Saya Meniup Peluit, Maka Saya Ada

Editorial

by Zen RS

Zen RS

Board of director | Panditfootball.com

Saya Meniup Peluit, Maka Saya Ada

Jika Rene Descartes mengenalkan diktum “saya berpikir, maka saya ada”, dalam hal wasit adagium itu berubah menjadi “saya meniup peluit, maka saya ada”.

“Saya berpikir, maka saya ada” adalah formulasi Cartesian tentang manusia sebagai subyek dunia sekaligus menjadi tautan ontologis dari antroposentrisme. Sementara raison d’etre seorang wasit terletak pada pluitnya. Pluit di sini bukan semata merujuk sebuah benda, tapi merujuk seperangkat aturan main yang memungkinkan sebuah permainan bisa berlangsung.

Aturan main adalah vital bagi permainan. Tak ada permainan tanpa aturan main, kata Johan Huizinga. Aturan main bukan hanya membuat sebuah permainan menjadi mungkin untuk dilangsungkan, tapi juga menjadi raison d’etre permainan itu sendiri. Tanpa aturan main, sebuah permainan hanya akan menjadi chaos dan dengan sendirinya tidak akan pernah menjadi sebuah permainan.

Johan Huizinga, dalam buku terkenalnya Homo Ludens, mengenalkan dua bentuk permainan dalam tradisi klasik Yunani, “agon” dan “paidia”. Dengan “agon”, Huizinga menjelaskan permainan kompetitif, yang bertujuan mencari pemenang, dan karenanya dibatasi oleh aturan main agar siapa pemenang dan bagaimana kemenangan itu didapat bisa diperjelas. Sementara Huizinga menunjuk “paidia” sebagai jenis permainan dengan tujuan suka-cita, bukan mencari dan mengejar kemenangan, sehingga boleh dan bisa saja digelar tanpa aturan main. Huizinga mencontohkan anak-anak yang bermain lempar-lemparan bola sebagai “paidia” dan marathon dalam olimpiade kuno sebagai “agon”.

Tidak berarti tidak ada kegembiraan dan suka-cita dalam “agon”, seperti halnya tak berarti “paidia” tak mengenal aturan-main. Seorang anak yang bermain lempar bola demi kesenangan pun paham ada aturan-main tak kasat mata dalam bentuk hukum gerak bola berupa sudut pantul, kecepatan bola, hingga soal gravitasi. Menguasai aturan-main tak kasat mata akan membuat si anak mahir dalam permainannya. Begitu juga dalam “agon”. Keketatan aturan main, toh tak bisa menghentikan lahirnya seniman-seniman macam Garrincha, Maradona sampai Zidane.

Aturan main membuat potensi chaos dari permainan kompetitif (agon) bisa diredam seraya pada saat yang sama skil dan keterampilan olah bola pun bisa dan “dipaksa” memancar keluar. Sejarah sepakbola menunjukkan, teknik olah bola yang  muncul tidak saat sepakbola masih menjadi permainan liar dengan jumlah pemain ribuan dan tanpa aturan jelas, tapi justru saat seperangkat aturan-main yang rigid masuk ke dalam sepakbola modern.

Bisalah dimengerti jika maestro total football, Johan Cruyff, pernah menyebut sepakbola sebagai “…een beherste, een gecontroleerde chaos” (sebuah chaos yang dikuasai dan dikendalikan).

Wasit adalah pengampu peradaban sepakbola yang telah dikendalikan chaos-nya itu. Dengan pluitnya, ia menjadi penentu hitam-putihnya sebuah pertandingan. Dan untuk semua otoritas yang begitu besar itu, wasit tidak bisa disentuh siapa pun. Begitu ia meniup pluit tanda dimulainya pertandingan, wasit bukan hanya tidak boleh disentuh para pemain, pelatih, tapi bahkan oleh Presiden FIFA atau UEFA sekali pun.

Michael Platini, Presiden UEFA, mengaku terlibat hingga semua banyak hal detil dari aspek penyelenggaraan Piala Eropa 2008 silam. Tapi, kata Platini, “Begitu pluit pertama dibunyikan, semuanya semua ditentukan di lapangan.”

Jika Sartre pernah menyebut manusia dikutuk untuk terlempar sendirian ke dunia dalam keadaan bebas, hal yang sama juga berlaku pada wasit. Begitu mereka masuk lapangan dan meniup pluitnya, wasit juga dilemparkan sedemikian rupa ke lapangan dalam keadaan bebas, betul-betul bebas, untuk meniup pluitnya, untuk menentukan hasil sebuah pertandingan.

