Perang Antar Parpol ala Sepakbola Lebanon dan Indonesia

Cerita

by redaksi

Perang Antar Parpol ala Sepakbola Lebanon dan Indonesia

Sikap keceletot PSSI yang baru-baru ini seolah mendukung salah satu calon Presiden, lewat dukungan total para pengurusnya secara terbuka yang diekspresikan lewat akun twitter resmi federasi, mengingatkan saya akan percaturan sepakbola Lebanon.

Sepakbola dicampuri urusan partai politik saja bisa bikin rusak, apalagi ditambah dengan turut campurnya sekte keagamaan. Maka yang terjadi adalah liga sepakbola penuh dendam, kebencian dan akhirnya meledak jadi konflik sektarian yang berdarah-darah.

Anda bayangkan saya jika Persib Bandung memproklamirkan diri sebagai bagian dari Partai Demokrat, Arema Malang terang-terangan mendukung Golkar, Persebaya berafiliasi dengan NU, PSIM menyokong Muhammadiyah, Persija didukung kelompok Syiah dan Sriwijaya didanai oleh Ahmadiyah.

Semacam itulah yang sedang terjadi di sepakbola Lebanon. Ada klub yang berafiliasi dengan Kristen Maronit, ada yang akarnya Kristen Maronit, ada yang berafiliasi dengan Islam Syiah, ada yang dimiliki oleh kelompok Islam Sunni, bahkan ada juga klub yang afiliasinya ke aliran keagamaan Druze yang memang banyak berkembang di Lebanon  dan Suriah.

Maka di setiap pekan, kompetisi sepakbola Lebanon selalu saja mementaskan laga-laga panas. Entah Kristen Maronit vs Ortodoks, Syiah vs Sunni, Kristen vs Islam, dll. Selalu panas dan penuh adegan keras.

James Montaque, penulis buku Football in War Zone, menyebut sepakbola Lebanon sebagai “perang saudara mini di liga sepakbola setiap akhir pekan”.

Perang Ideologi dan Politik di Lapangan Hijau.

Kebanyakan klub di Lebanon memiliki afiliasi sektarian dengan tiga komunitas agama terbesar yaitu Sunni, Syiah  dan Kristen Maronit. Selain itu, ada juga Kristen Ortodoks, Druze dan Apostolik Armenia.

Danyel Reiche, asisten profesor American University of Beirut di Lebanon, pernah membuat tipologi klub-klub sepakbola Lebanon berdasar afiliasi politik dan sektariannya. Lihat di bawah ini:

Capture

Dapat dilihat dari tabel di atas bagaimana pandangan politis di Lebanon terpecah menjadi beberapa kubu.  AL Ahly Sidon, Nejmeh FC dan Al Ansar, ketiga klub yang memiliki basis massa Sunni, dikontrol oleh Saad Hariri, anak mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri yang tewas dibom Hizbullah tahun 2005 lalu. Ketiga klub itu mendapatkan dukungan langsung maupun tidak langsung melalui sponsorship dari perusahaan milik keluarga Saad, macam Future TV, BankMed, dll.

Awalnya Hariri berkelana ke dunia olahraga murni berbisnis, tapi klub sepakbola berubah menjadi kendaraan politik guna mengkonsolidasikan dukungan muslim Sunni kepada dirinya.  “Jika dia mengeluarkan uang untuk klub Sunni, karena baginya semua suara Sunni itu penting untuk memenangkan pemilu," ucap Emile Rustom, mantan pelatih timnas Lebanon.

Najmeh FC awalnya adalah klub Syiah, tapi pada 2003 dibelli oleh Saad dan sontak berubah haluan menjadi Sunni. Ini membuat para penggemar Syiah mengalihkan dukungannya kepada Al Ahed yang di tahun 2005 diambilalih kelompok Hizbullah. Aroma Hizbullah di Al Ahed amatlah kental terasa, mulai dari identitas tim yang berwarna kuning sama seperti warna partai, hingga keberadaan pimpinan partai yang duduk di dalam manajemen tim,

Foto-foto Hassan Nasrallah [pemimpin Hizbullah] dan Ayatollah Ruhollah Khomeini pemimpin Revolusi Islam Iran kerap terpajang di Stadion. Nama-nama mereka kerap dieluk-elukan di stadion oleh supporter. “Allah, Nasrallah, and The Dahieh [Dahieh adalah wilayah pusat berkumpulnya simpatisan Hizbullah di Beirut]” itulah chant-chant supporter Al Ahed.  Sama seperti Hariri, Hizbullah pun mensponsori klub melalui banyak perusahaan partai di antaranya adalah televisi nasional Al-Manar.

Terbunuhnya mantan Perdana Menteri Raifq Hariri mengubah iklim politik Lebanon. Mau tak mau mempersempit keberpihakan sekte-sekte hanya kepada dua kubu: aliansi 8 Maret atau Aliansi 14 Maret.

