Suarez dan Pembalasan Dendam nan Elegan

Piala Dunia

by redaksi

Suarez dan Pembalasan Dendam nan Elegan

Malam tadi, adalah malam pembalasan dendam. Dimana dendam Luis Suarez yang sudah membuncah, sampai diubun-ubun kepala, dapat dibalaskan. Dibalaskan dengan sangat elegan.

Luis Alberto Suarez Diaz adalah pemain berbakat, tak ada yang menyangkal hal itu. Tapi, Suarez juga tempramental. Ia pernah menghina fullback Manchester United, Patrice Evra, dengan sebutan “Negrito”. Atas tindakan rasialisnya itu Suarez pun mendapatkan hukuman larangan bermain sebanyak delapan kali dan juga denda sebesar 40 ribu poundsterling.

Tak hanya itu, Suarez pernah juga mendapat sanksi 10 kali larangan tampil.  Lantaran dengan sengaja menggit lengan bek Chelsea, Branislav Ivanovic, pada 21 April 2013. Praktis, dengan hukuman itu, El Pistolero tak bisa bermain di sisa kompetisi Liga Inggris 2012/2013, dan juga lima laga awal Liverpool pada musim kompetisi 2013/2014.

Semua orang tentu ingat hal itu. Semua orang ingat betapa tebang pilihnya FA dalam memberikan hukuman. Bagaimana bisa sanksi menggigit pemain lawan lebih berat ketimbang sanksi tindakan rasis? Bagaimana bisa Suarez mendapat hukuman lebih berat jika dibanding John Terry? Mengingat, kapten Chelsea itu hanya dihukum empat kali larangan bermain setelah melakukan tindakan rasis terhadap Anton Ferdinand di tahun 2012.

Namun apa mau dikata. FA memang sengaja “melumpuhkan” Suarez, dan juga Liverpool tentunya. Saat Suarez dalam top peforma, mengingat saat itu Suarez sedang berlomba dengan Robinvan Persie untuk menjadi top skor Premier League,  FA memberikan larangan bermain, dan ia gagal menjadi top skor. Saat media Inggris kekurangan berita bombastis, FA memberi asupan berita tentang kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan Suarez. Padahal, sebelumnya, FA tak pernah seheboh itu menanggapi kasus rasisme. Kasus rasisme John Terry saja menguap entah kemana.

“Memalukan. Bagaimana bisa hukuman menggigit pemain lawan lebih berat daripada hukuman rasisme. Ini adalah bukti inkonsistensi FA. Sangat membingungkan,” kata pemain Reading, Jason Roberts, menanggapi keputusan larangan 10 kali bermain yang diberikan FA kepada Luis Suarez.

Apa yang dilontarkan Roberts itu bukannya tanpa alasan. Menurutnya, FA masih kurang konsisten dalam memerangi rasisme yang ada di Liga Inggris. Hal itulah yang membuat Roberts, pada November 2012, enggan mengenakan kaos kampanye anti-rasisme, meski dirinya berkulit hitam dan kerap menjadi korban perlakuan rasis.

***

Suarez memang hebat. Bukan karena gol-golnya dan juga triknya saat melewati lawan, tetapi lebih-lebih dalam ketahanan mentalnya.  Saat Suarez coba “dilumpukan” oleh FA, ia bisa bangkit dengan cepat. Perang psikis dengan publik sepakbola yang mencemoohnya dihadapinya dengan tenang.

Alih-alih melarikan diri, Suarez malah memilih untuk tetap tinggal di Liverpool dan membalasnya dengan prestasi. Pada akhir musim lalu, ia berhasil menyabet gelar pemain terbaik Premier League dan juga Pemain terbaik versi Profesional Football Association (PFA). Selain itu, meski ia tak bermain di lima laga awal, ia juga berhasil menjadi pencetak gol terbanyak Liga Inggris, dengan 31 golnya. Gelar yang musim sebelumnya gagal direngkuh lantaran Luis “dilumpuhkan” FA.

Tapi di manakah letak kehebatan Suarez yang sebenarnya? Selain di kakinya, ada dua bagian tubuh lainnya yang membuat Suarez begitu gilang gemilang musim ini. Pertama, adalah jari manisnya, tepat dimana cincin perkawinanya, dengan Sofia Balbi, selalu melingkar saat dirinya tak melakoni laga. Yang kedua adalah di lengan kanannya, tepat dimana nama anak pertamanya, Delfina, terpatri dengan jelas di atas kulitnya. Dua bagian tubuh yang memang selalu ia kecup selepas mencetak gol.

