhan yang membuat posturnya sukar berkembang saat berusia 11 tahun. Bersama orang tuanya, Messi hijrah ke Barcelona yang menyanggupi membiayai pengobatan dan terapi yang dibutuhkan.

Jika penyakit kekurangan hormon membuat Messi meninggalkan Rosario dan Argentina, maka penyakit asma yang diderita Che membuatnya tertarik pada bidang kedokteran dan akhirnya mengambil studi kedokteran di bangku kuliah. Ketertarikannya pada dunia membuat Che muda memutuskan melakukan perjalanan legendaris mengelilingi Amerika Latin. Dalam dua seri perjalanan mengelilingi Amerika Latin itulah Che menjumpai banyak realitas sosial yang pahit. Selepas lulus studi kedokteran, Che memutuskan untuk bekerja di Guatemala dan di sanalah awal karir revolusionernya dimulai.

Sejak itu, sebagaimana Messi, lelaki yang kini dijuluki el-comandante itu menghabiskan nyaris seluruh sisa hidupnya di luar negeri. Bukan untuk bekerja sebagai dokter atau sekadar bertualang, melainkan menjadi gerilyawan-penuh-waktu yang membantu perjuangan para revolusioner di berbagai negara untuk menumbangkan rezim-rezim militer nan diktator. Karya momumental Che sebagai gerilyawan tentu saja adalah ikut membantu Fidel Castro, dkk., menumbangkan rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Fulgencio Batista.

Ini pula yang terjadi dengan Lionel Messi. Bermain untuk Barcelona berarti ikut membela panji-panji Catalan, bangsa yang seringkali dianggap atau menganggap dirinya sebagai korban penindasan Spanyol, khususnya rezim fasis Jenderal Franco. Bagi bangsa Catalan, FC Barcelona bukan sekadar klub sepakbola, melainkan representasi identitas suatu bangsa yang tertindas dan ditindas. Inilah yang melatarbelakangi klaim bangsa Catalan kalau Barcelona adalah mas que un club (bukan sekadar klub sepakbola). Bukan sekali dua pula di Nou Camp, kandang Barcelona, terbentang spanduk bertuliskan ?Catalonia is Not Spain?.

Begitu Messi muncul berseragam Barcelona, dengan cepat tim ini mengambilalih dominasi Real Madrid (klub yang selalu mereka identifikasi sebagai â?pusat yang menindas?). Sejak kemunculan Messi di tim utama Barcelona pada 2004, tercatat Barcelona sudah meraih 6 gelar juara La Liga dan 3 gelar juara Liga Champions.

Dalam istilah lain: Messi berhasil membantu bangsa Catalonia ??"memerdekakan"? diri dari pusat yang menindas, sebagaimana Che membantu Castro, dkk., membebaskan rakyat Kuba dari penindasan rezim Fulgencio Batista.

Hanya saja, kembali ke lelucon yang saya singgung di paragraf pembuka, Che dan Messi "??diledek"? tidak pernah memberikan kontribusi yang berarti bagi tanah airnya. Sampai wafatnya di Bolivia pada 1967, dalam perjuangan gerilya membantu kelompok revolusioner, Che nyaris tak berkiprah di Argentina.

Begitu juga Messi: dia dianggap belum memberikan sesuatu yang berharga bagi Argentina. Sesuatu yang berharga bagi sepakbola Argentina tentu bukan trofi di level junior seperti emas Olimpiade 2008 atau juara dunia U-20 pada 2005, melainkan sesuatu yang setara dengan sejarah hebat sepakbola Argentina: trofi Piala Dunia. Bahkan mempersembahkan trofi Copa America sekali pun Messi belum sanggup. Dalam dua gelaran Piala Dunia yang pernah diikuti Messi, 2006 dan 2010, alih-alih membawa Argentina juara, Messi benar-benar redup dan bahkan hanya bisa mencetak 1 gol.

