Mundur Ketika Gagal? Menjadi Ksatria atau Pecundang?

Piala Dunia

by redaksi

Mundur Ketika Gagal? Menjadi Ksatria atau Pecundang?

Ketika Jerman berhasil menjuarai Piala Dunia Brasil lalu, publik Jerman mengelu-elukan sosok pahlawan mereka Mario Goetze. Goetze menjadi pahlawan Jerman karena pemain Bayern Munich itu berhasil mencetak satu-satunya gol pada laga puncak Piala Dunia melawan Argentina.

Namun hal kontras terjadi bagi mereka tim yang mengalami kegagalan di Piala Dunia. Sangat sedikit sekali penggemarnya yang menyalahkan pemain-pemainnya karena tak bisa memberikan prestasi terbaik bagi negaranya. Hingga akhirnya, pelatih mereka lah yang merasa lebih bertanggung jawab atas kegagalan timnya tersebut.

Hal yang paling sering dilakukan para pelatih untuk membuktikan tanggung jawab atas kegagalannya adalah dengan cara mundur dari jabatannya. Ya, setelah Piala Dunia tak sedikit pelatih yang beramai-ramai mengundurkan diri.

Seolang psikolog bernama Robert Cialdini sangat menyayangkan terjadinya gelombang pengunduran diri para pelatih tersebut. Menurutnya, beberapa pihak federasi telah mengambil keputusan salah jika membiarkan pelatih mereka mundur setelah mengalami kegagalan di Piala Dunia. Karena kegagalan di Piala Dunia seharusnya menjadi kesalahan dan tanggung jawab bersama.

Masih menurut Cialdini, sebuah penelitian teori kepemimpinan memang terbagi menjadi ke dalam beberapa pandangan yang berbeda tentang peran pemimpin dalam organisasi pada umumnya. Beberapa penelitan percaya bahwa keberhasilan sebuah organisasi atau kelompok memang ada ditangan sang pemimpin. Jika kelompok tersebut gagal, maka pemimpinlah yang harus bertanggung jawab.

Namun nyatanya ada beberapa faktor-faktor kontekstual lain yang bisa mempengaruhi keberhasilan sang pemimpin dalam membina kelompok yang dipimpinnya, khususnya dalam konteks Piala Dunia. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab sebuah tim gagal berprestasi maksimal di Piala Dunia, misalnya kualitas rakyatnya, organisasi liga, sumber daya dan sebagainya. Perspektif ini menunjukan bahwa setiap elemen dalam tim haruslah ikut bertanggung jawab atas kinerja tim nasionalnya, bukan hanya tanggung jawab si pemimpin (pelatih).

Untuk beberapa tim, mungkin persepsi di atas tidak berlaku. Misalnya tim nasional Italia yang gagal sejak babak penyisihan grup. Hal tersebut tentunya sangat mengecewakan karena Italia sebenarnya memiliki banyak talenta berbakat dan memiliki organisasi liga yang cukup bagus.

Berbeda misalnya dengan Meksiko yang ditinggal pelatihnya Javier Aguirre. Meksiko dengan tim yang hanya sedikit pemain bintang lalu organisasi liganya tak sebaik liga-liga elit, tapi tim nasionalnya bisa menampilkan penampilan yang maksimal meski harus tersingkir di babak 16 besar. Itu tentunya sebuah raihan yang cukup baik dari seorang Javier Aguirre.

Alberto Zaccherroni, Carlos Queiroz, Luis Suarez, Hong Myung Bo, Stephen Keshi, dan Safet Susic adalah contoh-contoh nama yang mendapatkan beban tinggi untuk berprestasi lalu mengundurkan diri karena merasa gagal. Padahal jika melihat tim yang mereka tangani, berlaga di Piala Dunia saja sudah menjadi sebuah prestasi membanggakan. Pergantian pelatih pun sebenarnya tak menjamin tim tersebut akan berprestasi lebih baik.

Namun terlepas dari layak atau tidaknya para pelatih tersebut mundur dari kursi kepelatihan, apa yang kita lihat dari nama-nama di atas adalah bahwa mereka mengundurkan diri karena mengakui kegagalan dan menerima kekalahan yang diterimanya dengan lapang dada, bukan menyalahkan pihak lain yang telah mencuri kemenangannya. Sebuah tindakan ksatria,  ya sebuah hal yang kita tak lihat pada salah satu calon 'pemimpin' kita yang ramai dibicarakan baru-baru ini.

foto: paneecalcio.com

[ar]

Komentar