Ya, prestasi yang direngkuh El Pistolero selama ini memang tak terlepas dari peran Sofia dan Delfina. Saat Suarez dihujat massa, Sofia mendampinginya dengan penuh perhatian. Sofia-lah yang berhasil membuat Suarez tak punya interest selain bermain bola. Perempuan yang membuat Suarez tetap fokus untuk berlatih dan bermain bola, mengacuhkan semua perkataan orang tentang dirinya.

Dan, semalam (20/6), manakala kekesalan Suarez itu sudah membuncah, ia berhasil menumpahkan segala kekesalannya itu. Ia berhasil mencetak sepasang gol. Sepasang gol yang merupakan akumulasi kekesalan Suarez pada FA, selama ini.

Bukan main puasnya Suarez semalam. Selain mampu menipiskan peluang Inggris untuk lolos dari grup D, ia juga mampu membuat Inggris menjadi mawas diri. Bahwasanya mereka tak pantas bermegah-megah dalam kompetisi sepakbola internasional.

“Saya sudah memimpikan hal ini. Sebelumnya, saya sudah berjanji pada rekan-rekan (timnas Uruguay) saya, bahwasanya saya akan mencetak dua gol. Kemenangan ini saya persembahkan untuk mereka yang selalu menghujat,” ujar Suarez seusai pertandingan.

Lantas, apakah nasib Suarez akan sama dengan nasib Ahn Jung Hwan, yang diusir lantaran berhasil memulangkan Italia pada Piala Dunia 2002? Belum tentu. Itu semua tergantung seberapa besar ketergantungan media Inggris pada Suarez. Ketergantungan akan berita-berita miring yang bisa mereka angkat ke permukaan untuk menaikkan oplah penjualan mereka.

***

Sebulan sebelum pertandingan di Sao Paulo itu digelar, Suarez masih tergolek di atas kursi roda, lantaran cedera yang didapatnya saat membela Liverpool di matchday terakhir Liga Inggris. Sehari sebelumnya, Oscar Tabarez masih ragu untuk menurunkan pemain bernomer punggung 9 itu. Tapi di sisi lain, Suarez terus giat berlatih bersama fisioterapis timnas Uruguay agar bisa pulih 100% dan meyakinkan sang pelatih kepala, bahwasanya dirinya siap untuk diturunkan sebagai starter saat melawan Inggris.

Jelas, Tabarez tak mampu menutup mata atas usaha yang dilakukan Suarez itu. Terlebih, publik Uruguay juga menginginkan pelatih berusia 67 tahun itu menurunkan Suarez pada laga penting tersebut. Alhasil, Suarez pun tampil dari menit pertama.

Dan manakala Suarez keluar dari tunel stadion, pendukung Uruguay bersuka cita. Tidak terkecuali. Mereka lantas membentangkan spandung bertuliskan “God Save The King” lebar-lebar, untuk menyambut kedatangan sang Raja.

article-0-1EEE655500000578-215_634x773

Suarez memang anak kampung. Meski ia sudah menjadi pemain ternama, hatinya masih saja bersama rakyat Uruguay. Ia selalu bermain dengan “hati” saat berseragam La Celeste. Kedekatan emosional itulah yang menjadikan Suarez dipuja bak seorang raja oleh masyarakat Uruguay.

Hal itulah yang sebenarnya tak dimiliki oleh penggawa Tiga Singa. Kemewahan dan kemegahan Premier League telah menjadikan pemain-pemain Inggris sebagai “aktor mahal”, menjadikan pemain bola jauh dari rakyatnya. Padahal, menurut pelatih legendaris Argentina, Cesar Luis Menotti, sepakbola tidak boleh dari rakyatnya. Bagaimanapun juga para pemain harus tetap membumi dan jangan sampai terasing dari rakyatnya.

Ya, kemenangan Uruguay semalam adalah kemenangan masyarakat Uruguay. Kemenangangan seorang Luis Alberto Suarez Diaz yang bisa tertawa lebar dan menertawai orang-orang, yang sebelumnya, menertawakan cidera yang dialami Suarez belakangan ini.

[foto: gettyimage]

(mul)

Komentar