Hubungan Buruk Sao Paulo dan Timnas Brasil

Cerita

by redaksi

Hubungan Buruk Sao Paulo dan Timnas Brasil

Pertandingan Brasil menghadapi Serbia di Estadio Marumbi tidak membuat warga Sao Paulo bersemangat untuk datang ke stadion. Hubungan keduanya memang merenggang sejak setengah abad silam. Penduduk Sao Paulo selalu antipati terhadap tim Selecao.

Benar saja, kala pertandingan Brasil menghadapi Serbia, skuat asuhan Luiz Felipe Scolari ini mendapatkan cemoohan dari penonton yang hadir. Meski menang lewat gol tunggal Fred, publik di Estadio Marumbi kelihatan tidak puas.

Apakah ini murni karena penampilan Brasil yang loyo? Ataukah mereka datang karena memang sengaja?

Pertanyaan ini pada awalnya dapat dijawab dengan melihat apa yang penonton kenakan ke stadion. Meski mayoritas mengenakan jersey Brasil, namun tidak sedikit penonton yang mengenakan kostum klub Sao Paulo, bahkan membawa bendera klub!

Di kota berpenduduk 20 juta jiwa ini, demam Piala Dunia tidak begitu terasa. Sao Paulo lebih ramai oleh pemogokan para pekerja yang meminta kenaikan gaji. Mereka juga menentang Piala Dunia 2014 diselenggarakan di Brasil. Mereka menganggap, banyak hal lain yang lebih penting ketimbang Piala Dunia.

Sebenarnya, publik Sao Paulo pernah memberikan tekanan berat bagi Selecao. Ini terjadi di Piala Dunia 1950 yang dihelat di Brasil. Kala itu, Brasil bertanding menghadapi Swiss di Estadio do Pacaembu, Sao Paulo. Brasil yang sempat unggul 2-1, nyatanya bisa disamakan oleh Swiss pada menit ke-88.

Publik Sao Paulo tidak menerima hasil seri ini. Mereka memberikan reaksi buruk yang bahkan mengguncang mental punggawa Brasil secara keseluruhan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memindahkan pertandingan di Sao Paulo ke Rio de Janiero. Ini dilakukan untuk menghindari ejekan lebih lanjut oleh publik Sao Paulo.

Masyarakat Sao Paulo memang berbeda dengan Rio de Janiero. Mereka mayoritas merupakan kelas menengah yang bekerja sebagai buruh. Rasa sentimen terhadap penindasan selalu lantang disuarakan. Mungkin itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa timnas Brasil dicemooh.

Paulista (berarti ‘yang berasal dari Sao Paulo) melakukan demonstrasi terutama untuk kenaikan gaji. Bahkan, tidak sedikit sektor perekonomian yang lumpuh karena mereka melakukan pemogokan massal. Demonstrasi inilah yang menghasilkan penolakan terhadap Piala Dunia 2014. Ketika demonstrasi mereka tidak ditanggapi secara nyata, maka pertandingan yang melibatkan timnas Brasil bisa menjadi media perantara. Publik tidak lagi memiliki rasa simpati terhadap timnas Brasil yang dianggap mewakili pemerintahan Brasil secara keseluruhan.

Sao Paulo bukan satu-satunya kota yang bersikap keras terhadap timnas Brasil. Publik kota Belo Horizente melakukan hal yang serupa. Mereka bertepuk tangan kala Lionel Messi memguasai bola dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010 lalu, saat Argentina bertemu dengan Brasil

Sepakbola di Brasil memiliki akar politik yang kuat. Pusatnya berada di abad awal abad ke-20. Kudeta Militer menempatkan Getulio Vargas sebagai pemimpin pemerintahan. Namun, ia dianggap mengorbankan pemimpin Sao Paulo, Julio Prestes, untuk menjadi pemimpin pemerintahan. Ia juga membatasi otonomi dari negara bagian Brasil, dan menyebabkan pemberontakan yang hampir menyebabkan perang saudara di Brasil pada 1932.

Selain itu, pemberontakan dari Paulista terlihat ketika mereka memboykot Piala Dunia 1930 dan 1934. Mereka tidak mengijinkan para pemain dari klub di Sao Paulo untuk mengisi skuat Brasil.

Paulista masih memiliki bias terhadap federasi sepakbola Brasil yang berada di Rio de Janiero. Ada juga kebencian karena timnas Brasil yang selalu dikatikan dengan Maracana. Padahal menurut sejarah, Sao Paulo adalah kota pertama di Brasil yang memperkenalkan sepakbola.

Bahkan pada 1970 ejekan terhadap timnas Brasil mengalir lebih intensif. Ejekan tidak berhenti bahkan ketika Pele memasuki lapangan di babak kedua.

Pada 1993, Dunga melakukan perayaan yang provokatif kala mencetak gol menghadapi Ekuador. Ia meludah di depan para penonton ketika melakukan perayaan gol. Paulista menyebutnya sebagai “spitting venom”. Hal paling parah terjadi pada tahun 2000 kala Brasil menang 1-0 atas Kolombia. Ribuan bendera mini Brasil dilemparkan ke tengah lapangan.

Pada 2007 Dunga kembali mendapat ejekan dari suporter. Kali ini, posisinya sebagai pelatih Brasil. Ketika menang 2-1 atas Uruguay, ia merayakan kemenangan tersebut ke tengah lapangan bersama dengan para pemain. Lucunya, perayaan tersebut diirinig teriakan dari para penonton.

Scolari menanggapi hal ini dengan bijak. Menurutnya, wajar jika penonton mengejek timnya. Tapi, ia meminta publik Sao Paulo untuk lebih menghormati mereka.

“Ini waktunya kita mengubah sejarah. Sao Paulo mendapatkan kehormatan untuk menyelenggarakan partai pembuka Piala Dunia. Dan saya berharap Selecao mendapatkan sambutan dari suporter. Kami membutuhkan mereka untuk mengatasi kesulitan ini,” ujar Scolari.

Sebagai tuan rumah, apakah Sao Paulo akan ramah kepada “tamunya” Brasil? Ataukah Brasil malah akan tetap dianggap sebagai semah? Ngahesekeun nu boga imah (Bhs Sunda: Menyusahkan yang punya rumah).

Sumber gambar: Dailymail.co.uk

[fva]

Komentar