Krisis di Barcelona adalah Omong Kosong

Taktik

by Dex Glenniza 54544

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Krisis di Barcelona adalah Omong Kosong

Lanjutan dari halaman sebelumnya

Tidak ada krisis

Menyebut Barcelona sedang krisis sebenarnya tidak terlalu tepat. Kalau kita hanya menyempitkan sudut pandang menjadi dua pertandingan terakhir saja, kita akan lebih menemukan istilah yang tepat untuk mereka, yaitu momentum yang (mungkin) sedang (menuju) buruk.

Perhatikan dua kata yang ada di dalam kurung di atas. Menyebut momentum Barcelona sedang buruk juga masih sebuah kemungkinan dan masih sebuah proses menuju, yang mana pastinya tidak menunjukkan kepastian, kan?

Baca juga: Momentum di Sepakbola – Antara Mitos dan Sains

Para pendukung Real Madrid mungkin akan berharap yang terburuk. Sebaliknya, para pendukung Barça akan berharap ini semua memang omong kosong saja.

Dalam satu dekade terakhir, terutama sejak Josep Guardiola menjadi manajer Barcelona pada 2008, bisa dibilang Barcelona dan Real Madrid sebenarnya tidak perlu khawatir. Apapun yang terjadi, pada akhirnya duopoli kesebelasan inilah yang akan merajai Spanyol, baik bergantian ataupun berbarengan (melihat Copa del Rey juga).

Meskipun Atlético Madrid sempat hadir sebagai “pengganggu singgasana”, kehadiran mereka sebenarnya hanya sebagai anomali saja. Anomali Atlético ini bahkan hadir lebih sering daripada anomali “krisis Barcelona” atau “krisis Real Madrid”.

Melihat kekalahan 4-0 sebagai krisis, kita harus ingat, seberapa sering Barcelona menelan kekalahan 4-0. Ternyata tidak sesering itu.

Meskipun begitu, penampilan mereka saat kalah melawan PSG tersebut mencerminkan sedang buruknya taktik Luis Enrique. Hal ini diperparah dengan proses yang tidak memuaskan saat melawan Leganés, meskipun pada akhirnya hasilnya tetap memuaskan, seharusnya, karena Barça berhasil menang.

Hal yang berbeda memang agak ditunjukkan oleh Barcelona musim ini. Jika kita melihat cara mereka bermain, Barça sebenarnya masih tetap merupakan kesebelasan yang mengedepankan permainan menyerang.

Simbol penyerangan Barcelona tidak akan pudar selama masih ada ‘trio MSN’: Lionel Messi, Luis Suárez, dan Neymar. Berseberangan dengan itu, mungkin agak salah kaprah dari kita akan muncul jika masih menyebut Barcelona sebagai kesebelasan tiki-taka. Pada kenyataannya, sejak Enrique memimpin Barcelona, ia membuat kesebelasan Catalan ini bermain lebih direct.

Permainan mereka memang tetap menyerang, tapi salah satu hal yang membedakan Barcelona musim lalu dibandingkan dengan musim ini adalah dari cara menyerang mereka.

Penyebab “krisis” itu adalah Daniel Alves

Kehilangan Daniel Alves adalah kehilangan yang besar bagi Barcelona. Melalui kemampuannya mengontrol bola dan keterlibatannya dalam pembangunan serangan, peran full-back kanan asal Brasil ini sangat penting bagi gaya penyerangan Barcelona.

Setelah Alves pergi ke Juventus, yang menggantikannya seharusnya adalah Aleix Vidal. Tapi sempat terkena kasus saat kepindahannya dari Sevilla, ia kemudian kalah bersaing dari Sergi Roberto (seorang gelandang tengah) ditambah juga harus mengalami cedera pergelangan kaki yang mengakhiri musimnya.

Sementara Roberto yang sekarang lebih sering dipasang sebagai full-back kanan, dianggap masih belum menguasai peran barunya ini. Ia sering kewalahan saat ditekan dan saat situasi satu lawan satu dengan pemain sayap lawan. Kemudian saat menyerang juga ia dianggap tidak sesigap dan secepat Alves (atau bahkan Vidal).

Seperti keterangan gambar di atas, saat Alves masih bermain di Barça di bawah asuhan Enrique, serangan Barça sangat berimbang, yaitu dari sayap kanan dan sayap kiri.

Barcelona memfokuskan serangan mereka melalui sebelah kanan pada Alves dan Messi, yang dibantu dengan Ivan Rakitic; sementara melalui sebelah kiri pada Jordi Alba dan Neymar, yang dibantu oleh Andrés Iniesta.

Enrique seperti tidak mengantisipasi kepergian Alves yang diklaim sebagai bek tersukses di dunia. Karena sejak Alves pergi, hal yang berbeda sangat ditunjukkan oleh Barcelona dari penyerangan mereka yang lebih terfokus pada sisi kiri.