Aliansi 14 maret dipimpin oleh orang-orang terdekat Hariri yang jelas adalah Sunni. Mereka mampu menggaet kalangan non muslim karena sikap mereka yang Pro-Amerika dan Pro-Arab Saudi.

Lain hal dengan aliansi 8 Maret yang didominasi kalangan Syiah serta mendapat dukungan dari Rusia, Suriah dan Iran. Cap islam ekstrimis sering ditujukan pada kelompok ini, seperti yang diterima Hizbullah baru-baru ini, setelah Amerika kini Uni Eropa pun mengecap mereka sebagai organisasi teroris.

Terpecahnya klub-klub ke dalam kubu-kubu itu sering memunculkan rumor bahwa pengaturan skor sering terjadi di Lebanon. Sering ada rumor bahwa klub saling mendukung satu sama lain untuk membantu tim yang sesuai dengan blok mereka misalnya memberikan kemenangan secara cuma-cuma untuk meloloskan rekan sesama blok menjadi juara, lolos ke kompetisi internasional ataupun menghindari degradasi. Terbongkarnya kasus pengaturan skor oleh FIFA d bulan Juni lalu menjadi bukti bahwa rumor itu terbukti benar kenyataanya.

Bagaimana Parpol bisa mengakuisisi klub?

"Politik datang ke sepak bola dan menghancurkannya," kata Rahif Alameh, mantan sekretaris jenderal Asosiasi Sepakbola Lebanon.  “Sepakbola kini telah menjadi alat perpanjangan politik. Semuanya di Lebanon dipolitisasi, udara yang kita hirup dipolitisasi," ujarnya dengan sedih.Politisasi sepakbola yang terlalu vulgar dan berlebihan membuat situasi yang buruk untuk kohesi antara sepak bola dan kehidupan sosial.

Kenapa kekuatan partai politik begitu menggurita di sepakbola Lebanon? Jawabnya mudah: uang.

Semua berawal dari kematian Rafiq Hariri dan perang Hizbullah-Israel 2006 silam. Pasca dua kejadian itu,  pemerintah melarang fans menghadiri pertandingan karena takut pertandingan memicu sebuah perang saudara yang sebenarnya. Di masa lalu, perbedaan pendapat antara fans yang silih bersaing akibat perbedaan ideologi politik atau agama amatlah biasa berujung perkelahian yang kadang berujung baku tembak.

Fans Nejmeh tak akan pernah melupakan insiden 13 Juni 2007, saat pendukung Hizbullah melakukan aksi bom mobil yang menewaskan politisi anti-Suriah Walid Edo serta dua pemain inti Nejmeh FC, Hussein Naeem  dan Hussein Dokmak, di depan Al Manara Stadium.

Aksi ini kemudian dibalas dengan aksi yang serupa, saat penggemar Al Ansar yang sama-sama dimiliki keluarga Hariri menyerang pemain Al Ahed sepulang laga di Beirut Municipal Stadium. Sebelum menyerang mereka menyanyikan yel-yel anti Hizbullah dan penghinaan terhadap Hassan Nasrullah. Beruntung berkat kecekatan supir bus tim, tim Al Ahed berhasil lolos dari kerumunan masa. Hanya saja, tiga wartawan televisi Al-Manar yang dimiliki Hizbullah, saat itu menjadi korban penembakan supporter.

Kekerasan dan larangan fans menghadiri pertandingan menjadikan pemasukan satu-satunya klub hanya bergantung 98 % pada sponsorship yang dimiliki afiliasi patron politik mereka,  hal ini diakui oleh Johad Shahf mantan pengurus Asosiasi Sepakbola Lebanon (LFA). ”Kondisi ini memungkinkan partai-partai politik yang membiayai mereka untuk campur tangan lebih aktif dalam klub,” ucapnya kepada The Guardian.

Ada pertanyaan menarik, mengapa klub-klub di Lebanon tak bisa mendapatkan sponsor yang secara netral tak berkaitan dengan politik? Jawabannya adalah karena karakter sektarian masyarakat Lebanon itu sendiri. Di Lebanon mensponsori sepakbola adalah sesuatu yang beresiko dan tak menguntungkan.

Coca Cola pernah mencoba berinvenstasi di sana. Untuk menghindari konflik, bagaimana caranya akhirnya Coca Cola diwajibkan mensponsori secara sekaligus tiga tim sepakbola yang berbeda Sunni, Syiah dan Kristen guna menghindari anggapan memihak kepada salah satu kubu.

Masuknya politik ke dalam sepakbola mau tak mau membuat klub takluk dan patuh pada pemilik yang notabene ada orang-orang politik. Penamaan stadion seperti Rafiq Hariri Stadium [markas Nejmeh FC], warna klub yang sama dengan warna partai seperti Al Ahed atau poster pemimpin partai di stadion-stadion mewarnai dunia sepabola Lebanon.