Tapi, masih dengan menyitir uraian Sartre tentang kondisi manusia dalam eksistensi dan kebebasannya sebagaimana terpapar dalam pamflet tipis Existensialism and Humanism, kebebasan yang dimiliki seorang wasit untuk menggunakan otoritasnya pada saat yang sama juga melahirkan tanggungjawab (responsibilité). Karena sendirian menanggung kebebasan dan memikul tanggungjawab, Sartre juga menyinggung soal kecemasan yang tak terperi (angoisse) yang inheren dalam kebebasan manusia.

Wasit adalah salah satu eksemplar contoh untuk memahami kondisi manusia (human condition) ala Sartre itu. Ia dikutuk terlempar ke lapangan dengan kebebasan yang penuh dan nyaris mutlak untuk menerapkan sekaligus menafsirkan aturan-main, tapi pada saat yang sama juga memikul tanggung jawab besar karena hitam-putihnya sebuah pertandingan bergantung pada keputusan dan pilihannya.

Dalam salah satu bab paling menarik dari buku Soccer and Philosophy, Jonathan Crowe menguraikan dengan cantik kondisi yang dialami wasit itu dengan istilah “the loneliness of the referee”.

Crowe memaparkan kesunyian dan kesendirian seorang wasit dalam terang cahaya yang simpatik. Ia serupa Tuhan di dalam stadion (God of the Stadium) yang –seperti halnya Tuhan—punya kemampuan untuk menentukan nasib manusia yang terlibat dalam permainan, baik terlibat langsung (pemain atau pelatih) maupun tidak (suporter atau para penjudi). Keputusannya adalah final, bahkan walau pun itu keputusan yang salah dan buruk. Aturan main memang memberinya kekuasaan untuk mengambil keputusan yang buruk.

Tapi kebebasan dan otoritas yang mutlak itu pula yang justru melahirkan kecemasan, angoisse dalam kosa kata Sartre. Begitu ia melakukan kesalahan, apalagi jika fatal, kebebasan yang sangat besar itu ganti menjadi tembakan maut yang akan mengarah pada dirinya sendirian. Ya, sendirian: karena FIFA atau UEFA tidak akan mendiamkannya dan pasti akan menjatuhkan sanksi dengan mengirim mereka pulang tanpa ada kesempatan lagi memimpin pertandingan. Belum hujatan, makian, sampai ancaman kekeasan fisik dari para suporter atau penjudi yang kecewa.

Kebebasan, kecemasan dan tanggung jawab yang menjadi sentral dalam garis pemikiran Sartre tentang kondisi manusia juga menjadi bagian inheren dari kehidupan seorang wasit.

Simaklah kecemasan yang dialami Mario Busacca dan dua asistennya jelang laga Yunani vs Swedia di Piala Eropa 2008 sebagaimana digambarkan dengan dingin dan hening oleh sineas Belgia, Yves Hinant, dalam adegan pembuka film dokumenter Kill the Referee (Les Arbitrer). Film itu dengan dramatik menggambarkan kebebasan yang dimiliki wasit ternyata benar-benar mendatangkan tekanan psike yang luar biasa besar. Mereka mengatasinya bukan hanya dengan melakukan pemanasan, tapi juga berdoa, mengelus-ngelus kepala di kamar ganti sembari menunduk, juga sambil membersihkan pluit yang diganduli salib dengan air kran.

Biar bagaimana pun, pada akhirnya, wasit adalah manusia. Tak ada manusia yang sempurna, kata pepatah yang sudah klise itu, dan begitu pula wasit. Kesalahan adalah bagian inheren dari sepakbola, lebih karena sepakbola memang adalah permainan manusia. Dalam sepakbola, kesalahan wasit bahkan seringkali membuat sepakbola terangkat levelnya menjadi sebuah kisah yang tak akan pernah berhenti dibicarakan.

Itu sebabnya saya lebih suka digunakannya wasit keempat yang bertugas di dekat gawang ketimbang menanam chip dalam bola atau menggunakan teknologi mata-elang seperti yang digunakan dalam tenis. Biarlah sepakbola tetap tidak sempurna, tetap punya celah untuk lahirnya kesalahan dan kekeliruan, kecuali jika sepakbola diselenggarakan di surga, bukan di bumi, ya… buminya manusia, aktor terbaik dalam berbuat salah, sekaligus artis yang hebat dalam melahirkan sejumlah keindahan dan drama.

Sepakbola, masih kata Johan Cruyff lagi, adalah permainan dalam kealpaan.

@zenrs

Komentar