Hal ini membuat Messi seringkali turun ke posisi yang lebih dalam untuk menjemput bola. Sehingga, lawan yang menghadapi Barcelona sebenarnya bisa mengantisipasi permainan Barça bukan dengan menjaga Messi, melainkan menekan sambil menutup jalur operan mereka melalui sayap.

Dua gambar di atas menunjukkan jelas kepada kita bahwa sejak dilatih oleh Enrique, Barcelona jarang melibatkan kombinasi operan dari tengah, tapi alih-alih lebih fokus kepada sayap, terutama sayap kiri, sejak Alves pergi.

Lagi-lagi, apakah ini sebuah krisis? Dari sisi taktikal, sebenarnya ini bisa disebut mini-crisis, karena Enrique harus bisa menunjukkan alternatif taktiknya jika ia mengalami kebuntuan. Tapi kalau kita meninjaunya dari sisi hasil, Barcelona tetap tidak berada dalam krisis. Tidak sama sekali.

Sejujurnya saya sangat tertarik justru jika Barcelona bisa kembali ke gaya permainan tiki-taka mereka. Perbedaannya apa? Saat masih dilatih Pep, Barça turut melibatkan lini tengah ketika membangun serangan, seperti yang bisa kita lihat dari gambar di bawah ini.

Sudah dibilang, tidak ada krisis

Dari tulisan yang panjang-lebar di atas, saya menyimpulkan jika perubahan gaya bermain Barcelona (yang kadang disinonimkan dengan “krisis”) disebabkan oleh kepergian Alves dan juga ketidakmampuan Enrique mengganti Alves dengan pemain yang sekaliber.

Alves sendiri menyatakan jika ia “terlalu nyaman” di Barcelona sehingga membuatnya ingin pergi. “Aku pikir orang butuh meninggalkan zona nyaman mereka,” kata Alves seperti yang dikutip dari tulisan Mirror pada tengah tahun yang lalu.

“Itulah kenapa aku meninggalkan posisi yang nyaman. Barça adalah kesebelasan yang luar biasa, tapi di sana aku berada pada posisi yang terlalu nyaman. Aku adalah orang yang ketika merasa nyaman, justru merasa ada yang salah.”

Baca juga: Dani Alves yang Ingin Menjadi Pesepakbola yang Normal

“Apa yang menggerakanku adalah tantangan dan perjuangan untuk membuat sejarah di tempat lain. Aku harap aku bisa melanjutkannya dengan cara yang sama, hanya saja di tempat yang berbeda,” tutup Alves yang saat ini merupakan pemain Juventus yang sudah tergolong “tua” (33 tahun).

Enrique, atau siapapun manajer Barcelona berikutnya, pastinya sudah menyadari hal ini. Jangan kaget juga jika nama-nama full-back kanan ini santer digosipkan akan pindah ke Barcelona di musim panas tahun ini, yaitu mulai dari Héctor Bellerín (Arsenal), João Cancelo (Valencia), Hugo Mallo (Celta de Vigo), Mario Gaspar (Villarreal), sampai Kyle Walker (Tottenham Hotspur).

Untuk saat ini, Barcelona masihlah tetap Barcelona. Jangankan krisis, bahkan sebenarnya mereka mendapatkan kabar baik di mana selisih enam poin sebelum Real Madrid pergi ke Piala Dunia Antarklub FIFA (12/12/2016) berhasil diperkecil menjadi satu poin saja per hari ini (23/02/2017) meskipun Madrid masih menabung satu pertandingan lagi.

Kekalahan 4-0 dari Paris memang selalu bisa dilebih-lebihkan. Penalti Messi menjelang akhir laga yang memenangkan Barça atas Leganés juga bisa dilebih-lebihkan. Tapi tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa duopoli Barcelona dan Real Madrid tidak akan terlalu banyak terganggu kalaupun salah satu dari Barcelona atau Real Madrid mendapatkan krisis sungguhan.

Kita harus ingat jika Barcelona adalah kesebelasan dari Spanyol yang katanya “kurang kompetitif” itu. Bayangkan hal yang sama mungkin tidak berlaku bagi Manchester United atau Liverpool di Liga Primer Inggris, karena sedikit “krisis” saja, posisi mereka bisa terombang-ambing di klasemen. Namun, entah ini pernyataan positif atau negatif, hal tersebut tidak berlaku di La Liga.

Jadi, jangan berlebihan dengan mengatakan bahwa kesebelasan superior bernama Barcelona ini sedang mengalami krisis. Sepakbola itu memang bisa disimpulkan dengan kalah dan menang, dan kadang dengan skor yang besar, sebesar 4-0 misalnya. Tapi kembali, itu adalah bagian dari sepakbola, bagian dari Barcelona, dan bagian dari Real Madrid.

Dari seluruh isi tulisan ini, saya kembali bertanya: Apanya yang krisis?


Foto: Red Bull

Komentar