Banyak yang menganggap Messi tidak pernah bermain optimal untuk negaranya dibandingkan saat memperkuat timnas Catalonia?. Apa yang sudah diberikan dan didapatkan Messi selama di Barcelona dianggap tak sebanding dengan kontribusinya untuk Argentina. Ada semacam rasa cemburu: kenapa di Barcelona dia begitu getol mempersembahkan trofi sementara untuk negaranya sendiri tidak?

Dan di hadapan perkara untuk memberi trofi besar bagi tanah airnya, tidak bisa tidak Messi akan selalu dibandingkan dengan pendahulunya: Diego Armando Maradona.

Selamanya Maradona akan dikenang dan menjadi pahlawan Argentina bukan semata karena skill dan kemampuannya melainkan karena hal sederhana yang terasa begitu sulit diraih Messi selama ini: memimpin dan membawa Argentina menjadi juara dunia.

Sudah menjadi legenda sekaligus cerita rakyat di Argentina bagaimana Maradona nyaris sendirian memberikan gelar juara dunia 1986. Maradona memberikan segala yang dia punya, baik dengan cara yang amat indah (seperti gol solo-run ke gawang Inggris di perempatfinal 1986 atau umpan luar biasa mengejutkan yang mengawali gol Burruchaga yang jadi penentu kemenangan di final 1986 vs Jerman Barat) maupun yang cara begitu licik (mencetak gol dengan tangan ke gawang Inggris).

Sepanjang gelaran Piala Dunia 1986 itu, Argentina melalui 7 pertandingan. Maradona bermain di semua pertandingan, menjadi pemain yang paling banyak dilanggar oleh lawan, menjadi pemain yang paling banyak berhasil melewati lawan. Sepanjang turnamen itu, Maradona mencetak 5 gol 5 asist. Semua kombinasi itu membuat Maradona bukan hanya menjadi pemain terbaik di Piala Dunia 1986, tapi juga sering diakui sebagai pemain yang nyaris sendirian menjuarai Piala Dunia (mungkin bisa dibandingkan dengan Garrincha di Piala Dunia 1962).

Itulah yang membuat Maradona, sebesar apa pun dia membuat ulah dan kontroversi, akan selalu dikenang dalam memori kolektif bangsa Argentina.

Tidak ada yang meragukan kualitas Messi, beberapa kalangan bahkan menganggap skill Messi lebih baik dari Maradona. Tapi tanpa trofi Piala Dunia, Messi akan selalu di bawah bayang-bayang Maradona. Bukan dalam soal skill dan kemampuan mengolah si kulit bundar, tapi dalam soal posisinya di memori kolektif bangsa Argentina.

Messi selangkah lagi bisa sejajar dengan Maradona. Jika dia berhasil membawa Argentina mengalahkan Jerman di final Piala Dunia 2014, Messi bisa merasuk ke dalam memori kolektif bangsanya sebagai pemain kedua Argentina yang nyaris sendirian membawa trofi Piala Dunia.

Dari 6 laga yang sudah dilalui Argentina, mereka baru mencetak 7 gol (di waktu normal). Messi sendiri mencetak separoh lebih dari semua gol Argentina itu. Tercatat, dia sudah mencetak 4 gol dan 1 asist. Semua gol Messi itu menjadi penentu kemenangan Argentina (3 laga di babak grup dan 1 laga vs Swiss di perdelapanfinal). Siapa pun yang mengikuti laga-laga Argentina tahu, tanpa Messi tim berjuluk Abeceleste ini bahkan tak akan bisa mengalahkan tim ecek-ecek? Iran.

Semua itu hanya bisa disempurnakan jika Argentina mengalahkan Jerman di final. Jika itu terjadi, Messi akan menjadi abadi dalam memori bangsa Argentina dan dengan itu pula dia menemani Maradona di keabadian.

Tayang di rubrik bola kultura Jawa Pos, 13 juli 2014


Komentar