N`Golo Kante dan Masakan Ratatouille

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

N`Golo Kante dan Masakan Ratatouille

Oleh: Haris Chaebar

Cita rasa artinya adalah perasaan atau rasa terhadap suatu hal. Frasa “cita rasa” itu, lebih jamak digunakan dalam dunia kuliner/makanan atau masak-memasak. Cita rasa jadi semacam cara pemilihan guna membedakan makanan dari rasa (enak atau tidaknya), tekstur, aroma, tampilan dan sebagainya.

Makanan yang mempunyai cita rasa tinggi dan apalagi unik pada faktanya bisa dibuat oleh siapa saja. Tidak harus oleh yang berpendidikan ilmu tata boga atau sekolah khusus memasak. Makanan yang bercita rasa tinggi tak memandang latar belakang siapa pembuatnya, bisa dari orang berpendidikan tinggi, tukang tatto, tukang bangunan, atau bahkan satpam. Intinya, memasak (yang enak) itu egaliter, siapa saja bisa.

Kisah fiksi film garapan Walt Disney dan Pixar yang berjudul Ratatouille adalah gambarannya. Di film ini, pemeran utamanya adalah seekor tikus bernama Remy. Singkat cerita, makanan yang dibuat si tikus Remy berupa hidangan sederhana Ratatouille di restoran ternama Auguste Gusteau, bisa memuaskan kritikus makanan paling disegani seantero Prancis, Anton Ego.

Kemudian si kritikus tersebut menerbitkan artikel pujian pada masakan tikus Remy dan menyadari bahwa perspektif dari mendiang koki Auguste Gusteau "semua bisa memasak" itu benar. Tikus, sebagai perlambang sesuatu yang kotor, pencuri makanan dan juga hama ternyata bisa membuat masakan (ratatouille) bercita rasa tinggi dan mungkin paling enak yang pernah Ego rasakan sendiri.

Dari film ini kita memetik nilai akan suatu perspektif, bahwasannnya makanan hebat dan bercita rasa tinggi bisa dibuat oleh siapa saja, tak peduli siapapun dia dan dari mana asalnya.

Dualisme Perspektif Sepakbola

Seperti makanan bercita rasa tinggi yang bisa disajikan siapapun, begitu juga sepakbola. Tak peduli dia atau kesebelasan itu dari mana asalnya, sepakbola bisa “disajikan” oleh siapapun orangnya mereka di dunia ini.

Sebagai permainan tim, sepakbola telah mengalami evolusi dari segi pemeragaan gaya permainan. Dunia sepakbola tentu mengenal tim yang gemar bermain menyerang nan sedap dipandang, seperti Total Football dari Belanda atau Tiki Taka ala Barcelona.

Keindahan sepakbola menyerang mendapat puja dan puji yang tinggi. Maka dari itu muncul suatu perspektif bahwa sepakbola yang “baik” adalah menyerang, walau tidak selalu menghasilkan kemenangan dan gelar juara. Pandangan itu mulai ramai didengungkan semenjak kesempurnaan Total Football Belanda, menemui kegagalannya di tahun 70an. Juara dunia tanpa mahkota, adalah kalimat penghibur untuk Belanda saat itu.

Dunia dicipta dengan keseimbangannya, begitu juga sepakbola. Jika ada tim bermain menyerang yang penuh pujian dan enak disaksikan, maka muncul tim sebaliknya yang mengandalkan permainan bertahan yang “kata orang” tidak sedap dipandang mata. Catenaccio menjadi highlight dari ideologi sepakbola bertahan. Italia pun terkenal sebagai tim yang sangat pragmatis, menumpuk pemain di belakang, bertahan dan membalas dengan serangan balik.

Selain Catenaccio Italia, contoh lain publik sepakbola juga mengenal pemahaman “parkir bus” khas Jose Mourinho. Meski identik bermain bertahan yang relatif membosankan, ternyata sepakbola gaya ini tetap banyak memenangkan gelar juara. Torehan tinta emas ideologi sepakbola bertahan bisa dilihat dari empat trofi Piala Dunia-nya Italia, Yunani di Piala Eropa 2004 atau kisah sukses treble winner Internazionale di musim 2009/10.

Perdebatan tentang lebih hebat mana antara dua perspektif sepakbola; menyerang dan bertahan tak pernah habis bara apinya. Dua perspektif ini ibarat minyak dan air, tak bisa menyatu meski disandingkan dalam dimensi yang sama, sepakbola.

Meski begitu bagi kebanyakan orang, sepakbola bertahan masih dianggap sesuatu yang tak “menarik”, membosankan, pragmatis dan menghancurkan permainan sepakbola itu sendiri. Padahal bertahan adalah hak bagi siapapun untuk memainkannya dan tak ada larangan tertulis memainkan sepakbola bertahan dalam Laws of the Game.

