Timnas Inggris dan Petrus van Reenen: Paradoks Penyerang Paling Efektif di Dunia

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Timnas Inggris dan Petrus van Reenen: Paradoks Penyerang Paling Efektif di Dunia

Oleh: M. Miftahul Firdaus

Apa jawaban Anda jika ditanya tentang siapa penyerang paling efektif di dunia sepakbola? Lionel Messi? Cristiano Ronaldo? Sederet nama-nama tenar tentunya langsung muncul di benak. Nama-nama itu tentunya tak akan jauh-jauh berbeda dari para penyerang bintang yang tengah bersinar saat ini, utamanya Ronaldo dan Messi.

Tapi jika nama Petrus van Reenen disebutkan sebagai penyerang paling efektif di dunia, kebanyakan orang akan tidak setuju. Nama itu saja terdengar begitu asing. Namun tidak demikian bagi penggemar sepakbola yang hidup sezaman dengan almarhum penyerang Ajax Amsterdam tersebut. Piet, demikian Petrus disapa, mencetak lebih banyak gol daripada jumlah pertandingan resmi yang ia mainkan sepanjang kariernya.

Pemain kelahiran Utrecht, 17 Januari 1909 tersebut mengawali karier profesionalnya bersama klub UVV Utrecht pada laga tandang melawan Hilversum saat masih berusia 17 tahun. Ia mencetak gol pertamanya pada 17 Oktober 1926 dalam kemenangan 2-0 atas VOC. Selama tiga musim membela UVV, Petrus remaja mencetak 30 gol dalam 37 pertandingan.

Di musim ketiganya, Goaltjes Piet (julukan Petrus), bersama beberapa pemain kunci UVV lain sesekali dilanda cedera sehingga performa UVV menurun dan terdegradasi. Raksasa Belanda Ajax Amsterdam memanfaatkan momen itu dengan merekrutnya. Ia tampil perdana untuk Ajax pada 15 September 1929 pada laga melawan De Dordrechtsche FC dan terus bermain hingga 18 Oktober 1942.

Selama di Ajax, ia bermain sebanyak 240 kali dan mencetak 278 gol pada pertandingan kompetitif. Jika ditambah dengan pertandingan persahabatan, jumlah golnya untuk Ajax mencapai 354 gol dalam 326 pertandingan. Ia menjadi pemain Belanda pertama yang menembus rekor tiga ratus gol pertandingan kompetitif dan menjadi pencetak gol sepanjang masa Ajax.

Rekor golnya bersama keseluruhan klub yang ia bela bahkan lebih tinggi daripada rekor milik legenda Ajax yang lebih termasyhur, Johan Cruyff. Itu bahkan saat Petrus bermain sebelum era Rinus Michels di Ajax saat filosofi Total Football mulai dibakukan menjadi filosofi klub itu. Era saat Cruyff aktif bermain.

Petrus membawa Ajax memenangi berbagai gelar sebelum ia pensiun. Ia melakukannya bersama dengan sejumlah rekan. Para pemain yang paling sering bermain dengannya adalah WimAnderiesen Sr., Jan van Diepenbeek, Jan Schubert, GerritKeizer, WimVolkers, HenkBlomvliet, Piet van Deyck, HenkMulders, Bob ten Have, dan Erwin van Wijngaarden.

Paradoks dengan rekor emasnya di klub, kariernya bersama tim nasional Belanda justru tidak pernah berkembang. Baru bermain dua kali bersama timnas (salah satunya dalam laga yang berujung kekalahan 6-2 dari raksasa sepakbola saat itu, Hungaria, di Budapest), Piet kemudian didepak tanpa diberi kesempatan lagi karena tidak mencetak gol dan permainannya dianggap biasa-biasa saja.

Hal ini sungguh sangat disayangkan. Meskipun pada musim-musim berikutnya ia selalu mencetak banyak gol bagi klub, ia tidak pernah dipanggil lagi ke timnas. Menurut kacamata para pengamat, tidak adil untuk menilai pemain hanya dalam dua laga. Apalagi jika si pemain sudah membuktikan diri di level klub dan ia memang mempunyai talenta yang hebat.

Memang benar bahwa kadangkala ada pemain yang tidak tampil maksimal di Tim Nasional meskipun menjadi pemain kunci di klub. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, seperti perbedaan gaya main di timnas dengan klub, faktor cuaca dan iklim tempat turnamen berlangsung, kurang pengalaman internasional, permasalahan mental, hingga rekan setim nasional yang tidak sebagus rekan satu klub.

Lionel Messi misalkan, sempat beberapa kali sulit tampil maksimal bersama timnas Argentina karena gaya main Argentina yang berbeda dengan gaya main Barcelona. Meskipun sejumlah manajer Argentina mengusahakan agar Tim Tango bisa bermain Tiki Taka juga, tentunya tidak akan sama persis bahkan dengan jajaran pemain Argentina yang notabene pemain bintang di klub masing-masing.

Cristiano Ronaldo atau Zlatan Ibrahimovic misalkan, sulit membawa negara masing-masing untuk tampil kompetitif di sebuah turnamen antar negara karena materi timnas mereka tidak merata dan tidak semua rekan setim di timnas merupakan pemain kunci di klub liga-liga top Eropa. Mereka seringkali menjadi solo fighter, walaupun akhirnya Ronaldo berhasil membawa Portugal juara Piala Eropa.

Faktor iklim dan cuaca juga seringkali berpengaruh, contohnya yang terjadi kepada para pemain Eropa saat turnamen yang diselenggarakan di daerah yang lebih panas seperti Piala Dunia 2014 di Brasil. Pihak penyelenggara sampai memberikan sesi water break di setiap laga untuk mengatasi panasnya suhu. Banyak pemain sulit beradaptasi dalam iklim dan cuaca seperti itu.

