Nomor 21: Andik Vermansah

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Nomor 21: Andik Vermansah

Artikel #AyoIndonesia karya Alpha Hambally

Sepanjang musim 2009-2010, ketika saya masih kuliah di ITS Surabaya, nama Andik Vermansah membuat saya terpukau pada kompetisi sepakbola Indonesia, sampai saya ikut-ikutan menonton langsung, atau istilah suroboyo-nya ‘ngebonek’ ke Stadion Gelora Sepuluh November Surabaya bersama teman-teman kampus.

Gelandang serang bertubuh mungil itu pertama kali saya lihat masih bermain sebagai pemain pengganti dan mengenakan nomor punggung 3. Posisinya ketika itu berada di belakang penyerang. Kadang untuk mencari ruang, ia melebarkan diri ke sisi sayap, bertukar-tukar posisi dari kiri ke kanan. Kadang jika tidak mendapat bola, ia bersedia menjemputnya sendiri ke garis pertahanan. Belakangan saya tahu bahwa itulah tugas seorang penyerang lubang. Hari itu pula, bersama Andi Oddang, Mat Halil, John Tarkpor dkk, Andik mulai berlari di mata saya, tidak peduli seberapa besar badan pemain lawan yang menghadangnya.

Beberapa pertandingan Persebaya Surabaya berikutnya, Andik yang ketika itu masih berusia 18 tahun sudah punya berbagai julukan seperti super-sub, Lionel Messi-nya Persebaya, dsb. Andik tidak perlu menunggu lama untuk dipercaya pelatih Danurwindo menjadi pemain utama pada musim itu, serta menjadi buah bibir masyarakat pencinta sepakbola di kota pahlawan.

Beberapa kali menonton pertandingan Andik pada musim itu pula, saya yang sejak dulu terlanjur kecewa betul kepada tim nasional Indonesia, mulai berandai-andai, apabila Andik suatu hari turut berlaga mengenakan kaos berlambang garuda di dada, mungkin semuanya akan sedikit lebih baik.

Namun pada musim pertamanya bersama Persebaya Surabaya itu, Andik kurang beruntung. Tim yang berjuluk Bajul Ijo harus didegradasi karena hanya menghuni peringkat 17 Liga Super Indonesia (LSI) 2009-2010.

Setelah itu, Persebaya Surabaya (di atas payung hukum PT. Persebaya Indonesia) merasa dicurangi oleh PSSI, yang ketika itu masih di bawah kepemimpinan Nurdin Halid. Akhirnya, pada musim berikutnya memutuskan untuk berkompetisi di Liga Primer Indonesia (LPI), serta menambah nama klub mereka dengan angka 1927, yaitu tahun lahirnya Persebaya.

Permasalahan ini merupakan titik tolak bagi Persebaya, dan karier Andik sendiri di dunia sepakbola. Andik dan pemain Persebaya 1927 lainnya tidak takut apabila bermain di kompetisi yang tidak diakui oleh PSSI. Dan Andik secara pribadi ketika itu, agaknya tidak takut apabila tidak dipanggil membela tim nasional.

Musim berikutnya, 2011, politik sepakbola berubah. Era Nurdin Halid tumbang. PSSI kemudian dipimpin oleh Djohar Arifin, dan menjadikan LPI sebagai liga yang diakui oleh PSSI. Bersamaan dengan itu, Andik kembali berlari lebih jauh. Kesempatannya terbuka untuk membela timnas U-21, U-23 dan timnas senior. Timnas U-23 meraih medali perak pada SEA Games (2011), sementara timnas U-21 menjadi Runner Up pada Trofi Hassanal Bolkiah (2012). Andik berperan sangat penting di kedua tim junior itu.

Sementara di level senior, Andik belum bisa berlari lebih jauh. Di dalam tubuh PSSI terjadi dualisme. Saya tidak ingin menyalahkan siapa pun, namun kenyataannya Andik memang tidak ditemani pemain-pemain terbaik yang berkompetisi di LSI untuk berlaga di AFF 2012. Timnas yang ketika itu dilatih oleh Nil Maizar hanya berhenti di babak penyisihan. Gol spektakuler Andik ke gawang Singapura melalui tendangan bebas seakan sia-sia.

Di tim manapun Andik bermain, ia adalah pendobrak dan pembeda. Selain memiliki keakuratan operan, ia memiliki determinasi yang tinggi, sehingga ia berani mengajak lawannya bertarung lari. Penetrasinya di sisi kiri pertahanan timnas Belanda pada pertandingan persahabatan dengan timnas Indonesia pada 2013, berujung pada pujian Patrick Kluivert.

Penampilannya ketika melawan LA Galaxy pada 2011 pun sampai membuat ‘jengkel’ David Beckham sehingga melakukan tackling yang sangat keras. Namun penampilan Andik bersama Indonesia Selection itu tetap berujung dengan pujian, dan di akhir laga mantan pemain Manchester United itu pun mau bertukar kaos dengan Andik. Tidak ketinggalan pula kaos Inter Milan dengan nama punggung Esteban Cambiasso menghiasi kamar tidur Andik.