Singkatnya, meski secara kuantitas semakin banyak orang yang memahami urusan teknis-teknis dalam sepakbola, tetap saja sepakbola ofensif masih dianalogikan dan dipersuasikan sebagai “sisi baik” sepakbola. Sedangkan di sisi lain, sepakbola defensif dalam sepakbola masih dipandang sebelah mata, bahkan mungkin masih terstigma sebagai sisi buruk dalam sepakbola itu sendiri.

Tentang N’Golo Kante dan Unsur Bertahan

Dianugerahinya N’Golo Kante sebagai pemain terbaik Inggris versi Professional Footballers Association di Inggris musim 2016/17, menjadi pertanda kalau unsur “bertahan” dalam sepakbola kembali ditinggikan derajat eksistensinya. Terakhir kali pemain berkarakter bertahan yang memenangi gelar itu adalah John Terry pada musim 2004/05, saat membawa Chelsea juara. Setelah itu, penghargaan itu didominasi oleh penyerang dan gelandang serang.

Sebagai permainan yang memiliki tujuan pada terciptanya sebuah gol, maka tidak heran pemain berkarakter menyerang (baik itu mencetak gol, memberi asis atau mengkreasi peluang) serta tim dengan gaya main ofensif yang punya banyak peluang cetak gol, lebih mendapat tempat di hati pecinta sepakbola.

Unsur bertahan dan sepakbola bertahan terkadang kurang mendapat apresiasi. Di level pemain, hitung saja berapa Ballon D’Or yang teralokasikan untuk pemain dengan karakter defensif. Terakhir kali adalah Fabio Cannavaro (2006) yang memenanginya. Setelah itu, sepakbola selalu hampir dihiasi persaingan Ronaldo-Messi untuk siapa yang terbaik.

Sepakbola bertahan kurang mendapat apresiasi walau mampu mengantar sebuah timnas atau klub peroleh gelar prestisius. Contohnya keajaiban Yunani pada Piala Eropa 2004 atau Inter Milan asuhan Mourinho yang juara Liga Champions 2009/10, tetap banyak dihujani kritik walau menjadi pihak yang menang pada akhir kompetisi.

Padahal sepakbola dengan kemampuan pemain-pemainnya dalam bertahan atau semonoton apapun permainan bertahan sebuah kesebelasan, mereka tetap punya “keindahan” tersendiri. Tak heran kalau Serie A dan pemain-pemain Italia tetap menjadi favorit banyak orang atau buktinya masih banyak yang mengidolai Jose Mourinho, meski dia gemar sekali memarkir bus.

Sepakbola justru terasa menjenuhkan kalau hanya tentang siapa yang lebih banyak membuat gol atau kesebelasan mana yang lebih banyak menguasai bola, jika tanpa mencari siapa yang terbaik dalam urusan intersep, tekel, dan kesebelasan mana yang punya efektifitas dan efisiensi permainan yang tinggi.

Penghargaan untuk Kante, semoga tidak menjadi kejenuhan yang sesaat, perihal apresiasi terhadap “seni” bertahan dalam sepakbola. Ke depan semoga makin banyak yang menyadari bahwa bertahan juga istimewa, tidak kalah hebatnya dengan menyerang dalam sepakbola.

Seperti di film Ratatouille, Anton Ego yang kolot dengan perspektif bahwa makanan yang indah (bercita rasa tinggi) itu tak bisa dibuat oleh sembarang orang, mulai terbuka pemikirannya pasca melihat kejeniusan tikus Remy.

Ego mulai sadar dan mengamini perspektif berseberangan dari chef Auguste Gusteau yakni “semua bisa memasak”, siapapun bisa membuat makanan yang nikmat. Seekor tikus, yang dianggap sebagai lambang kejorokan, ternyata mampu mencengangkan seorang kritikus tersohor dengan Ratatouille yang meski sederhana tetapi sangat indah dirasakan di lidah.

N’Golo Kante, sosok sederhana ini pernah disebut oleh Eden Hazard, “Ia bermain seperti tikus. Ia ada di mana-mana”. Melihat Kante lari ke sana ke mari menutup pertahanan, mencegat bola dan melakukan tekel, sejujurnya tak kalah indah dengan menyaksikan liukan Hazard menyisir pertahanan lawan, bukan?

Kante hanya satu dari sekian elemen yang bisa menyadarkan kembali, tentang adanya kenikmatan cita rasa sepakbola dengan perspektif lain (bertahan) yang selama ini tetap kurang mendapat “perhatian”. Lalu jika Gusteau berkata "semua bisa memasak", maka Kante dengan senyumnya yang rendah hati mengisyaratkan, "semua bisa bermain sepakbola".

Penulis adalah mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Biasa berkicau di @chaebar_haris


Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penulis

Komentar