Tapi tetap saja, terdapat hal yang tidak masuk akal di sini. Piet merupakan tipikal pemain yang tidak akan terhambat permasalahan adaptasi permainan. Iklim dan cuaca di Hungaria juga seharusnya tidak terlalu berbeda dengan Belanda. Rekan setimnya di timnas juga bukan pemain biasa, karena mereka kebanyakan juga rekan Piet di Ajax, yang terdiri dari para pemain besar Belanda.

Mengapa Piet tampil buruk di timnas dan apa alasan manajer Belanda tidak pernah lagi memanggilnya padahal ia tampil bagus di klub tidak dapat kita ketahui. Yang jelas, bahkan untuk pemain yang tampil brilian di liga, tidak terdapat jaminan akan tampil baik pula saat membela Tim Nasional.

Harry Kane pada Piala Eropa 2016 misalnya. Meskipun ia menjadi pemain Inggris paling subur di EPL, ia cenderung melempem saat membela The Three Lions. Terlepas dari kapasitas taktik Roy Hodgson yang diragukan, Kane tetap tampil kurang maksimal. Sialnya, di liganya sendiri, Inggris tengah kekurangan penyerang subur keturunan tanah air sendiri.

Jamie Vardy mulai meredup musim 2016/2017 seiring meredupnya performa Leicester, walaupun kemudian ia bangkit di era Craig Shakespeare, pada laga uji tanding melawan Jerman, ia kalah bersinar di banding dua penyerang sayap yang dipasang Gareth Southgate untuk mengapitnya sebagai penyerang tengah, terutama dari Dele Alli yang tampil menonjol.

Wayne Rooney dan Peter Crouch sudah menua dan mengalami penurunan performa. Rooney bahkan tengah dibekap cedera dan belakangan semakin jarang tampil regular bagi Manchester United. Sementara daftar pencetak gol di Liga Primer didominasi oleh para penyerang asing seperti Romelu Lukaku, Dieo Costa, Zlatan Ibrahimovich, Sergio Aguero, Alexis Sanchez, dan lain-lain.

Hanya Harry Kane, Dele Alli, dan Jermain Defoe pemain Inggris yang berada di tujuh besar. Itupun dengan Kane yang tengah cedera dan Alli yang bukan berposisi penyerang murni, melainkan gelandang. Praktis hanya Defoe yang sampai saat ini mencetak 14 gol bagi Sunderland-lah penyerang murni Inggris yang dapat bersaing dengan barisan penyerang impor. Itupun dengan usia yang sudah tidak muda lagi.

Padahal ada beberapa matchday calendar FIFA dan sejumlah pertandingan kualifikasi Piala Dunia yang harus dijalani timnas Inggris. Ini merupakan suatu masalah besar bagi sepakbola Inggris. Mereka tengah kehilangan wibawa, terutama pasca disingkirkan Islandia di Piala Eropa dan terungkapnya skandal yang melibatkan Sam Allardyce.

Inggris seperti sudah tidak lagi memiliki pemain yang dapat menjadi pembeda di lapangan, seperti era Michael Owen dan Rooney masih berada di puncak performa. Jika pemain yang tampil baik bersama klub saja dapat kolaps saat bermain untuk timnas, seperti yang terjadi pada Piet dan Kane, apalagi jika tidak ada sama sekali pemain lokal yang tampil bagus di liga. Ini seperti tanda-tanda kiamat bagi timnas yang akan menjalani matchday ataupun turnamen.

Liga Primer memang menjadi liga yang wah dengan tontonan yang memiliki keseruan tersendiri dibanding liga-liga lainnya, apalagi pasca pensiunnya Sir Alex Ferguson yang membuat persaingan gelar juara lebih terbuka, bahkan untuk tim yang dianggap kecil dan medioker. Para manajer berlomba-lomba mendatangkan pemain untuk membantu tim terlibat persaingan gelar, tidak terkecuali penyerang.

Masalahnya, aspek bisnis pada sepakbola membuat para manajer lebih memilih mendatangkan penyerang asing daripada pemain lokal Inggris lantaran harga pemain Inggris yang dianggap kemahalan sementara dengan kualitas yang sama atau lebih baik, penyerang asing dapat didatangkan dengan lebih murah.

Ini akan berimbas negatif bagi penampilan timnas Inggris. Terbukti, terakhir kali mereka menjuarai sebuah turnamen adalah pada Piala Eropa 1966. Regulasi pemain asing perlu dirumuskan dengan lebih baik. Pun juga pembinaan pemain asli Inggris harus ditingkatkan jika The Three Lions ingin juara lagi.

Memang terdapat berbagai nama potensial seperti Marcus Rashford, Danny Welbeck, Daniel Sturridge, dan lain-lain. Tapi jika tidak diberikan kesempatan bermain lebih banyak, mereka tidak akan mencapai puncak performa mereka saat itu. Logikanya, jika Piet, penyerang paling efektif di dunia saja dianggap gagal saat membela timnas Belanda, apalagi penyerang lokal Inggris yang bahkan tidak dapat menit bermain yang memadai di klub masing-masing. Tamatlah riwayat Inggris.

foto: afc-ajax.info

Penulis adalah seorang santri, mahasiswa, dan penikmat sepakbola. Penggemar PSIS Semarang era Bonggo Pribadi ini biasa berkicau di akun Twitter @miftahspara


Tulisan ini merupakan hasil kiriman pembaca lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis

Komentar