Andik juga memiliki akurasi tembakan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun beberapa umpan tarik yang dilepaskan Andik, dulu, seringkali terlalu tajam menuju penjaga gawang lawan, sehingga penyerang selalu kesusahan menyambut umpannya.

Sementara itu, politik sepakbola Indonesia terus bergulir seperti halnya bentuk bola itu sendiri. PSSI yang terus-terusan mengalami dualisme, berujung pada meleburnya kubu La Nyalla Matalitti ke dalam kepemimpinan Djohar Arifin. Semenjak itu pula, nama Andik Vermansah seakan menghilang dari khazanah sepakbola Indonesia, termasuk saya.

Seakan tidak mau ikut campur ke dalam masalah politik sepakbola, Andik kemudian lebih memilih untuk mengembara. Andik sempat diisukan diminati oleh Benfica dan beberapa klub di Eropa. Namun yang tercatat oleh pemberitaan adalah ketika ia mengikuti pelbagai trial di klub luar negeri, seperti DC United (USA) dan Ventforet Kofu (Jepang). Dan Andik akhirnya melabuhkan perjalanannya bersama Selangor FA (Malaysia) pada 2014.

Di Selangor FA, Andik menjelma menjadi bintang. Saya hanya bisa menonton aksi Andik melalui cuplikan-cuplikan di Youtube. Ia terlihat semakin matang sebagai pemain profesional. Passing dan crossing-nya semakin efektif. Penetrasinya semakin tajam. Untuk tembakannya tidak perlu dipertanyakan, sebab dari sekian cuplikan yang saya perhatikan, beberapa gol Andik tercipta melalui tembakan dari luar kotak pinalti. Yang termutakhir, berkat perannya, ia berhasil membawa Selangor menjuarai Piala Malaysia 2015.

Namun sangat disayangkan ketika saya mendengar bahwa Andik tidak dipanggil timnas pada AFF 2014. Enntah karena sebab apa, padahal pelatih timnas Indonesia ketika itu sama dengan pelatih hari ini. Hal yang paling masuk akal yaitu keberadaan La Nyalla sebagai wakil ketua PSSI. La Nyalla agaknya punya dendam pribadi dengan LPI dan Persebaya 1927. Lagi-lagi masalah politik sepakbola membenamkan nama Andik.

Pada 2015, La Nyalla terpilih menjadi ketua umum PSSI. Saya beranggapan Andik mustahil untuk turut membela timnas. Namun kenyataan berpihak lain. Tidak lama setelah terpilihnya La Nyalla, Menpora membekukan PSSI. Ada drama panjang perihal ini. La Nyalla batal menjabat ketum PSSI, dan politik sepakbola pun kembali berganti.

Kini La Nyalla sudah tidak ada dalam perpolitikan sepakbola. Pada AFF 2016, kesempatan Andik untuk membela timnas kembali lagi. Benar saja, setelah PSSI lolos dari sanksi FIFA, Andik masuk dalam daftar pemain inti yang dibawa Alfred Riedl ke AFF 2016, dengan posisi andalannya di sayap kanan.

Dalam laga uji tanding yang pertama melawan Malaysia, Andik memang terlihat belum berbuat banyak. Namun pada laga uji tanding kedua kontra Vietnam, salah satu gol timnas berawal dari Andik yang ngotot mengejar bola—yang saya kira bakal out di sisi pertahanan sebelah kiri lawan. Andik langsung melakukan penetrasi ke jantung pertahanan Vietnam, dan memberikan umpan tarik kepada Zulham Zamrun. Bola dari kaki Zulham berbelok menuju Irfan Bachdim—yang lolos dari jebakan offside—yang tinggal menyodornya masuk ke gawang Vietnam. Sifat berandai-andai saya seperti ketika melihat Andik kali pertama pada 2009 kembali lagi. Semuanya mungkin akan lebih baik.

Dan AFF 2016 akhirnya bergulir. Pada laga pamungkas melawan Singapura (25/11), Andik menjadi pembangkit semangat rekan-rekannya untuk berjuang lolos ke babak semifinal AFF 2016. Sempat tertinggal satu gol, dan harapan lolos timnas ke semifinal kian tipis, Andik kemudian mencatatkan namanya di papan skor, setelah menerima umpan silang dari Rizky Pora. Satu gol firs time yang menyeimbangkan kedudukan mengatakan bahwa Andik masih ingin berlari. Semoga tidak ada politik lagi di belakang Andik. Sebab masih banyak pertanyaan yang harus dijawabnya bersama timnas sejak namanya berdiam di atas nomor 21.

“Malayuo ndik..!!”

Penulis kini bekerja di Jakarta, beredar di dunia maya dengan akun Twitter: @alphambally. Tulisan ini merupakan bagian dari #AyoIndonesia, mendukung timnas lewat karya tulis. Isi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Selengkapnya baca di sini: Ayo Mendukung Timnas Lewat Karya Tulis.

foto: affsuzukicup.com

Komentar