 Gelar “Juara” Hizbullah di Medan Laga Sepakbola.

Apa yang dilakukan Hitler di Olimpiade 1936 dan “El Duce” Mussolini di Piala Dunia 1934  ditiru oleh Hizbullah di Lebanon. Adagium sejarah hanya mencatat para pemenang betul-betul diaplikasikan dan direalisasikan oleh mereka. Semenjak diakuisisi oleh Hizbullah, untuk pertama kalinya Al Ahed menjuarai Liga Premier Lebanon di tahun 2007. Prestasi itu sekaligus menghentikan dominasi klub Sunni dan Kristen yang selalu mendominasi urusan gelar.

Pasca perang dengan Israel tahun 2006, Hizbullah memang ingin tetap eksis menunjukan eksistensi kekuatan politik bahwa mereka masih ada. Dan pembuktian itu diaplikasikan melalui dunia sepakbola.

“Gelar ini akan membantu citra Hizbullah seraya menegaskan bahwa gerakan Hizbullah tak hanya soal menenteng senjata dan perlawanan terhadap Israel," ucap seorang jurnalis di TV Al Manar, mengomentari gelar perdana Al Ahed, seperti dikutip Ferry Biedermann dalam tulisannya di Financial Times.

Banyak komentar-komentar negatif ditujukan kepada Hizbullah yang diduga mengatur gelar juara. “Ahed dan Hizbullah berambisi penuh ingin menjadi juara, jika perlu memakai kekerasan seperti yang dilakukan Hitler pada Olimpiade 1936. Mengapa mereka berambisi menjadi juara? Mereka ingin diperhatikan oleh Hassan Nasrallah dan merealisasikan ucapannya yang berucap bahwa kemenangan Al Ahed adalah kemenangan Hizbullah,” kata Bilal Arekj, anggota dewan klub Nejmeh FC.

Pasca membeli Al Ahed, Hizbullah memang memberikan segalanya mulai dari fasilitas latihan yang sangat lengkap hingga pelatih asing yang berkualitas. Semenjak diambil alih Hizbullah tahun 2005, dalam waktu kurun 8 tahun, Al Ahed mampu meraih 18 gelar termasuk juara berturut-turut Liga Premier Lebanon musim 2009-10 dan 2010-11.

Pelajaran untuk Indonesia?

Ketua PSSI Djohar Arifin belum lama ini berujar bahwa dirinya akan mendatangkan investor dari Lebanon untuk mengembangkan sepakbola nasional. Hanya saja Djohar belum mau berujar rincian kerja sama tersebut seperti apa.

Lebanon memang telah berubah. Larangan tanpa penonton di liga kini telah dicabut 2012 silam, sponsor-sponsor pun mulai sedikit berdatangan. Hanya saja penyakit dominasi partai politik di klub sulit dipisahkan, kendati ranking di FIFA sudah membaik dari peringkat 150 kini naik ke 128.

Pelajaran dari Lebanon adalah sekilas pola kerja politisasi sepakbola di Lebanon adalah cerminan sepakbola di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Apa yang dipaparkan diatas sebenarnya cerminan dari sepakbola di sini, dari gelar juara yang diatur, pemilik klub yang adalah pemimpin partai politik, pengerahan massa suporter saat kampanye, atau federasi yang diisi kader partai yang homogen dan segala tetek bengek lainnya. Mirip persis bukan? Hanya saja Lebanon adalah versi vulgarnya dan Indonesia versi malu-malunya.

Lantas ketika federasi boleh dikata memihak salah seorang calon saat pemilihan presiden karena kader partai itu mendominasi federasi, ya hal itu pun pernah terjadi di Lebanon. Bedanya saat berkaitan dengan tim nasional, para pengurus federasi dan politisi di Lebanon paham dan tahu apa yang harus mereka kerjakan.

Kendati klub-klub porak poranda akibat politisasi, hal itu tak terlalu berimbas pada prestasi tim nasional. “We Are One Nation” tagline yang sering ditegaskan partai-partai di Lebanon saat timnas sedang berlaga, alhasil rangking Lebanon pun k Pelatih bebas memanggil siapapun pemain yang layak dipanggil tak peduli itu dari agama apa, sekte apa ataupun partai apa. Di kita sentimen-sentimen itu masih terus tumbuh subur.

Maklumlah, pengurus PSSI dan politisi di negeri ini yang jika berbicara soal timnas, selalu bermimpi besar dan mengawang-ngawang terbang ke angkasa, hingga lupa membumi dan merealisasikan ucapannya menjadi kenyataan. Ya seperti yang digembor-gemborkan dalam kampanye-kampanye mereka baru-baru ini.

*Ditulis oleh @aqfiazfan untuk membahas sepakbola yang kini mulai diseret-seret oleh PSSI ke ranah Pemilihan Presiden.

Komentar